Membangun Sekolah Berparadigma Empati

H.DarmadiOleh:
H. Darmadi
Praktisi Pendidikan, Pemerhati masalah Sosial, Budaya, dan Politik, Tinggal di Lampung Tengah.

Berbagai peristiwa yang ada di media massa akhir-akhir ini sungguh telah menunjukkan bahwa memang ada pergeseran perilaku bangsa kita kearah negatif, khususnya berkaitan dengan sikap mental atau dalam bahasa pendidikan disebut dengan afektif.
Peristiwa-peristiwa tentang bagaimana para penjual bahan makanan mencampur makanannya dengan bahan-bahan murah yang berbahaya, perkelahian dan tawuran antar pelajar, penyiksaan terhadap anak-anak, pengeroyokan di jalan, makin bertambahnya pengemis di jalan, dan berbagai dampak sosial buruk lain yang seringkali diungkapkan di media masa menunjukkan beratnya tugas bangsa ini untuk memperbaiki afektif.
Survei yang dilakukan oleh Harian Kompas terhadap orang yang berusia dibawah 30 tahun dan diatas 30 tahun juga menunjukkan hal yang mengkhawatirkan tentang kepedulian ini. 50 persen lebih responden penelitian tersebut menyatakan fokus pada aktifitas untuk mengurus diri sendiri. Hanya sebagian kecil yang menyatakan memiliki aktifitas untuk kegiatan-kegiatan mengurus orang lain.
Kepedulian terhadap sesama sebenarnya telah diajarkan sejak anak-anak memasuki dunia pendidikan. Bahkan dalam pelajaran disebutkan bahwa adanya budaya gotong royong yang merupakan budaya luhur bangsa Indonesia yang berkenaan dengan saling peduli antar sesama merupakan budaya asli Indonesia. Dalam pendidikan agama juga mengajarkan betapa pentingnya kepedulian terhadap sesama itu diajarkan. Bahkan terdapat banyak ibadah-ibadah yang sangat terkait dengan kepedulian terhadap sesama ini, misalnya dalam Islam ada, shodaqoh, berbagai jenis zakat, berkorban pada hari raya Idul Adha, adalah merupakan contoh-contoh pembelajaran agama yang diarahkan pada pembinaan kepedulian terhadap agama. Kepedulian pemerintah, jika dilihat dari anggaran yang tersedia juga terlihat adanya upaya pemerintah untuk memberikan bantuan terhadap warganya yang tidak beruntung ataupun yang mengalami musibah.
Jika demikian kemudian, dimana kesalahan yang diperbuat oleh pendidikan kita, sehingga terjadi penurunan terhadap kepedulian terhadap sesama ini? Mengapa kita makin egois dan mementingkan diri sendiri? Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu tidak hanya dapat di tujukan kepada lembaga pendidikan kita semata, tetapi juga perilaku keseluruhan kita di masyarakat. Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, masyarakat juga merupakan produk dari pendidikan kita, mengapa mereka tidak memberikan teladan yang baik? Khususnya pada faktor kepedulian ini.
Godaan utama orang menjadi tidak peduli terhadap sesama adalah; 1) karena kecintaan orang tersebut yang sangat tinggi terhadap hal-hal yang bersifat materi. Kecintaan tersebut dapat berupa kekayaan, pangkat, jabatan, atau hal-hal lain yang bersifat materi. Oleh karena untuk memeperoleh hal-hal yang bersifat materi tersebut sebagian besar harus diperoleh dengan cara bersaing, maka kemudian terjadilah persaingan untuk memperoleh hal-hal yang bersifat materi tersebut. Hukum persaingan akan berlaku dalam kehidupan sehari-hari, yaitu berjuang sekuat tenaga untuk dapat mengalahkan dan mengungguli orang lain. 2) keikhlasan yang semakin berkurang. Kondisi ini terlihat dengan banyaknya orang yang tidak terpercaya dalam menjalankan berbagai amanah profesinya. Banyak perilaku yang berpura-pura karena ingin mendapatkan sesuatu yang lebih. Para pemimpin dan parah tokoh masyarakat juga tidak memiliki keikhlasan yang cukup dalam menjalankan amanahnya sebagai pemimpin, sehingga kemudian terlihat konsepnya memperjuangkan masyarakat, tetapi pada kenyataan sehari-hari masyarakat melihatnya sebagai perbuatan yang berujung pada upaya untuk mementingkan diri sendiri. Keikhlasan yang berkurang kemudian menyebabkan kejujuran juga berkurang. Keikhlasan yang berkurang menyebabkan orang lebih berfikir praktis dan instan.
Kondisi tersebut berkembang terus menerus, dan kemudian kenyataan di masyarakat terlihat bahwa orang-orang dengan kemampuan dan sikap seperti itulah yang memiliki status baik di masyarakat, apakah itu status sosial ataukah itu status ekonomi. Pendidikan yang dengan susah payah mengajarkan tentang rela berkorban dengan sesama, kesetiakawanan sosial, gotong royong, kerjasama, tidak mendapatkan teladan sama sekali di masyarakat. Juga agama yang mengajarkan bagaimana berkorban, shodaqoh, jariyah, amal, zakat, hanya sebatas ritual dan “upaya membuang sial saja”. Sehingga peristiwa-peristiwa yang ada di masyarakat menjadi faktor yang mengurangi tentang apa yang diajarkan di sekolah atau lembaga pendidikan.
Untuk membelajarkan kepedulian, maka lembaga pendidikan harus mengajarkan dan menteladankan tentang upaya untuk menghindari kedua hal tersebut. Pembelajaran dan keteladanan harus diarahkan untuk merubah pandangan peserta didik dari hal-hal yang berorientasi material kepada hal-hal yang berorientasi spiritual. Spiritual bukan dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat ritual keagamaan semata, namun dimaknai sebagai kecintaan dan kesadaran tentang kebahagiaan dalam menjalani pekerjaan karena hadirnya Allah SWT dalam kehidupan disemua level dan di semua status.
Pembelajaran juga harus secara kuat untuk menumbuhkan peserta didik disemua level untuk memiliki gaya hidup yang tidak materialis. Pembelajaran juga harus diarahkan untuk meninggikan kesadaran bagi peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi berguna bagi masyarakat, bukan untuk mendapatkan gelar, ijazah, atau hal-hal lain yang bersifat materialis.

                                                                                                           —————- *** —————

Rate this article!
Tags: