Membangun Kesadaran Kolektif Melindungi Anak

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar LC (Lembaga Bahasa) Universitas Muhammadiyah Malang

Kekerasan terhadap anak seolah datang silih berganti. Berbagai upaya yang sudah dilakukan, termasuk tingginya perhatian publik terhadap setiap kasus yang menimpa anak, belum mampu menyurutkan langkah pelaku dengan berbagai motifnya untuk melakukan kekerasan.
Teranyar menimpa gadis kecil, ia bernama Putri Nur Fauziah (PNF, 9). Nasib yang menimpa murid kelas dua sekolah dasar tersebut begitu memprihatinkan. Dia ditemukan dalam kardus yang diletakkan di pinggiran jalan tol di kawasan Kalideres, Jakarta Barat (2/10) setelah sehari hilang.
Kasus yang menimpa PNF kembali mengingatkan kekerasan yang menimpa Engeline, murid cantik yang menjadi korban kekerasan keluarga angkatnya di Bali beberapa waktu lalu, dan sejumlah rangkaian kekerasan lain yang membetot perhatian publik, seperti pencabulan sejumlah anak TK di Jakarta Internasional School (JIS), dan lainnya.
Darurat Kekerasan Anak
Fakta-fakta tersaji tersebut pun bermuara pada kesimpulan: kekerasan masih terus mengincar anak-anak kita. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa kekerasan anak dengan berbagai bentuknya ternyata terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2012 sebanyak 2.637 kasus. Di tahun 2013, bertambah pula menjadi 3.339 kasus. Pada 2014, sempat menurun menjadi 2.750 kasus. Untuk tahun ini selama rentang Januari hingga Mei, sudah terdata 500 laporan kasus kekerasan anak yang dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak.
Tentu data-data di atas tidak termasuk kasus yang tak dilaporkan, misalnya karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap perlindungan anak, kultur masyarakat yang belum terbuka, maupun sikap apatisme sosial terhadap kondisi di sekitar yang menyebabkan ruang kekerasan dan penyiksaan anak baik di dalam maupun di luar rumah terlegitimasi.
Okupasi terhadap eksistensi anak untuk hidup normal, bebas dari ketakutan kian masif karena struktur sosial dan ekonomi keluarga. Masalah kemiskinan, peliknya beban hidup membuat keluarga terjebak menjadikan anak sebagai sasaran kecemasan lewat verbalisasi bahasa dan perilaku kasar termasuk menjadikan anak sebagai instrumen eksploitasi ekonomi yang merenggut siklus terpenting dalam proses tumbuh kembangnya yaitu pembentukan kepercayaan diri dan kemampuan eksplorasi (Hasan&Shaver 1987).
Padahal kedua kemampuan ini menjadi variabel krusial bagi anak untuk mengidentifikasi dirinya dengan kebutuhan sosial-konstruktif seperti berlatih bergaul, mengembangkan bakat dan kemampuannya, berkompetisi secara fair hingga memapankan diri dalam hal emosi dan perilaku untuk menjadi manusia seutuhnya.
Berkaitan dengan itulah sejak tahun 2009 pemerintah meluncurkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)sesuai Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. PKSA bertujuan mewujudkan pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari penelantaran, eksploitasi dan diskriminasi, sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak terwujud.
PKSA sampai saat ini telah melayani lebih dari 1 juta anak. Program ini didukung Satuan Bakti Pekerja Sosial 670 orang yang bertugas mendampingi dan merespons berbagai kasus anak. Ada pula 25 rumah perlindungan sosial anak, 15 telepon sahabat anak (TeSA) berupa akses telepon bebas pulsa untuk anak-anak korban kekerasan dengan menekan nomor 129, 12 tim reaksi cepat di pusat dan provinsi, serta 28 lembaga perlindungan anak.
Sekalipun demikian impelementasinya belum maksimal memotong lingkaran kekerasan terhadap anak, apalagi dengan modus kejahatan yang berusaha disamarkan secara struktural.
Menilik kembali kasus PNF, Engeline, dan anak TK JIS, kekerasan anak bisa terjadi di mana saja: di lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, hingga lingkungan keluarga. Bahkan, hasil monitoring dan evaluasi KPAI pada 2012 di sembilan provinsi menemukan 91% kekerasan anak terjadi di lingkungan keluarga. Lantas, di mana lagi anak bisa mendapat perlindungan secara aman jika ancaman terhadap mereka bisa terjadi kapan pun dan di mana pun?
Bisa dipahami jika kondisi saat ini sudah menapak darurat kekerasan anak. Kondisi demikian tentu tidak bisa dibiarkan hingga kekerasan anak terus terjadi, terjadi, dan terjadi. Konstitusi sudah mengamanatkan perlindungan anak dari kekerasan. UU Perlindungan Anak juga sudah menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang secara normal.
Strategi Perlindungan Anak
Mengingat tren kekerasan yang terus meningkat, termasuk level sadistisnya, penjabaran implementasi Nawacita menjadi strategi perlindungan anak harus jauh lebih komprehensif dan konkret dari yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan terlebih dahulu mengevaluasi keberadaan kelembagaan yang ada, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KPAI, Polri, pemerintah daerah, dan lainnya, apakah peran mereka sudah cukup kuat.
Peran pemerintah daerah, misalnya, perlu dievaluasi karena merekalah yang menguasai wilayah. Bisa dibayangkan peran daerah diperkuat dengan mendorong mereka menghadirkan satpol bukan hanya pasar-pasar untuk mengawasi PKL, melainkan juga di sekolah-sekolah atau pusat-pusat aktivitas anak. Selain peran-peran kelembagaan, beberapa hal lain tak kalah penting untuk diperhatikan, seperti dukungan pendanaan selama ini apakah sudah cukup mampu mendukung implementasi program perlindungan anak, apakah penegakan hukum selama ini mampu menghadirkan efek jera.
Juga apakah kampanye untuk membangun kesadaran masyarakat secara luas akan pentingnya melindungi anak yang telah ada selama ini sudah konsisten dan masif atau masih hangat-hangat tahi ayam. Namun, rasanya untuk menghadapi darurat kekerasan anak tidaklah cukup menggantungkan pada institusi negara. Peran serta masyarakat luas, baik itu ormas, LSM, media, dan lainnya juga sangat dibutuhkan.
Pada lingkup lebih kecil, partisipasi warga di lingkungan masing-masing sangat diperlukan karena merekalah yang memahami satu persatu orang dan segala potensi yang bisa mengarah pada terjadinya kekerasan anak. Dan akhirnya, perlindungan anak bermuara pada orang tua dan keluarga untuk tidak pernah lengah melindungi anak.
Lebih dari itu, anak adalah generasi muda penerus bangsa yang kelak mewarnai bangsa ini ke depan. Mereka sudah seharusnya menjadi fokus perhatian, termasuk melindungi dari ancaman kekerasan. Karena itu, sudah menjadi kewajiban negara untuk selalu hadir kapan pun dan di mana pun untuk melindungi anak. Sebab, bagaimanapun juga perlindungan dan jaminan tumbuh kembang yang sehat dan berkualitas terhadap anak merupakan titian mendasar sekaligus investasi paling penting bagi pembentukan insan bangsa yang berkarakter.

                                                                                                                  ———- *** ———–

Tags: