Membangun Pemerintahan yang Akuntabel

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

20 Oktober 2014, Indonesia kembali menorehkan sejarah. Ya, hari itu adalah hari dimana pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih produk pemilu langsung akan  dilaksanakan. Sekaligus sebagai pertanda telah terjadi peralihan rezim kekuasaan dan pengambilan mandat dari SBY dan Boediono.
Mungkin baru pertama kali dalam sejarah Indonesia dimana rakyat ikut gembira dan euforia dalam merayakan pergantian pemerintahan. Antusiasme berbagai kelompok masyarakat terlibat acara “Syukuran Rakyat” mengantar presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK menuju Istana Negara begitu tinggi. Berbagai program acara diagendakan. Mereka datang tidak hanya dengan sumbangan ide kreatif dan tenaga, tetapi juga makanan dan kebutuhan lain.
Relawan Jokowi Presiden Wong Cilik menyumbang konsumsi berupa 25.000 nasi bungkus, 10.000 dus air mineral gelas, 50 peti buah jeruk dengan setiap peti seberat 16-20 Kg, dan  5.000 bungkus makanan ringan. Total nilai sumbangan mencapai Rp. 385 juta. Konsumsi tersebut akan dibagikan kepada masyarakat saat acara syukuran. (Kompas, 19/10/2014).
Ekpektasi rakyat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala aspeknya yang lebih baik dibawah kendali Jokowi-JK begitu tinggi. Hal yang wajar, karena selama 10 tahun kita dikungkung oleh kekuasaan pencitraan, meski kita tak perlu menutup mata atas berbagai keberhasilan pemerintahan sebelumnya. Untuk itu, kita patut mengucapkan terima kasih kepada SBY-Boediono.
Selanjutnya, kita jangan terlalu tenggelam dalam kegembiraan. Jalan perjuangan masih panjang. Mari kita mulai pekerjaan, sesuai dengan bidang kita masing-masing, untuk menyongsong Indonesia Hebat. Dan yang terlebih penting, kita harus memastikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tetap berjalan di jalan yang lurus dalam menunaikan janji-janjinya disaat kampanye lalu.
Untuk itu, tak ada salahnya kita menengok kembali visi, misi, dan program Jokowi-JK di laman KPU. Jokowi-JK telah menuangkan program-program khusus terkait dengan upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintahan nasional yang akan mereka pimpin mulai 20 Oktober 2014.
Bagi masyarakat pemilih, menelaah program akuntabilitas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini sangatlah penting. Sebab, janji-janji itulah yang akan dikonversi ke dalam implementasi akuntabilitas kepemimpinan pemerintahan selama lima tahun mendatang. Secara umum, hasil analisis terhadap program yang terkait dengan akuntabilitas pemerintahan menunjukkan bahwa Jokowi-JK telah belajar dari praktik-paraktik akuntabilitas yang telah berlangsung sejak era reformasi.
Agenda prioritas akuntabilitas pemerintahan Jokowi-JK, misalnya, tercermin dari tekad membangun tata kelola pemerintahan yang transparan dan menjalankan reformasi birokrasi (restrukturisasi organisasi, perbaikan pelayanan, kompetensi aparat, dan supervisi pelayanan). Guna mendorong partisipasi dalam pelayanan, Jokowi-JK berjanji menuangkannya dalam undang-undang kontrak pelayanan (citizen charter).
Selain itu, Jokowi-JK menjanjikan transparansi rencana, proses, dan alasan pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Dalam pemberantasan korupsi, Jokowi-Jk, antara lain, berjanji mendukung KPK serta sinerginya dengan Polri dan kejaksaan, membentuk rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset dan RUU pembatasan transaksi tunai. Prioritas penanganan korupsi difokuskan pada sektor hukum, politik, pajak, bea cukai, dan industri sumber daya alam.
Janji akuntabilitas tersebut cukup memberikan harapan tentang watak pemerintahan yang akan dipimpin lima tahun mendatang. Namun, program-program tersebut sejatinya mesti berhadapan dengan sejumlah fakta politik yang kontraproduktif. Faktanya, pilpres langsung dalam sistem multipartai terbukti menghasilkan pemerintahan koalisi yang berisiko mempersulit akuntabilitas pemerintahan.
Jokowi-Jk didukung lima partai politik (PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, belakangan PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya versi Romahurmuzy juga menyatakan akan merapat) yang sangat mungkin memiliki motif koalisi yang berbeda. Tujuan koalisi yang paling berlawanan denga semangat akuntabilitas pemerintahan terutama adalah mencari jabatan (office seeking).
Hasil studi perilaku parpol di banyak negara menunjukkan, niat bergabung dalam koalisi terutama adalah parpol bisa mengontrol institusi yang dijabatnya. Penunjukan posisi dalam kabinet bernilai strategis bagi terjadinya tidakan diskresi jabatan dan kebijakan. Manfaat jabatan bisa diaarahkan agar menguntungkan individu dan golongan atau parpol (Strom, 1990).
Dua periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) memberi kita pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Pasalnya, jumlah menteri yang berlatar belakang parpol justru meningkat. Dalam KIB I, sedikitnya terdapat 16 menteri dan tujuh parpol. Saat KIB II pertama terbentuk, jumlah menteri dan parpol sedikitnya bertambah tujuh posisi. Padahal, saat itu, anggota koalisi justru berkurang satu parpol.
Dalam konteks Indonesia, beban koalisi masih ditambah oleh keterlibatan tokoh-tokoh nonpartisan. Keikutsertaan mereka dalam mendukung pemenangan para capres tentu tidak steril dari kepentingan. Kompensasi jabatan atau konsesi kebijakan akan menjadi tantangan perwujudan janji akuntabilitas pemerintahan Jokowi-JK.
Partai politik yang bekerja secara berjejaring mulai tingkat nasional sampai level daerah berkonsekuensi menimbulkan kultur berpatron yang disonminasi keterikatan pada aturan atau norma informal. Sumberdaya negara akan berpotensi mengalami distorsi pemanfaatan bagi para pendukung parpol. Padahal, setiap rupiah dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah (APBN/APBD) sejatinya adalah barang publik yang semetinya dimanfaatkan seluruh publik dengan setara.
Catatan kritis terhadap program akuntabilitas pemerintahan Jokowi-JK  adalah kurangnya penekanan terhadap optimalisasi beberapa lembaga pengawal dan penjaga akuntabilitas pemerintahan. Misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Informasi, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Institusi-institusi pelat merah tersebut telah memiliki pengalaman memadai dalam mendorong akuntabilitas keuangan negara dan daerah, akuntabilitas pembangunan, peradilan, pelayanan publik, dan mendorong keterbukaan informasi. Karena itu, mereka pun layak mendapatkan prioritas agar dapat berfunsi optimal.
Bagi publik, mengukur akuntabilitas pemerintahan capres bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, seberapa akan tetap amanah pemerintahan terpilih dalam memprioritaskan kepentingan publik daripada sejawat koalisi. Kedua, pemerintah terpilih sepakat memformalkan janji-janji akuntabilitas dalam regulasi tertentu untuk mencegah pemerintahan absolut atau memerintah diluar semestinya. Akhirnya, selamat bekerja Jokowi-JK.

                                                                                             —————————- *** ——————————

Rate this article!
Tags: