Membangun Mahasiswa Periset Berbasis Literasi Baru

Oleh :
Hamidulloh Ibda
Dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Peraih Juara I Lomba Artikel Nasional Kemdikbud 2018

Siapa pun yang menang Pilpres 2019, tantangan Presiden dan Wakil Presiden RI sangat berat. Selain menguatkan ideologi, pemerintah terpilih dinanti menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan Nusantara. Jalan yang ditempuh tentu sangat strategis melalui pendidikan tinggi. Salah satu objeknya adalah mahasiswa yang secara jangka panjang menjadi aset bangsa jika mereka benar-benar menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompetitif, inovatif, dan berkarakter.
Bagaimana caranya? Tentu melalui penguatan Tridharma Perguruan Tinggi. Meriset merupakan salah satu bagian dari amanat Tridharma. Bagi mahasiswa, meneliti bukan hal mustahil. Meski riset atau meneliti identik dengan pekerjaan dosen, peneliti, ilmuwan, namun mahasiswa harus diperhatikan. Selama ini, keikutsertaan mahasiswa dalam meriset sangat minim. Bahkan, mahasiswa hanya melakukan penelitian ketika mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi saja.
Apa penyebabnya? Tentu beragam. Mulai dari rendahnya nalar meriset dan budaya literasi, regulasi kampus, hingga masalah dana, serta kesempatan meriset berjemaah bersama dosen. Pemerintah melalui Kemenristek Dikti ke depan harus berkomitmen memajukan SDM melalui tiga jalan sesuai amanat World Economic Forum (2016), yaitu kompetensi, karakter, dan literasi. Salah satunya membangun mahasiswa periset yang kompetitif, inovatif, dan berkarakter.
Mahasiswa Periset
Jumlah riset kita perlu dikuatkan melalui perguruan tinggi. Angka riset kita saat ini cukup bagus, namun perlu dikuatkan lagi dalam rangka menyambut bonus demografi pada Indonesia emas tahun 2045. Sampai 8 Mei 2018, publikasi ilmiah internasional kita ada 8.269 jurnal, yang melampaui Singapura sejumlah 6.825 jurnal. Pada 2014 publikasi ilmiah internasional ada 4.200 jurnal, dan untuk pertama kali selama 20 tahun terakhir Indonesia berhasil mengungguli Thailand pada 2017 (Ristekdikti.go.id, 18/5/2018).
Angka ini tentu menjadi peluang baru bagi Indonesia dengan fokus menguatkan riset pada mahasiswa. Selama ini keikutsertaan mahasiswa dalam meriset hanya dalam ritual menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Pekerjaan dan budaya meriset hanya tumbuh bagi mahasiswa yang aktif di lembaga pers mahasiswa atau yang rajin mengikuti perlombaan karya tulis ilmiah.
Lalu, bagaimana dengan jutaan mahasiswa lain? Tentu masih belum terbangun budaya meriset. Sampai 17 April 2019, data Forlap Dikti menyebut kampus berbentuk Politeknik ada 290, Institut ada 228, Universitas ada 601, Akademi ada 1.047, Sekolah Tinggi ada 2553. Artinya, jutaan mahasiswa ini jika menghasilkan jutaan penelitian tentu berdampak positif pada pembangunan mutu bangsa.
Dalam membangun SDM kompetitif, inovatif, dan berkarakter, dibutuhkan beberapa strategi. Pertama, kebijakan Kemenristek Dikti untuk menguatkan riset mahasiswa. Publikasi ilmiah mahasiswa harusnya tidak hanya sebagai syarat mahasiswa S2 atau S3. Namun mahasiswa S1 harus diwajibkan menulis di jurnal nasional sebagai syarat kelulusan.
Kedua, untuk mendukung itu, kampus perlu mengeluarkan kebijakan pada mahasiswa untuk meriset minimal satu penelitian dalam satu tahun. Hal ini sangat penting dilakukan, selain menguatkan mutu dan nalar ilmiah, prodi atau jurusan sangat membutuhkan prestasi mahasiswa untuk kepentingan akreditasi. Apalagi pada borang akreditasi APS 4.0 dan IAPS 4.0, luaran berupa riset di jurnal ilmiah, maupun media massa sangat dibutuhkan.
Ketiga, integrasi perkuliahan berbasis produk, event, dan pengabdian masyarakat. Dosen harus mengembangkan blended learning yang mengarah pada produk, baik berupa artikel/esai ilmiah melalui mini riset atau produk inovasi sesuai jurusannya. Kuliah tidak hanya menjadi tatap muka yang berbicara teori menjenuhkan, namun ada capaian pembelajaran yang menguatkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan mahasiswa.
Keempat, inovasi melalui kewajiban publikasi, baik di jurnal ilmiah, majalah, buku, media massa, atau di Youtube. Jika satu mahasiswa tidak mampu menulis satu karya, maka dosen mengarahkan satu kelas menerbitkan buku antologi atau bunga rampai. Kelima, perlu kolaborasi riset atau “riset payung” yang dilakukan berjemaah antara dosen dan mahasiswa. Tujuannya, agar mahasiswa terlibat dalam kegiatan meneliti bersama dosen.
Keenam, mewajibkan mahasiswa mengikuti perlombaan riset, PkM, atau kompetisi yang mengasah nalar meriset, berliterasi, dan novasi. Ketujuh, alokasi anggaran hibah riset pada mahasiswa, baik dari kampus, atau yayasan, mitra, atau perusahaan yang membutuhkan produk riset. Saat ini pemerintah daerah sangat membutuhkan kajian dan riset dalam menyusun program atau anggaran. Jadi tiada alasan bagi mahasiswa untuk tidak meriset di mana saja kampus mereka berada.
Berbasis Literasi Baru
Konsep di atas akan lebih kuat jika ada dukungan dan sinergitas semua elemen. Capaian konsep di atas harus bermuara pada penguatan literasi baru sebagai pelengkap literasi lama dalam menjawab era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Literasi lama hanya bermuara pada keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, namun literasi baru mengarah pada keterampilan literasi data, teknologi, dan manusia (SDM).
Ada beberapa strategi menguatkan kemampuan mahasiswa periset berbasis literasi baru. Pertama, pengunaan data dalam produk ilmiah dari yang paling sederhana seperti artikel atau esai populer sampai artikel ilmiah. Riset tanpa data sama saja omong kosong, apalagi saat ini eranya big data atau “banjir data”. Mahasiswa dilarang menjadi penikmat, namun harus menjadi produsen data sahih, bebas plagiasi, falsifikasi, duplikasi, dan fabrikasi.
Kedua, penguatan literasi teknologi yang mendukung riset. Siapa pun mahasiswa saat ini pasti memiliki gawai. Selama ini gawai hanya digunakan berselancar di medsos dan layanan pesan. Mahasiswa harus diarahkan menggunakan gawai untuk riset. Perlu edukasi penggunaan aplikasi Mendeley, Zotero, Turnitin, dan pendampingan dalam mengunggah karya di jurnal online. Pasalnya, saat ini hampir semua jurnal berbasis siber dan OJS yang harus dikuasai mahasiswa.
Ketiga, penguatan literasi manusia yang menekankan kompetensi dan karakter. Hanya mahasiswa bermutu lah yang kompetensi dan karakternya kuat. Perlu penekanan dua hal yang harus dimiliki mahasiswa. Mulai dari keunggulan “kompetitif” dengan indikator suka berkompetisi, dan “komparatif” dengan keunggulan akademik, meriset, dan literasi. Keduanya harus dimiliki mahasiswa untuk menjawab era disrupsi ini.
Sinergi
Gagasan di atas akan kuat jika ada sinergitas antara perguruan tinggi negeri, dan swasta baik di bawah Kopertais/Kemenag atau di bawah LLDIKTI/Kemenristek Dikti. Jika satu tahun semua kampus menghasilkan produk ilmiah, karya seni, jurnalistik, dan teknologi, maka Indonesia pasti maju. Sebab, bangsa lain sudah memproduksi teknologi, kita masih disibukkan dengan masalah literasi.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 harus diperkuat dengan riset mahasiswa. Adanya anggaran sebesar 41,26 triliun rupiah pada 2019 harus disalurkan juga pada mahasiswa untuk meriset. Tujuannya jelas, menyiapkan SDM milenial Indonesia yang kreatif, inovatif, dan berdaya saing tinggi. Dari mana hal itu dapat terwujud? Tentu melalui riset. Sebab, riset bukan segalanya, namun segalanya dapat berawal dari sana!

——– *** ——–

Tags: