Oleh :
Dr Indra S Ranuh
Analis Kebijakan Ahli Utama Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
Di Indonesia, akibat wabah Covid-19 jumlah penduduk miskin diperkirakan naik dan bertambah hingga 8 juta jiwa lebih. Demikian pula angka pengangguran naik drastis akibat dari banyaknya korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan usaha kecil yang tutup. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,5 juta pekerja yang dirumahkan, sebanyak 150 ribu diantaranya mengalami PHK. Selain mempengaruhi kondisi perekonomian, salah satu efek domino meluasnya pandemic Covid-19 adalah dampaknya terhadap ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Keputusan pemerintah meminta masyarakat mengisolasi diri secara mandiri di rumah selama wabah Covid-19 berlangsung, ternyata bukan hanya menimbulkan kejenuhan dan stres di sebagian masyarakat, tetapi juga beresiko meningkatkan kasus-kasus tindak kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Seperti diungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmavati bahwa di tengah meluasnya wabah virus corona, sejumlah kerentanan kini harus dihadapi perempuan dan anak. Sampai 23 April 2020, paling-tidak terjadi 205 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan oleh perempuan. Tingkat stres yang tinggi muncul dan dialami perempuan dalam keluarga akibat tekanan kebutuhan hidup, beban perempuan yang meningkat dalam mengurus rumah tangga maupun perasaan yang tidak nyaman lainnya yang timbul bersamaan dengan meluasnya wabah covid-19.
Bagi perempuan yang kini memilih mengisolasi diri di rumah, saat ini potensi mereka menjadi korban tindak kekerasan berbasis gender diakui atau tidak memang meningkat. Alih-alih memanfaatkan kesempatan untuk saling berbagi dan menjalani kehidupan dirumah bersama dengan penuh kebahagiaan, justru dalam kenyataan ketidakcocokan yang sebelumnya tidak terlihat menjadi mencuat.
Penyebab Terjadinya Masalah/isu
Meluasnya penyebaran Covid-19, juga dampak sosial yang mengancam kondisi kerentanan sosial masyarakat. Survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada bulan April 2020 menemukan hanya 32% anak didampingi orang tua nya selama belajar di rumah.Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), menyebut ada 6,1% masyarakat kita mengalami depresi. Jumlah Anak ketika stay at home dan harus belajar jarak jauh ternyata mengalami stress tiga kali lipat.
Pada Masa Pandemi di Jawa Timur, telah banyak Karyawan Perusahaan yang di PHK dan dirumahkan. Ini tentu bukan tanpa akibat. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Indonesia (2016) menyebut bahwa perempuan dengan suami menganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Hasil Survey Daring BKKBN menunjukkan bahwa terhadap 20.680 keluarga di Indonesia, menyebutkan bahwa kondisi pekerjaan, kondisi keuangan keluarga dan kecukupan makanan, kondisinya semakin memburuk selama pandemi Covid-19 s.d Mei 2020. Selain itu, 95,8 % keluarga menunjukkan kecenderungan mengalami stress. Selain daripada itu yang menarik bahwa pandemi covid-19 yang dimulai sejak Februari 2020 juga telah berdampak pada program KB. Angka drop outkeserta KB selama 6 (enam) bulan terakhir terjadi kenaikan. Hasil laporan SR BKKBN, Bulan Juli terdapat DO KB sebesar 10,46%, angka tersebut naik 9,33% dari kondisi Februari 2020 sebesar 1,13 %. Kenaikan DO KB tersebut berdampak pada meningkatkan prosentase PUS Hamil.
Sekurang-kurangnya ada tiga faktor yang membuat kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berbasis gender meningkat selama masa isolasi diri karena Covid-19.
Pertama, Ketika laki-laki yang tidak terbiasa terlibat mengerjakan tugas-tugas domestik di rumah, mau tidak mau harus berpartisipasi untuk membantu atau bersama dengan istri menyelesaikan tugas pengasuhan anak, memasak, dan lain-lain. Sepanjang laki-laki mau mereposisi diri, dan bersedia terlibat menyelesaikan tugas-tugas domestik, tentu tidak menjadi masalah berapa lama mereka harus mengisolasi diri. Tetapi, lain soal ketika suami bersikap pragmatis dan lebih mengedepankan ideology patriarkhis.
Kedua, Ketika keluarga mulai menghadapi kesulitan ekonomi akibat berkurangnya pendapatanyang diperoleh.Di kalangan keluarga yang berasal dari golongan menengah ke bawah dan terbiasa mengandalkan penghasilan yangsifatnyaharian,mereka niscaya berpotensi menghadapi masalah dalam keluarga karena tekanan kebutuhan hidup. Perselisihan dalam keluarga, kemungkinan akan meningkat tatkala sumber pemasukan keluarga berkurang. Pada saat kebutuhan keluarga dapat dipenuhi lewat santunan atau bantuan dari pemerintah, barangkali tekanan kebutuhan hidup yang dihadapi keluarga-keluarga terdampak Covid-19 tidak akan terlalu keras. Tetapi, ketika mereka luput dari intervensi pemerintah, dan dari hari ke hari makin kesulitan menghadapi tekanan kebutuhan hidup, maka jangan kaget jika persoalan rumah tangga akan mencuat-yang berujung pada terjadinya tindak kekerasan dalam keluarga.
Ketiga, Ketika keluarga harus menghadapi beban kerja rumah tangga yang meningkat -termasuk ketika mereka harus mendampingi anak belajar di rumah. Bagi orang tua yang tidak terbiasa dan tidak mampu mendampingi anaknya belajar, tambahan kerja pengasuhan anak seperti ini tentu akan menjadi beban tersendiri yang memicu terjadinyastressyang berkepanjangan.
Data Kekerasan KtP/A Berdasarkan Jenis Kekerasan
Kab/Kota Se Jatim Per 2 Oktober 2020
Bentuk Kekerasan Jumlah Kasus Persentase
Fisik 419 34,32
Psikis 364 29,81
Seksual 513 42,01
Eksploitasi 8 0,56
Trafficking 16 1,31
Penelantaran 95 7,78
Lainnya 170 13,92
Total Kasus 1.221 100
Agenda Kebijakan Apa yang Harus Dilakukan
Di era new normal, salah satu agenda penting yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah tak terkecuali Pemerintah Provinsi JawaTimur adalah bagaimana menyusun dan mengembangkan program perlindungan keluarga yang benar-benar kontekstual dan efektif.
(1). Desk Konseling. Untuk meringankan tekanan yang mesti ditanggung masyarakat sejak Covid-19 makin meluas, kucuran berbagai bantuan jaring pengaman dan bantalan sosial memang dibutuhkan. Lebih dari sekadar program bantalan sosial, kedepan pemerintah seyogianya juga mempersiapkan peningkatan daya tahan keluarga agar tidak terkena imbas meluasnya pandemic Covid-19.
Pembentukan dan pengembangan peran desk konseling untuk perlindungan perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan selama pandemic Covid-19 adalah salah satu upaya kreatifyangperlu dikembangkan pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur. Tujuan desk konseling adalah untuk membantu perempuan dan anak untuk berkonsultasi berbagai permasalahan sosial akibat pandemic Covid-19.
Desk konseling perlu dibentuk karena pertama, adanya indikasi kasus-kasus KDRT dan tindak kekerasan terhadap anak cenderung makin meningkat di keluarga selama masa pandemic Covid-19. Kedua, karena upaya penanganan terhadap berbagai masalah sosial selama pandemic Covid-19 belum terumuskan dengan baik. Dalam banyak hal, pemerintah lebih disibukkan dengan upaya recovery ekonomi, sehingga berbagai persoalan sosial yang muncul menjadi agak terabaikan.
(2). Community Support System. Untuk memastikan agar pembentukan desk konseling tidak sia-sia dan benar-benar dimanfaatkan masyarakat yang tengah menghadapi masalah dalam keluarga, khususnya anak dan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan selama pandemic Covid-19, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan mekanisme kerja desk konseling. Berharap masyarakat yang menghadapi masalah keluarga selama pandemic Covid-19 bersedia hadir dan berkonsultasi membicarakan masalah intern keluarganya, tentu tidaklah mudah. Tetapi dengan mekanisme yang tepat dan mempertimbangkan kekhasan subkulturmasyarakatdi Provinsi Jawa Timur, maka diharapkan pembentukan desk konseling akan dapat berjalan dengan efektif.
Di Provinsi Jawa Timur, pembentukan dan mekanisme kerja desk konseling tidaklah mungkin hanya mengandalkan pada kinerja aparatur birokrasi atau dinas. Untuk mendekatkan dan memperluas daya layanan desk konseling, disadari bahwa kerjasama dengan seluruh stakeholder terkait, terutama potensi sosial di masyarakat sangatlah penting.
Pertama, penanganan terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban selama pandemic Covid-19 dalam rumah tangga perlu melibatkan dukungan lembaga di tingkat lokal untuk membantu perempuan menggapai keadilan sosial melalui fasilitas konsultasi. Pendekatan community support system perlu dikembangkan dalam rangka memperluas layanan sekaligus untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Kedua, dalam tata kelola penanganan korban kekerasan terhadap perempuan anak selama pandemic Covid-19 sangat disarankan untuk melibatkan beberapa pemangku kepentingan yang memiliki vested interest, peran, fungsi, dan kontribusi yang berbeda (Boyko et al, 2017). Pendekatan stakeholder mendorong lembaga memiliki kemampuan membuka tabir semua akar permasalahan dalam tindak kekerasan yang selama ini sulit diidentifikasi (Izumi & Rasmussen, 2018). Berbagai potensi di tingkat local, seperti kelompok pengajian, pondok pesantren, lembaga gereja, ibu-ibu PKK, Dharma Wanita, Karang Taruna, PGRI, dan berbagai lembaga sosial-keagamaan lain adalah bagian dari jejaring yang perlu digandeng dalam meningkatkan layanan dan manfaat desk konseling.
—— *** ——-