Membangun Kinerja Berbasis Nurani

Dr H. Darmadi, MM, MM.Pd., MSiOleh:
H. Darmad
Pegawai Fungsional Guru pada Kantor Kemenag Kab. Lampung Tengah,  Dosen STKIP  Kumala Lampung

Setiap pegawai atau karyawan pasti mendambakan suasana tempat kerja (kantor) itu nyaman, tertib, aman, dan tentram. Namun tidak sedikit dari sekian banyak orang yang bekerja di kantor kecewa karena dambaannya tidak tercapai. Hal ini terjadi karena sangat jarang orang yang bekerja, ketika masuk kantor tidak berdasarkan hati nurani yang berakibat tidak nyaman suasana tempat kerjanya.
Kalau kita perhatikan dengan cermat, ternyata hati nurani berasal dari dua kata yaitu: hati dan nurani. Menurut hujjatul Islam Imam Al-Ghozaly, hati adalah suatu sifat yang halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian. Sedangkan nurani berasal dari bahasa Arab yaitu “Nuuran” atau “Nur’aini” yang artinya cahaya atau cahaya mata. Jadi hati nurani berarti hati yang bercahaya atau hati yang dicahayai Allah. Tentu saja yang dimaksud menurut Al-Qur’an adalah cahaya hidayat atau petunjuk. Di dalam hadits Arba’in Nawawy dijelaskan bahwa Rasulullah Saw., bersabda: “Ingatlah, bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging. Jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya, itulah yang disebut hati (kalbu). HR. Bukhori dan Muslim”.
Ketika hati manusia bercahaya, berarti hati manusia mendapat hidayah dari Allah Swt. Hati yang memperoleh hidayah, berarti otomatis manusianya terbimbing ke jalan yang benar. Setiap manusia yang hidupnya dibimbing oleh Allah (Ar-Rosyid) ke jalan yang benar, maka perjalanan hidup manusia tersebut akan sesuai dengan rambu-rambu agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Ia akan mampu melihat bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukan sebaliknya, yang benar adalah batil (salah), dan yang batil adalah benar (hak). Manusia yang mempunyai hati nurani selalu memberikan hak yang menjadi hak orang lain. Siapapun dia, apakah seorang Kepala Kantor, Kepala Dinas, Anggota DPRD atau bahkan seorang Presiden sekalipun. Jangan mentang-mentang dia sedang berkuasa, berbuat seenake udel, sehingga merampas sesuatu yang menjadi milik bawahan atau bahkan uang rakyatnya sendiri, dengan alasan sangat pribadi sekali, misalnya dia punya anak sedang kuliah yang membutuhkan biaya banyak atau alasan klasik, karena dia mau pensiun, lalu berbuat semaunya sehingga menerjang rambu-rambu agama, wal-wal keduwal aspal diuntal (istilah masyarakat Cirebon). Itulah bila hati sudah tidak nurani lagi, karena gelap, tertutup oleh berbagai kepentingan hawa nafsu. Orang yang berhati nurani, digambarkan oleh Rasulullah Saw., seperti lebah madu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yakni: “Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, jika ia makan selalu makanan yang baik. Jika ia hinggap, selalu hinggap dengan cara yang baik. Dan jika ia tinggal di sebuah batang pohon, tidak merusak itu.” (HR. Al-Baihaqi)
Demikianlah orang yang berhati nurani, bila mencari rizki, ia mencari rizki yang halalan thoyiban (baik), manfaat dan di tempat yang mulia. Bila ia tinggal di suatu daerah, ia tidak merugikan dan mengganggu masyarakat sekitar, bahkan sebaliknya memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya” begitu kata Rasulullah Saw.
Ketika orang yang berhati nurani itu diberi kesempatan oleh Allah Swt., menjadi orang yang berkuasa, misalnya menjadi Kepala Kantor A, Kepala Dinas B, atau menjadi seorang Top Manajer di sebuah perusahaan swasta, ia pasti akan menunaikan kekuasaannya sesuai dengan bimbingan dan petunjuk Ilahi (Hidayah); menegakkan amanah profesi, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan berani memberantas kemungkaran, misalnya penyelewengan dana APBD, APBN, Kas Negara atau bahkan dana sumbangan lembaga keagamaan. Ia akan selalu istiqomah dengan Islam, sehingga tidak akan mengambil atau merampas sesuatu yang bukan haknya. Dan Ia akan berani menghukum siapapun yang bersalah, walaupun resikonya adalah pahit. Namun sebaliknya, bila hati nurani tidak ada pada diri manusia, atau manusia yang hatinya tidak mendapatkan cahaya Ilahi. Ia akan berjalan tanpa aturan bagaikan berjalan dikegelapan malam. Usahanya selalu menghalalkan segala cara, tindakannya merugikan dan menyakiti orang lain. Bahkan di dalam Al-Qur’an disebutkan “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS. 7:179)
Untuk menciptakan suasana Kantor atau tempat kerja yang berbasis hati nurani paling tidak dibutuhkan empat langkah. Langkah-langkah tersebut antara lain : Pertama, niatkan dalam hati bahwa bekerja adalah ibadah. Secara bahasa ibadah adalah sebuah penghambaan seorang makhluk kepada khaliknya. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai Allah yang dilakukan secara lisan atau perbuatan, baik dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dalam rangka menuju ridha Allah Swt. Ini berarti setiap karyawan atau pegawai yang akan masuk kantor hendaklah masuk kantor itu sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan yakinlah bahwa apa yang diperbuatnya selama di kantor akan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Dengan niat ibadah kepada Allah inilah seseorang yang bekerja di Kantor akan terhindar dari segala bentuk penyelewengan. Sedangkan dari pengertian ibadah secara bahasa bisa dipahami bahwa seorang pegawai pada prinsipnya adalah pelayan/abdi/hamba masyarakat. Sedangkan seorang pimpinan pada suatu kantor berarti pimpinan pelayan/abdi masyarakat. Seorang pegawai dan pimpinannya bertugas sebagai pelayan masyarakat. Maka tidak pantas kalau ada seorang pegawai atau pimpinannya yang sentiasa minta dilayani oleh masyarakat. Sayyidul qaum khadimuhum, begitu kata ahli hikmah.
Kedua, tancapkan Bismillahirrahmanirrahim dalam jiwa dan raga, mulai dari awal masuk Kantor sampai pulang dari Kantor. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa, ” setiap perbuatan tanpa diawali dengan Bismillahirrahmanirrahim maka perbuatan itu sia-sia alias tidak mendapatkan barakah dari Allah Swt.”. Makna Bismillah bagi seorang Kepala Kantor atau Pimpinan sebuah perusahaan adalah hendaklah bekerja itu karena rahman dan rahim Allah. Ketika seorang pimpinan memerintahkan atau mengambil sebuah kebijakan di tempat kerjanya seyogyanya didasari rahman (kasih) dan Rahim (sayang) kepada bawahannya. Begitu juga seorang bawahan, jika melaksanakan sebuah kebijakan atau perintah dari atasannya harus berdasarkan rahman dan rahim. Tanpa didasari kedua sifat tersebut akan mengakibatkan ketidaksinergian antara bawahan dan atasan. Bahkan akan saling berbuat zhalim antar keduanya. Dengan menancapkan rahman rahim (kasih dan sayang) kepada setiap karyawan/pegawai, insya allah akan membangun suasana kantor yang nyaman dan tentram seperti yang diidam-idamkan setiap pegawai.
Ketiga, yakinlah bahwa semua karyawan atau pegawai adalah satu keluarga. Kalau diumpamakan seorang Kepala adalah bapak, bagian Tata Usaha adalah ibu, para Kepala Seksi adalah anak pertama, sedangkan staf adalah anak kedua dan seterusnya. Sebagai seorang Bapak dan Ibu harus bersikap adil kepada anak-anaknya. Apabila anak yang satu diberi fasilitas hidup maka anak yang yang lainnya juga harus diberi. Jangan pernah orang tua bersikap diskriminatif kepada anak-anaknya. Sebab apabila hal itu terjadi, maka akan terjadi suatu keretakan dalam sebuah keluarga, akibat prilaku orang tua yang tidak menganggap salah satu anaknya sebagai anggota keluarga alias anak tiri. Na’udzu billah min dzalik. Oleh karena itu semua unsur keluarga tersebut harus saling menguatkan dengan menjaga persatuan dan persaudaraan di antara anggota keluarga. Kalau ada anggota keluarga yang sedang dalam kesulitan yang lainnya harus membantu. Dan kalau ada anggota keluarga yang mendapat nikmat yang lainnya juga harus merasakan kebahagiaan. Dengan kata lain, jangan ada dusta di antara kita.
Untuk memperkuat sebuah bangunan keluarga, maka setiap unsur keluarga memiliki sikap ngaji rasa dan tepo seliro. Keempat, mengembangkan sikap ngaji rasa di kalangan para pegawai atau karyawan di Kantor. Ngaji rasa ialah merasakan sesuatu apa yang dirasaka oleh orang lain. Tentang ngaji rasa ini Rasul Saw. pernah bersabda, ” tidak sempurna keimanan seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim). Menjadi anak tiri itu adalah sangat menyakitkan, maka jangan pernah menjadikan karyawan seperti anak tiri. Perlakukan mereka seperti anak sendiri. Menjadi orang terhina itu sangat menyakitkan, maka jangan pernah menghina karyawan yang lain. Seseorang akan merasakan kebahagiaan apabila dihargai orang lain, maka berilah penghargaan kepada orang lain. Dan seseorang akan merasa terhormat apabila dihormati orang lain, maka hormatilah orang lain.
Sebagai pamungkas dari tulisan ini, penulis ingin memberikan saran kepada semua pegawai dan karyawan agar setiap kali masuk kantor masuklah dengan hati yang tenang (qalbun salim). Lakukan semua perbuatan atau pekerjaan sesuai dengan hati nurani. Hindari pikiran-pikiran kotor (piktor) yang akan memperkeruh suasana hati. Biasakan dzikrullah setiap saat agar hati tetap tenang dan mendapat cahaya dari Allah. Semoga.

                                                          ————————- *** ————————–

Rate this article!
Tags: