Membangun Masa Depan Global Melalui Kurikulum Merdeka

Oleh:
Runti Widijantari
Penulis adalah Guru SMKN 7 Surabaya

Pendidikan adalah hak asasi manusia, barang publik dan tanggung jawab publik secara global yang akan menentukan kualitas diri dan martabat bangsa. Sayangnya, pandemi Covid-19 telah menyebabkan gangguan pembelajaran global dengan skala dan tingkat keparahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Penutupan sekolah, universitas, dan lembaga pembelajaran lain, serta terhentinya banyak program literasi dan pembelajaran telah memengaruhi kehidupan sekitar 1,6 miliar siswa di lebih dari 190 negara.

Sampai saat ini, pendidikan dan penguasaan keterampilam menjadi salah satu alat utama untuk bersaing di era ini. Namun masih banyak orang yang bimbang untuk melanjutkan pendidikan atau merasa tidak termotivasi. Tanpa pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta kesempatan seumur hidup untuk semua, negara tidak akan berhasil mencapai kesetaraan gender dan memutus lingkaran kemiskinan yang meninggalkan jutaan anak, remaja, dan orang dewasa.

Tak salah apa yang pernah diungkapkan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” yang artinya “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia”. Dengan kata lain, dapat juga diartikan bahwa pendidikan adalah langkah pertama bagi orang untuk mendapatkan pengetahuan, pemikiran kritis, pemberdayaan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Sangat bijaksana kala kita merenungkan kembali apa yang pernah diungkapkan Mahatma Gandhi, “Live as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to live forever” yang dapat kita alihmaknakan “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok. Belajarlah seolah-olah kamu akan hidup selamanya”. Penting untuk memanfaatkan hari, tetapi selalu luangkanlah waktu untuk belajar lebih dalam dan lebih luas.

Sementara, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia ini punya sebuah konsep mendasar tentang pendidikan. Bagi Ki Hajar, manusia Indonesia, harus tumbuh sesuai dengan kodrat, keahlian, dan juga apa yang mereka minati. Akan menjadi bahaya ketika pendidikan masuk ke dalam sistem pendidikan yang menyeragamkan semua anak. Penyeragaman pengetahuan hanya akan menghasilkan pekerja-pekerja yang siap menuruti apapun yang diminta oleh atasannya. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan bangsa yang ingin merdeka dan berdaya.

Sekali lagi, mari kita menoleh kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang karakter. Di dalam dunia pendidikan, karakter adalah salah satu hal yang harus diperhatikan oleh kita semua. Karakter adalah salah satu modal pembentuk pribadi yang baik, bijaksana, bertanggung jawab, jujur, dan dapat menghargai satu dengan yang lainnya.

Di era yang mengarah pada pascapandemi saat ini, penguatan pendidikan karakter wajib digalakkan karena perkembangan zaman serta teknologi yang semakin cepat. Sehingga, perlu penguatan dari dalam diri individu agar dapat terus berkembang juga tanpa adanya distorsi terhadap kebudayaan asli Indonesia. Pendidikan karakter juga menjaga agar pribadi bangsa tetap dalam karakter bangsa Indonesia.

Hal di atas disebabkan karena kurangnya moral dan rendahnya karakter individu. Ketika tingkat moral dan karakter individu rendah akan menyebabkan individu tersebut dapat berbuat kerusakan. Mereka akan melakukan apapun yang mereka mau tanpa memperdulikan lingkungan sekitar. Maka dari itu sangatlah penting bagi lingkungan sekolah untuk dapat menekankan pendidikan karakter dengan baik dan efisien. Sehingga menghasilkan lulusan yang cerdas, berkeilmuan tinggi, rendah hati, dan peduli dengan lingkungan.

Esensi Kurikulum Merdeka

Peluncuran Kurikulum Merdeka ini menjadi bagian penting dalam upaya pemulihan pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Inti keberadaannya adalah upaya mitigasi terhadap terjadinya learning loss. Arah perubahan kurikulum yang termuat dalam Merdeka Belajar Episode 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar ini adalah struktur Kurikulum Merdeka yang lebih fleksibel, fokus pada materi yang esensial.

Selain itu juga memberikan keleluasan bagi guru untuk menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Kurikulum Merdeka beri otonomi bagi siswa dan sekolah Penerapan Kurikulum Merdeka juga didukung oleh aplikasi khusus yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagi praktik baik.

Sebagai sebuah keterampilan dalam mengaplikasikannya, guru perlu penyesuaian dan semangat belajar agar terampil menggunakan kurikulum tersebut. Beradaptasi dengan sesuatu yang baru bukanlah hal mudah bagi beberapa orang guru. Diperlukan fase awal dari dimensi sikap, yakni ‘keberterimaan’.

Esensi dari Kurikulum Merdeka adalah merdeka belajar. Dalam hal ini, guru perlu mendapatkan data yang komprehensif dari setiap siswanya sebelum merancang dan melaksanakan proses pembelajaran. Guru perlu menumbuhkembangkan potensi yang terdapat dalam diri siswanya agar pembelajaran berlangsung dalam suasana menyenangkan (wellbeing).

Praktik diferensiasi dalam pembelajaran dalam koridor memahami karakter yang berbeda di antara diri siswa, juga merupakan salah satu esensi penting dalam cita-cita Kurikulum Merdeka. Hal inilah yang akan menghindarkan bangsa Indonesia dari apa yang menjadi kekhawatiran Ki Hajar Dewawantara bahwa “Penyeragaman pengetahuan hanya akan menghasilkan pekerja-pekerja yang siap menuruti apapun yang diminta oleh atasannya.”

Inilah yang perlu diperlajari dan segera dipahami guru. Bagaimana memahami konsep merdeka belajar hingga mampu diaplikasikan guna melayani siswa yang notabene memiliki aneka gaya belajar, bakat dan karakternya. Karena hakikatnya, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada prinsipnya merupakan sebuah proses komunikasi. John Lasswell, seorang pakar Pendidikan Finlandia menyatakan bahwa terdapat lima unsur dalam berkomunikasi, di mana satu dengan lainnya saling berkaitan; sumber (communicator), pesan (message), media (medium), penerima pesan (audience) dan efek (effect). Sumber di sini adalah ‘guru’, sedangkan penerima pesan sebagai ‘siswa’. Masing masing memiliki karakteristik.

Ada satu hal baru lagi yang dianggap penting 20-30% alokasi jam pelajaran untuk membentuk karakter siswa adalah pembelajaran berbasis projek untuk penguatan profil Pelajar Pancasila (yang memiliki karakter akhlak mulia, gotong royong, kebinekaan, kemandirian, nalar kritis, kreativitas) dilakukan minimal 3 kali dalam satu tahun ajaran.

Kalau kita amati bedanya, praktik pembentukan dan penguatan karakter di Kurikulum 2013 dilaksanakan secara implisit, tanpa ada aloksai waktu khusus seperti yang digagas dalam Kurikulum Merdeka ini. Hal ini yang memunculkan harapan besar utuk keberhasilannya.

———- *** ———–

Tags: