Membangun Kepedulian ‘Srikandi dan Emak-emak’

Oleh :
Sri Lestari
Direktur Program Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UMSurabaya dan Dosen Bahasa Inggris FKIP UMSurabaya

Perayaan hari perempuan internasional biasanya ditandai dengan aksi Women’s March secara serentak oleh para perempuan dan aktivis lain yang peduli pada hak-hak perempuan di seluruh dunia. Menariknya, Women’s March tahun ini terjadi tepat pada tahun politik sehingga perayaannya yang seharusnya pada bulan Maret harus ditunda pada bulan April, tentu setelah pesta demokrasi negeri ini dilaksanakan.
Menariknya, tahun politik ini juga ditandai oleh kecerdasan kedua calon memframing para pendukung perempuan dalam balutan istilah-istilah yang lekat dengan perempuan. Pada politik sebelumnya, framing seperti ini tidak pernah terjadi. Tentu akan sangat menguntungkan bila akibat cara itu, para calon mampu meraup suara perempuan lebih banyak, pasalnya menurut data KPU, jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Sayangnya, para pendukung ini hanya diarahkan pada hasrat perolehan suara terbanyak saja tanpa dilatih untuk peka pada isu-isu perempuan.
Berebut Framing atas Pemilih Perempuan
Dalam teori komunikasi massa (2017), framing dilakukan untuk mempengaruhi pilihan audiens. Maka dalam hal ini, audiens yang dimaksud adalah pemilih perempuan. Dalam pendapat Goffman (1974), framing yang dilakukan untuk menggiring opini kelompok tertentu tidak mungkin terjadi secara natural, tapi dia dikondisikan sedemikian rupa dan terstruktur. Maka, istilah Srikandi yang berafiliasi pada perempuan pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Emak-Emak yang identik dengan pendukung Prabowo-Sandi bukanlah terjadi secara natural tetapi dibentuk. Bisa jadi, istilah yang memiliki kemungkinan paling dekat dengan kehidupan sosial pemilih perempuan dapat menjadi alat merebut hati mereka.
Framing Jokowi-Ma’ruf atas pendukungnya dengan istilah Srikandi bermakna mencoba memposisikan perempuan juga berdaya layaknya Srikandi. Maka, istilah ini digunakan seolah untuk menganalogikan bahwa perempuan pendukung pasangan capres ini kuat, kaum cerdas/cendikia, dan berada pada lingkup kelas menengah keatas. Ini menjadi diperkuat ketika istilah itu sesungguhnya tidak hanya merujuk pada kumpulan kelompok perempuan pendukug Jokowi-Ma’ruf tetapi juga diasosiasikankan pada para mentri di kabinetnya. Ditambah lagi, istilah lain yang kerap kali dipakai adalah Ibu bangsa yang tentu dengan maksud dan tujuan sama.
Sementara itu, agar dianggap lebih dekat dengan perempuan, pasangan Prabowo-Sandiaga justru memilih istilah emak-emak. Sebutan ini sebenarnya dianggap juga mewakili kekuatan perempuan, sebut saja istilah yang seringkali akrab didengar adalah the power of emak-emak. Kenyataannya, ada yang mengasosiasikan istilah ini pada makna negatif sementara istilah lain lebih superior sehingga cenderung pada makna kebalikan dari konstruksi atas perempuan yang dibuat kubu petahana.
Maka, framing siapa yang lebih dekat dengan masyarakat adalah perebutan makna atas istilah yang dekat dengan perempuan. Tapi, soal keberpihakan pada isu perempuan menjadi soal lain. Alih-alih ikut bergerak pada aksi perayaan hari perempuan internasional, kenyataannya perebutan makna itu tidak berbanding lurus dengan ketanggapan para kelompok perempuan dari kedua kubu untuk memunculkan langkah-langkah solutif dalam mengurai kasus ketidakadilan terhadap perempuan
Perlu Turun Jalan
Bicara penindasan terhadap perempuan adalah milik semua peradaban, tidak perduli barat atau timur. Oleh karena itu, International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional) Patut dirayakan, tidak terkecuali oleh aktivis gerakan perempuan di Indonesia. Merayakannya adalah cara terbaik untuk terus menghidupkan perjuangan perempuan atas ketidakadilan. Salah satunya, penindasan yang terlahir dari ‘rahim’ penguasa negeri.
Apabila Srikandi atau Emak-Emak adalah gerakan perempuan yang sejalan dengan gerakan perempuan dibelahan dunia manapun, seharusnya tidak ada keraguan sedikitpun untuk ikut dalam aksi Women’s March. Kecuali jika mereka adalah gerakan perempuan praktis yang benderang diwaktu pemilu saja tetapi redup setelah pesta demokrasi selesai. Jika demikian, maka framing yang dibentuk terhadap mereka menjadi reproduksi atas streotip jender pada perempuan politik yang selama ini ada dalam media (Fountaine & McGregor, 2014 ), yaitu bahwa mereka tetap diposisikan sebagai orang luar dalam politik (political outsiders). Artinya, mereka hanya menjadi alat meraup suara, tapi ditinggalkan ketika proses pengambilan keputusan terjadi,
Kelompok ini akan menjadi gerakan perempuan besar jika saja dijalankan juga untuk ikut aktif dalam menyelesaikan isu-isu perempuan. Barangkali, gerakan perempuan politik seperti mereka perlu belajar dari para perempuan di Amerika yang tanggap terhadap isu perempuan dan berani menentang terpilihnya Trump yang dinilai merendahkan martabat perempuan. Bukankah sejatinya mereka direndahkan jika hanya dianggap sebagai alat peraup suara? Jadi tentu penting bagi mereka untuk melawan siapapun presiden yang terpilih nanti.
———– *** ————-

Tags: