Membangun Remaja Bermental Aswaja

Muzayyinatul HamidiaOleh :
Muzayyinatul Hamidia
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Islam Malang

Krisis akhlaq para remaja masa kini nampak menjadi pemandangan yang biasa di negeri ini. Meningkatnya problematika remaja, tidak hanya mencuat dalam tayangan televisi, media massa atau dunia cyber, melainkan juga banyak terjadi di sekitar lingkungan kita sendiri. Hal ini membuktikan bahwa krisis akhlaq dan prilaku amoral remaja seaolah-olah telah menjadi penyakit kronis yang mendarah daging.
Menurut Wills (2005) dalam Yulista (2011) menyatakan bahwa kenakalan remaja di masa sekarang ini sudah membahayakan, seperti pemerkosaan, perampasan, penggunaan obat-obat terlarang kerap terjadi di mana-mana. Sehingga masalah ini tentunya sangat meresahkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sekaligus menjadi tanggung jawab bersama dalam menanggulangi dan melakukan upaya preventif kenakalan remaja dewasa ini.
Aswaja atau yang dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki tujuh prinsip dasar nilai yang jika dibudayakan kepada para remaja akan menciptakan remaja yang berkualitas, berimtaq (iman dan taqwa) dan beriptek (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Tentunya prinsip-prinsip ini tidak bisa berjalan sendiri tanpa usaha keras baik dari pihak keluarga, sekolah dan masyarakat.
Aswaja atau Ahlussunnah Wal Jamaah didefinisikan sebagai kelompok yang yang mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rosulullah dan para sahabatnya (Abdussomad, 2012). Dengan kata lain aswaja bertujuan untuk menuntun manusia agar tetap berpegang teguh pada sunnah-sunnah Rosulullah SAW serta sahabatnya.
Dalam hal ini Aswaja memiliki tujuh prinsip dasar yang penting untuk diikuti (Thamrin, 2014) khususnya dalam konteks pembelajaran di kelas. Pertama, Jalb al-mashalih wa dar’u al – mafasid (mewujukan kemaslahatan dan menolak kemudharatan). Prinsip ini bisa kita terapkan ke dalam  penggunaan medsos (media-sosial), misalnya dalam konteks pembelajaran di kelas. Guru bisa menyuruh siswa untuk memposting kreativitas mereka ke dalam media-sosial, kreativitas yang berupa puisi, cerpen, poster, kaligrafi atau karya hand-made mereka. Dengan begitu siswa akan berfikir dan bertindak lebih kreatif dalam penggunaan media sosial. Sehingga akan tercipta sebuah kebermanfaatan dan mengurangi kemudharatan dalam penggunaan medsos oleh remaja.
Kedua, Al-Ukhuwah (Persaudaraan). Prinsip ini bisa diterapkan oleh guru dengan membuat tugas kelompok, membuat group di media sosial mereka, sehingga tercipta kebersamaan dan persaudaraan yang semakin erat. Mengajak mereka sholat jamaah bersama di musholla sekolah atau kegiatan mengaji Al-qur’an sebelum jam tujuh menggunakan speaker sekolah yang diparalel ke kelas-kelas. Kegiatan ini bisa dilakukan setiap hari dengan pembagian jadwal. Sehingga selain tercipta kebersamaan, juga tecipta sisi religiusitas antar siswa/remaja.
Ketiga, Al-Musawwa (Persamaan). Prinsip ini bisa diterapkan oleh guru dengan cara tidak membeda-bedakan mereka dalam hal kemampuan intelegensi dan strata sosialnya. Sehingga, bagi anak yang kurang mampu atau memiliki kebutuhan khusus tidak merasa minder (kurang percaya diri) terhadap teman-teman sebayanya. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan karakter atau psikologisnya. Prinsip persamaan ini juga bisa memupuk kebersamaan para remaja tanpa harus mempermasalahkan perbedaan diantara mereka, karena remaja cenderung pilah-pilih dalam membentuk sebuah komunitas dalam pertemananya. Namun, dengan dibudayakannya prinsip ini mereka lebih bisa memanfaatkan perbedaan dengan baik.
Keempat, Al-Adalah (Keadilan). Prinsip ini bisa diterapkan oleh guru dengan memberikan keadilan dalam permasalahan yang ada di dalam kelas. Misalnya ada remaja/siswa yang suka mencuri atau berkelahi dengan temannya, maka guru dituntut untuk mengusut tuntas dan memberikan keadilan yang seadil-adilnya. Karena tak jarang kita temui di sekolah, masih ada guru yang cuek untuk menyelesaikan masalah siswa karena dipandang sepele. Padahal permasalahan yang nampak sepele inilah yang akan berpengaruh pada perkembangan psikologis dan karakternya.
Kelima, Al-Hurriyah (Kebebasan). Menurut teori psikologi perkembangan, remaja memiliki sense of knowing yang tinggi serta emosi yang labil. Dalam menerapkan prinsip kebebasan ini, misalnya guru menyilahkan siswa untuk mengungkapkan pendapat dan idenya serta mengekpresikan segala kreativitasnya sesuai dengan bakat dan minatnya. Tetapi tetap dengan batasan-batasan etika, moral dan agama.
Seperti yang sering terjadi pada dewasa ini, siswa salah kaprah dalam menggunakan kebebasannya. Seperti berpakaian minim, mencorat-coret gedung-gedung sekolah dan berbicara dengan nada yang tidak sopan, sehingga dalam hal ini guru perlu mengalihkannya kepada hal-hal yang positif. Misalnya, mengadakan lomba melukis tembok sekolah dengan motif batik, maka para remaja akan menggunakan kebebasan berfikirnya untuk hal yang bermanfaat.
Keenam, Al-Shulh (Perdamaian). Tawuran yang kerap kali tejadi dalam dunia remaja merupakan bentuk pertentangan terhadap nilai dan prinsip perdamaian. Untuk menanamkan prinsip ini, guru bisa mengajak siswa dalam kegitan-kegiatan sosial. seperti aksi solidaritas dalam pertikaian Palestina dan Israel. Mengadakan acara kegiatan bedah film atau buku yang bertema perdamaian. Sehingga para remaja semakin memahami makna dan pentingnya perdamaian antar sesama.
Ketujuh, Al-Rahmah (Kasih sayang). Setiap siswa/remaja tentunya sangat butuh kasih sayang orang tua dan guru. Guru yang mengajar dengan penuh cinta dan kasih sayang terhadap siswanya tentunya akan menciptakan siswa/remaja yang penuh kasih pula. Karena pada dasarnya prinsip kasih sayang inilah yang menjadi ibu dari prinsip-prinsip sebelumnya. Dengan kata lain, kita selaku pendidik harus mampu mengalihkan prilaku-prilaku negatif para remaja menjadi prilaku positif yang penuh makna.
Perlu digaris bawahi bahwa untuk membangun remaja yang bermental aswaja sesuai prinsip-prinsip yang telah penulis paparkan, tidak bisa serta-merta tercipta hanya dengan mengandalkan usaha pihak sekolah. Prinsip ini juga harus diterapkan oleh orang tua dan masyarakat. Hal ini senada dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang  menyebutkan bahwa wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental dan spiritual yang handal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga (ii) lingkungan sekolah dan (iii) lingkungan masayarakat (Kristi, 2010).
Dalam hal ini perlu adanya sinergi antara pihak orang tua (keluarga), sekolah dan masyarakat dalam membangun karakter atau mental remaja penerus bangsa ke arah yang lebih baik. Tanpa adanya kompromi antara ketiganya, maka usaha untuk mengatasi keterpurukaan mental remaja masa kini bak air yang jatuh di daun talas.

                                                                         ———————— *** ————————–

Rate this article!
Tags: