Membela Nasionalisme

Najamuddin Khairur RijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Masalah besar bangsa Indonesia yang selalu bergejolak dalam benak kita adalah mengapa kita masih di belakang dan tercecer dalam derap perkembangan zaman? Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya raya, berada pada letak geografis yang sangat strategis, baik secara ekonomi maupun geopolitik.
Negeri yang di tanahnya terhampar areal persawahan yang luas membentang, lembah-lembah dengan ribuan sungai, serta beberapa gunung berapi sebagai sumber vulkanis yang subur, kesemuanya sangat cocok untuk pertanian dan perkebunan, juga sumber kekayaan hutan tropis yang terbesar di dunia dengan ribuan spesies tumbuhan.
Indonesia juga merupakan negara kepulauan (archipelago) dengan laut yang sangat luas, menyimpan beragam jenis biota dan hewan laut, terkandung jutaan metrik ton pasir dan bahan mineral serta minyak bumi sebagai sumber energi modern penggerak peradaban umat manusia. Keanekaragaman hayati, flora serta fauna merupakan yang terlengkap di dunia. Setiap jengkal tanah yang terbentang dari timur ke barat hingga selatan ke utara menyimpan kekayaan alam yang melimpah.
Kekayaan alam itu didukung oleh kemajemukan masyarakat dengan jumlah yang secara kuantitas terbesar keempat di dunia. Sungguh merupakan limpahan tenaga produktif yang cukup besar untuk mengolah, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan tersebut. Idealnya, Indonesia memiliki hampir seluruh prasyarat awal untuk menjadi sebuah negeri yang maju dan sejahtera.
Namun realitanya tidaknya demikian. Sebagian kita masih hidup di bawah garis kemiskinan di tengah-tengah himpitan kekayaan alam yang takkan ada habisnya. Sungguh sangat ironis memang, jika sebuah bangsa yang kaya raya, tetapi justru banyak masyarakatnya belum beranjak dari fase kehidupan yang penuh penderitaan. Seperti kata peribahasa, “anak ayam mati di lumbung padi”. Kekayaan kita adalah kemiskinan.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kekayaan alam yang terkandung dalam setiap jengkal tanah di negeri ini belum dapat memberi cahaya kehidupan yang sentosa nan makmur, bahkan setelah tujuh puluh tahun lebih kemerdekaannya. Salah satu alasannya adalah berkuasanya “tangan-tangan” asing (korporasi asing) yang mengeruk dan memperoleh keuntungan besar dari hasil kekayaan alam kita.
Perusahaan-perusahaan asing bebas mengolah sumber-sumber alam kita dengan high technology yang mereka miliki melalui perjanjian atau kesepakatan dengan pemerintah yang ternyata merugikan negara. Celakanya, pada beberapa hal, pemerintah tidak peka melihat fenomena tersebut. Apalagi sebagian kita masih bermental inlander (mental terjajah, mental budak) yang mudah di intervensi atau bahkan sebagian mereka adalah bagian dari korporasi asing yang berwajah Indonesia.
Perjanjian yang disepakati antara pemerintah dan korporasi asing lebih banyak memberi keuntungan kepada pihak “si rambut pirang”. Mengapa tidak melakukan negosiasi atas kebijakan yang merugikan negara? Padahal pedoman hubungan internasional dalam doktrin pacta sunt survanda, bahwa sebuah kontrak atau perjanjian ternyata dalam pelaksanaannya merugikan salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan berhak merundingkan kembali kontrak atau perjanjian tersebut.
Kita dapat bercermin dari negara-negara Amerika Latin yang berani melakukan langkah nasionalisasi asset sehingga mendatangkan keuntungan bagi negaranya. Venezuela di bawah Hugo Chavez, Bolivia di bawah Evo Morales, Fidel Castro di Republik Sosialis Kuba, Daniel Ortega di Nikaragua, Lula da Silva di Brasil, Nestor Kirchner di Argentina, Michelle Bachelet di Chili, Lucio Guttierez di Ekuador atau Ollanda Humala di Peru, adalah beberapa contoh.
Pasal 1 ayat 2 The International Right Covenant on Civil and Political Right mengatakan bahwa semua bangsa untuk mencapai tujuannya memiliki kebebasan untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya alamnya. Kerja sama ekonomi internasional harus didasarkan pada prinsip saling-untung dan pada hukum internasional. Tidak dibenarkan suatu bangsa kehilangan atau dihilangkan hak hidupnya.
Bukankah dalam konstitusi UUD 1945 dengan jelas Pasal 33  ayat 2 mengatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”; dan ayat 3, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Akan tetapi, pada tatanan realitas, amanat UUD belum dapat sepenuhnya direalisasikan.
Pada titik inilah, tugas kita adalah menumbuhkan kembali semangat nasionalisme dalam diri kita untuk bangkit, berdiri, dan berlari menghadapi arus tantangan global, sebab masalah adalah untuk dihadapi bukan dihindari. Bung Karno dalam Indonesia Menggugat mengajarkan bahwa caranya ada tiga. Pertama, kita menunjukkan kepada rakyat, bahwa kita punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah. Kedua, kita menambah keinsyafan rakyat, bahwa kita punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap gulita. Ketiga, kita memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-cara mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.
Nasionalisme kita saat ini sedang diuji. Seberapa besar rasa itu menghiasi relung hati bangsa Indonesia. Amien Rais dalam bukunya, Selamatkan Indonesia!, bahkan mengatakan bahwa nasionalisme kita telah menjadi nasionalisme yang dangkal. Kita bela sang saka merah putih hanya pada hal bersifat yang simbolik, namun ketika kekayaan alam kita dikuras habis dan dijarah oleh asing, mulut kita justru terbungkam diam seribu bahasa, seolah martabat kita sebagai bangsa telah habis. Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah tersobek-sobek oleh tradisi penindasan dan kebodohan.
Mungkin karena kita terlalu lama dalam selimut penindasan dan penjajahan yang membodohi. Tanpa kesadaran nasional untuk menegakkan kemandirian dan kedaulatan nasional di berbagai bidang, mungkin tidak tidak perlu lagi kita berimajinasi dan bermimpi meramalkan masa depan Indonesia, karena hal tersebut sudah menjadi isyarat akan adanya masa depan yang suram.
Menyangkut masa depan bangsa, kita perlu menggelar tukar pikiran dan bercurah gagas, sebab yang kita pertaruhkan bukan hanya hari ini. Namun yang lebih penting adalah hari esok, masa depan generasi muda yang kebanyakan mulai pesimistis menyongsong masa depan. Bila pesimisme itu sampai merembes bahkan berubah menjadi apatisme, masih bisakah kiranya kita menatap masa depan dengan kepala tegak dan yakin diri.

                                                                                                    ——— *** ———-

Rate this article!
Membela Nasionalisme,5 / 5 ( 1votes )
Tags: