Membela Kemandirian KPU

Arum WismaningsihOleh :
Arum Wismaningsih
Warga Jombang pemerhati masalah sosial dan politik

Salah satu poin yang mendapat banyak sorotan dalam revisi UU Pilkada adalah kewajiban KPU dalam membuat peraturan harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR dan hasil konsultasi itu bersifat mengikat. Aturan ini ditakutkan akan mengganggu kemandirian KPU.
Kewajiban konsultasi dengan DPR dalam pembuatan PKPU sebenarnya bukan hal baru bagi KPU. Dalam UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga telah diatur bahwa Peraturan KPU ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Bedanya, dalam revisi UU Pilkada ini, muncul norma bahwa hasil konsultasi itu bersifat mengikat. Artinya, KPU wajib mengikuti hasil konsultasi dan memasukkannya dalam PKPU. Disinilah letak masalahnya.
Semakin bermasalah juga karena hasil konsultasi tidak bisa menjamin adanya kepastian dukungan politik DPR terhadap pelaksanakan pemilihan. Hal ini terjadi karena sikap partai politik acapkali berubah-rubah, tergantung pada kepentingan politiknya. Hari ini bersikap A, besok bisa bersikap Z. Contoh paling jelas dari hal itu adalah mengenai Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dalam Pilpres 2014.
Usul KPU untuk mengakomodasi dan menjamin semua pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dan memunculkan DPKTb, mendapat dukungan DPR dalam rapat konsultasi. Namun nyatanya, kebijakan DPKTb ini justru dipermasalahkan dalam PHPU Pilpres 2014, padahal pasangan capres waktu itu didukung oleh sejumlah Partai Politik yang memiliki wakil di DPR dan menyetujui DPKTb dalam rapat konsultasi.
Kekhawatiran bahwa KPU tidak dapat lagi mandiri karena “intervensi” DPR bukannya tanpa alasan. Dalam gelaran Pilkada serentak 2015, setelah mendapat tekanan DPR, KPU terpaksa harus merubah PKPU 9/2015 menjadi PKPU 12/2015 untuk “mengakomodasi” partai politik yang bersengketa agar dapat tetap ikut mendaftarkan pasangan calonnya dalam Pilkada.
Hal ini tentu mengkhawatirkan. Sebagai lembaga yang menurut konstitusi harus bersifat mandiri, KPU musti bebas dari intervensi politik. Bagaimana kontestasi politik bisa berjalan fair jika penyelenggaranya berada dalam tekanan?
Robert A. Pastor berpendapat bahwa kemandirian penyelenggara Pemilu harus terlihat dalam kewenangannya untuk : mengatur (regelling), memutus (beschikking), membuat kebijakan (beleid) dan melaksanakan (executing). Dalam hal-hal itulah seyogyanya kemandirian penyelenggara Pemilu benar-benar dijaga, selain juga memastikan bahwa adanya kemandirian orang yang berada didalamnya.
Dari sisi pembuatan peraturan perundang-undangan, ketentuan konsultasi sebenarnya juga bermasalah, setidaknya karena 2 alasan. Pertama, PKPU merupakan peraturan yang muncul berdasarkan delegasi kewenangan (delegated legislation), seperti yang ada dalam pasal 8 ayat (1) dan (2) UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan jenis ini merupakan peraturan yang wewenang sepenuhnya pembuatannya berada ditangan lembaga yang diberi delegasi kewenangan dengan mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, misalnya Undang-Undang yang dibuat oleh institusi politik yakni DPR dan pemerintah (yang merupakan representasi dari kekuatan politik penguasa).
Siapapun sebenarnya tidak boleh intervensi, termasuk Presiden dan DPR. Toh, pembuatan peraturan berdasarkan delegasi kewenangan ini juga masih bisa dikontrol jika misalnya dianggap menyimpang dari peraturan diatasnya. Kontrol itu bisa dilakukan melalui Judicial review ke MA atau dilakukan perbaikan sendiri oleh lembaga pembuat melalui executive review.
Kedua, kewajiban konsultasi juga sebenarnya merupakan sikap diskriminatif karena nyatanya, baik dalam aturan maupun praktek, tidak ada pembentukan peraturan berdasarkan delegasi kewenangan yang dikonsultasikan ke DPR. Hanya KPU, Bawaslu dan DKPP yang harus konsultasi. Lembaga Negara yang lain tidak pernah melakukannya karena memang tidak ada kewajiban.
Sebut saja Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pembenatasan Korupsi dan sebagainya. Dalam membuat peraturan, mereka tidak diwajibkan untuk melakukan konsultasi ke DPR. Entah kenapa, khusus lembaga penyelenggara Pemilu hal itu diwajibkan.
Sayang, suara penolakan atas upaya intervensi DPR dan Pemerintah terhadap kemandirian KPU ini hanya disuarakan sekelompok kecil orang. Setidaknya para penyelenggara Pemilu yang merasa terancam, para aktivis organisasi non pemerintah serta sejumlah akademisi. Isu mengenai terancamnya kemandirian penyelenggara Pemilu masih menjadi isu elitis.
Rakyat secara umum masih belum bersuara, padahal kemandirian penyelenggara Pemilu inilah yang menjadi jaminan bagi kedaulatan rakyat. Dengan begitu, maka tidak mandirinya penyelenggara pemilu juga adalah ancaman secara langsung bagi kedaulatan rakyat. Semoga masyarakat secara umum mulai bersuara untuk menjaga kemandirian KPU, bukan membela institusi KPU, tapi membela kedaulatan mereka.
Bukan begitu.

                                                                                                             —————– *** —————–

Rate this article!
Membela Kemandirian KPU,5 / 5 ( 1votes )
Tags: