Membangun RSUD Soetomo 2, 3

rsud-dr-SoetomoKAPASITAS rujukan utama RSUD (rumahsakit umum daerah) Dr. Soetomo, sudah rutin menjadi keluhan masyarakat. Sejak sebelum pelaksanaan jaminan sosial kesehatan BPJS, tingkat hunian sudah mengalami overload. Lebih lagi setelah diberlakukan BPJS (sejak 1 Januari 2014), antrean rawat inap semakin panjang. Dalam laporan kegiatan operasional selalu tercatat tingkat BOR (bed occupantion rate, tingkat hunian) lebih dari 70%.
Pemandangan pasien berjubel tidak hanya pada IRD (Instalasi Rawat Darurat), melainkan juga di ruang ICU serta ICCU dan cuci darah. Kondisi overload mengingatkan pada situasi 30 tahun lalu di rumahsakit RS khusus gawat darurat Simpang (kini arealnya berubah menjadi kompleks mall, hotel dan perkantoran). Pemandangan kumuh dan bau tak sedap menjadi kondisi keseharian yang tak menyehatkan.
Setelah direlokasi menjadi satu dengan RS Karangmenjangan (RSUD Dr. Soetomo), keadaan menjadi lebih baik. Setidaknya kumuh dan kotor tidak nampak lagi. Tetapi kondisi yang baik itu hanya bertahan selama 20 tahun. Sejak tahun 2012, situasi seolah-olah kembali. Beban (jumlah pasien) makin bertambah, sedangkan luas bangunan tak bertambah. Perlukah RSUD Soetomo direlokasi lagi?
Agaknya, yang lebih sangat diperlukan adalah pembangunan RSUD Dr. Soetomo “kw-2” dan “kw-3.” Yakni, semacam padanan RSUD rujukan utama provinsi yang lokasinya berada di luar Surabaya. Misalnya, terdapat RSUD Dr. Soetomo-II di Pasuruan atau Probolinggo untuk pasien warga “tapal kuda.” Begitu pula ada RSUD Dr. Soetomo-III di Pamekasan. Serta ada RSUD Dr. Soetomo IV di Jombang atau Nganjuk untuk pasien dari kawasan “mataraman.”
Problemnya saat ini, ketersediaan lahan menjadi masalah besar. Apalagi untuk BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) yang tak boleh mengambil untung sebesar-besarnya. Ini berbeda dengan pembangunan RS berkelas VVIP (seperti Graha Amerta) yang bertarif hotel bintang 4. Banyak perusahaan property berminat meng-ongkosi RS berkelas hotel mewah. Di Surabaya, rumahsakit super mahal ini banyak bermunculan, walau penanganan fungsional tetap saja berpusat di RSUD Soetomo.
Membaca tren itu, Pemprop dapat membangun padanan RSUD Dr.Soetomo di berbagai kawasan dengan menyediakan layanan VVIP. Toh sudah terdapat peraturan perbandingan jumlah kamar (dan tempat tidur) antara kelas 3, kelas 2, kelas 1 dan VIP serta VVIP. Masing-masing dengan pagu tarif yang bisa dikelola gendong-ngindit. Semirip mungkin dengan manajemen RSUD Dr. Soetomo di Karangmenjangan Surabaya.
Meski tidak akan sepadan benar dengan BLUD Dr.Soetomo Karangmenjangan, karena keterbatasan dokter spesialis dan alat kesehatan. Tetapi RSUD Dr. Soetomo “kw-2” dan “kw-3” bisa menjadi kanal efektif mengurangi banjir pasien. Ini disebabkan trade-mark (nama) RSUD Dr. Soetomo sudah menjadi sugesti kepercayaan. Faktor penting untuk proses kesembuhan pasien.
Pembangunan RSUD Dr. Soetomo di berbagai kawasan sudah direkomendasikan oleh (Komisi E) DPRD Jawa Timur, sejak akhir tahun 2013. Andaipun Pemerintah Propinsi tidak memiliki anggaran yang cukup, bisa digunakan utang pembiayaan. Antaralain melalui obligasi daerah. Sejatinya, utang (pinjaman) daerah telah diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 30 tahun 2011, khususnya tertuang dalam pasal 49.
PP ini disusul Permenkeu Nomor 111 tahun 2011. Berdasarkan peraturan tersebut, obligasi bisa ditawarkan untuk membiayai program yang dapat menghasilkan penerimaan. Syaratnya cukup mudah. Utamanya, opini BPK yang bukan dis-claimer terhadap APBD, serta tiga persyaratan lain. Yakni rasio kesanggupan untuk mengembalikan utang dan persetujuan DPRD.
Menilik kekuatan PAD Propinsi Jawa Timur (sekitar Rp 12 trilyun), Pemprop bisa menarik utang sampai Rp 4 trilyun lebih. Cukup untuk 4 RSUD rujukan kawasan. Dengan itu Pemprop bisa memenuhi amanat UUD pasal 28H ayat (1).

                                             ——————-   000   ———————

Rate this article!
Tags: