Membedah “Buku Putih” 50 tahun Harian Bhirawa

(Tradisi Pers, Mata Rakyat Mitra Birokrat) 

Oleh : Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Tidak mudah memilih isu strategis menjadikan sebagai berita. Juga tidak mudah memilah kebenaran informasi di tengah ragam data dan fakta. Setiap isu berita selalu bagai “belantara” luas informasi. Tetapi setiap insan pers (yang profesional) selalu menyaring informasi dengan berpijak pada asas kemanfaatan sosial. Juga dengan tradisi kejujuran, dan kebenaran informasi. Kukuh dengan asas dan tradisi pers, koran harian “Bhirawa” mampu bertahan terbit sampai 50 tahun.
Bukan hanya mampu bertahan, Bhirawa bahkan mencatatkan diri sebagai media main-stream di Jawa Timur yang menghasilkan laba. Sedangkan media cetak lain yang ber-SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus disubsidi “media induk.”Di Jawa Timur, tak banyak media yang bisa menghasilkan laba. Bahkan harus berkali-kali istirahat terbit. Sebagian telah beralih pemiliik (pemodal), tapi juga gagal bertahan terbit.
Selain sukses bertahan (sampai memiliki gedung sendiri), Bhirawa juga kukuh dengan asas kemanfaatan sosial, serta tradisi kejujuran dan kebenaran informasi. Buktinya, puluhan piala setingkat regional (Jawa Timur) telah diraih wartawan Bhirawa dari berbagai lomba penulisan jurnalistik. Juga piala penulisan jurnalistik level nasional yang diselenggarakan Kementerian, dan Lembaga Negara. Sampai tak cukup ruangan untuk menyimpan berbagai piala.
Puncaknya (prestasi tertinggi), Bhirawa meraih penghargaan “Adinegoro,” padaHPN (Hari Pers Nasional) tahun 2015 di Batam, Kepulauan Riau. Piala “Adinegoro,” diberikan kepada media dan wartawan(media cetak, elektronik, dan berbasis online) yang memiliki tulisan (serta foto, dan karikatur) jurnalistik terbaik. Bhirawa memperoleh piala Adinegoro pada kategori Tajuk Rencana.
Tajuk(kadang bernama Editorial), merupakan kolom khusus yang ditulis sebagai respons koran terhadap peristiwa yang memperoleh perhatian luas masyarakat. Saban hari penerbitan, setiap koran biasanya memiliki Tajuk (Editorial) berupa apresiasi, kritisi, dan saran-saran kepada pemerintah pusat, propinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota. Tajuk koran Bhirawa bukan menista, melainkan “mengawal kritis” kebijakan, disertai saran sesuai arah konstitusi dan regulasi.
Koran Bhirawa, boleh jadi, menjadi satu-satunya media cetak harian di Indonesia, yang “merdeka.” Bebas dari kepentingan pemodal. Karena seluruh aset (saham) koran Bhirawa, dimiliki oleh karyawan. “Kemerdekaan” Bhirawa, tercetus sejak 1999. Dulu, awalnya(tahun 1968) Bhirawa menjadi sarana komunikasi pemerintahan daerah seluruh Jawa Timur. Terutama, Kodam V Brawijaya, dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Pelopor Transparansi
Diterbitkan awal harian Bhirawa, bertepatan dengan peringatan hari jadi TNI ke-23, 5 Oktober 1968 (dulu disebut sebagai hari ABRI, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dibawahkan oleh Letnan Kolonel H Moch. Said, perwira menengah Kodam V/ Brawijaya. Sesuai misi awal-nya, pada tahun 1971 menjadi “corong” Golkar. Sampai pimpinannya, Letkol H. Moch. Said, menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Timur.
Tetapi Bhirawa bukan sekadar “corong” (partisan) parpol. Walau dibawahkan oleh parpol pemenang pemilu 6 kali berturut-turut, Bhirawa tidak larut pada suasana “mudah.” Melainkan tetap menjadi koran umum. Tetap berkinerja sesuai kepentingan jurnalisme umum. Namun harus diakui, dalam hal oplag (tiras) Bhirawa belum pernah menjadi koran terbesar di Jawa Timur. Bahkan konon, Bhirawa selalu pada suasana sulit.Terutama kesulitan menanggung ongkos terbit.
Suasana sulit (sebagai partisan), berujung pada gerakan reformasi tahun 1998. Bhirawa bagai di-merdeka-kan. Segera pula, kepemipinan (tanggungjawab) redaksi diserah kepada wartawan profesional. Bhirawa menjadi koran independen, dengan pilihan tema redaksi ke-birokrasi-an Jawa Timur. Tidak ada urusan pemerintahan di Jawa Timur yang luput dari “intaian”Bhirawa. Kinerja keuangan (APBD, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sampai kinerja layanan birokrasi, selalu men-dominasi pemberitaan.
Memilih tema redaksi birokrasi pemerintahan, bukan hal mudah. Karena tidak populer. Juga mesti menghindari ekses koran “kuning” aparat pemerintahan, sekadar meng-eksploitasi kesalahan pejabat. Dalam hal paparan jurnalisme (jujur, dan kritis) Bhirawa memiliki sejarah panjang. Sekaligus “hidup” dengan menjalin kerjasama per-iklan-an dengan jajaran pemerintahan. Iklan pariawara (advertorial) menjadi salahsatu pilar.
Dalam hal pariwara pemerintahan, Bhirawa menjadi pelopor nasional. Berbagai regulasi (undang-undang) juga mewajibkan transparansi publik. Terutama pelaksanaan APBN, dan APBD. Juga kinerja keuangan BUMN. Sehingga hubungan antara pemerintah dengan pers, bagai simbiose mutualism. Membangun transparansi melalui media masa (resmi). Sekarang, seluruh media cetak mengais perikalanan hasil kinerja pemerintahan. Bahkan media elektronika, juga menayangkan advertorial kinerja pemerintahan, dan lembaga negara.
Bhirawa, kini telah memiliki “akar” informasi yang kuat pada sektor informasi publik ke-birokrasi-an. Bahkan tiada relung ke-APBD-an yang luput dari jurnalisme kritis Bhirawa. Tiada pejabat tinggi birokrasi daerah (Kepala Dinas sampai Sekretaris Daerah) bisa memandang sepele pers. Kepala Daerah (Bupati, Walikota, dan Gubernur) juga senantiasa memperhatikan kritisi pers. Hubungan pejabat dengan aparat, terjalin saling dukung, menuju pemerintahan makin bersih, makin cerdas.
Saling dukung dengan tetap menjaga hak dan kewajiban. Tiada yang kebal hukum, termasuk jajaran birokrasi, legislatif (DPR dan DPRD), maupun wartawan. Kesetaraan di hadapan hukum merupakan komitmen bangsa Indonesia, tertuang dalam konstitusi (UUD). Serta merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) yang berlaku universal di seluruh dunia. Begitu pula tata-kelola informasi telah menjadi bagian hak asasi yang digaransi konstitusi. Kinerja jurnalistik (dan wartawan-nya) wajib tunduk pada seluruh peraturan, termasuk hukum adat.
Namun harus diakui, kinerja jurnalistik masih mengalami kendala “godaan” partisan. Sudah banyak media terjerumus ke dalam arus kepentingan pemilik modal. Menjadi pembela pragmatisme, sampai menjadi underbouw partai politik (parpol). “Godaan” partisan niscaya berujung pada netralitas kinerja pers. Bahkan bisa terjerumus membela tindakan kriminal (pemilik modal) dan melindungi koruptor elit parpol.
Kinerja jurnalistik (wartawan), seharusnya juga ditimbang dengan UU Nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.”Frasa kata”berkewajiban” secara langsung ber-iringan dengan kewajiban lain, pada pasal 5 ayat (2), tentang hak jawab.
Hak jawab, diberikan kepada masyarakat, yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. maka masyarakat memiliki hak jawab. Pers wajib memuat jawaban oleh masyarakat yang dirugikan, pada halaman yang sama dan ukuran (luas halaman) yang sama. Bahkan pada kode etik pers, harus ditambah kata “maaf” manakala terjadi kesalahan. Maka terhadap pemberitaan yang merugikan, tidak perlu dilakukan adu otot maupun adu kuasa.
Trial by the press (kesalahan pers), dapat disetarakan seperti kecelakaan kerja pada profesi lain. Kadang disebabkan ke-lalai-an. Juga bisa disebabkan dampak partisan. Namun yang paling sering disebabkan in-kompetensi, karena lembaga pers yang tidak becus. Lebih lagi era kebebasan pers saat ini, banyak diterbitkan koran tanpa kaidah jurnalistik memadai. Dalam hal kesalahan kinerja jurnalistik, pers tidak kebal hukum.
Pers (termasuk kepeloporan Bhirawa) telah menjadi sarana membangun transparansi pemerintahan. Seluruh rakyat hanya mencari dan menunggu peliputan pers yang cerdas serta jurnalisme dedikatif. Namun kinerja pers, merupakan pertanda budaya bangsa, tercermin dari ragam liputan yang diterbitkan. Tetapi wartawan dedikatif tidak tunduk pada suasana sosial yang buruk.

——— 000 ———

Tags: