Membenahi Manajemen Pengelolaan Kekayaan Laut

Wahyuksn1Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya

Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negeri ini memiliki sebanyak 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, dengan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi atau lebih dari 70 persen luas seluruh wilayah Indonesia.
Logikanya, dengan sumber kekayaan alam yang melimpah  seperti itu, tentu akan menjadi berkah bagi rakyat Indonesia khususnya masyarakat nelayan. Namun ironisnya, masyarakat yang berada pada jarak terdekat dengan kekayaan laut tersebut (baca : kampung nelayan) justru kehidupannya lebih identik dengan kawasan yang miskin dan terbelakang. Bukan itu saja, potensi laut yang demikian besarnya tersebut ternyata belum mampu memberi kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Terbukti, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 menunjukkan kontribusi kelautan Indonesia dari sektor perikanan hanya 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, negera seperti China, Korea dan Jepang dengan luas laut setengah dari luas laut Indonesia mampu memberikan kontribusi sektor perikanan sebesar 35 persen dari PDB.
Dari tahun ke tahun, data BPS juga menunjukkan proporsi nelayan miskin terhadap total penduduk miskin sungguh mencengangkan yakni berada pada kisaran angka 25 persen. Pada tahun 2011 misalnya, jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang.  Sementara pada Maret 2013, dari total 28,07 juta penduduk miskin, jumlah nelayan yang miskin mencapai 6,98 juta. Artinya, kontribusi masyarakat nelayan dalam angka kemiskinan di Indonesia sungguh signifikan.
Besarnya potensi sektor kelautan dan pesisir yang tidak sebanding dengan hasil dan manfaat yang diperolehnya menunjukkan secara kasat mata bahwa ada kesalahan ‘turun temurun’ dalam me-manage potensi sektor kelautan. Artinya, rapuhnya pengelolaan sumber daya kelautan menjadi salah satu faktor yang membuat kehidupan nelayan terpuruk. Keterpurukan masyarakat nelayan tersebut, secara faktual juga bisa terbaca dari berbagai keluhan yang terungkap dalam forum Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan (Penas KTNA) XIV di Malang awal bulan Juni ini. Dalam forum tersebut terungkap persoalan yang dihadapi nelayan tidak jauh dari persoalan seperti masih terus terjadinya pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing. Selain mereka mencuri ikan di perairan Indonesia, nelayan-nelayan tersebut juga dalam mencuri ikan dengan menggunakan teknologi modern.
Bukan itu saja, keberadaan penjaga pantai dari TNI AL dan Polisi Air dan Udara (Pol Airud), tidak mampu menghalau kapal nelayan asing. Sebab, kapal yang digunakan pencuri ikan itu, lebih canggih dibanding kapal milik TNI AL maupun Pol Airud. Sehingga persoalan itu yang menjadi masalah para nelayan, karena ikan yang dicuri jumlahnya cukup banyak, dan nelayan kita kesulitan untuk mendapatkan ikan. Selain masalah illegal fishing, nelayan juga masih dihadapkan pada persoalan ketiadaan jaminan asuransi kecelakaan dan kematian, keterlambatan pasokan solar, kesulitan mengakse modal usaha berikut minimnya pelatihan bagi nelayan, Kompas (8/6).
Mengatasi Illegal Fishing
Pencurian ikan di perairan Indonesia semakin marak diberitakan media. Misalnya, sejumlah kapal asing yang ditangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena melakukan aktivitas penangkapan ikan secara liar dalam lima bulan terakhir ini. Kapal asing berkapasitas 30 gross tonnage (GT) hingga 60 GT yang beroperasi tanpa izin tersebut berasal dari berbagai negara di antaranya Thailand dan Vietnam. KKP mengakui maraknya pencurian ikan tersebut selain memanfaatkan lemahnya pengawasan, mereka juga didukung dengan kapal dan alat tangkap yang canggih sehingga bisa leluasa melakukan pencurian ikan di laut lepas.Kerugian negara akibat pencurian oleh para nelayan asing itu diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun.
Pengawasan terhadap illegal fishing di perairan Indonesia, sesungguhnya bukan saja butuh perlengkapan yang memadai tetapi juga harus diimbangi dengan ketegasan sanksi terhadap nelayan asing yang tertangkap. Selama ini hukuman yang diberikan kepada nelayan asing yang terbukti bersalah dianggap terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Sedangkan kapal mereka yang disita dilelang dengan harga murah, lalu oleh pembeli di dalam negeri dijual lagi ke luar negeri dengan harga mahal.
Selama ini, wilayah operasi yang menjadi favorit nelayan asing tersebut meliputi Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Arafura, serta perairan yang terhubung langsung dengan negara nelayan asing itu. Yang menarik dicermati, nelayan asing dalam melakukan aksinya menempuh berbagai cara selain langsung beroperasi di perairan Indonesia yang sulit dijangkau para pengawas, ada juga yang menggandeng sejumlah pihak di dalam negeri untuk mendapatkan keabsahan dalam menangkap ikan. Mulai dari soal dokumen perizinan yang ganda untuk beberapa kapal, surat izin palsu, hingga penggunaan anak buah kapal (ABK) oleh penduduk lokal.
Para pengawas di laut seringkali terkecoh karena kapal-kapal penangkap ikan milik asing itu berbendera Indonesia yang diawaki penduduk lokal. Ironisnya, hasil tangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing itu justru diselundupkan lagi masuk wilayah Indonesia. Beberapa waktu lalu KKP telah memergoki beberapa jenis ikan yang beredar di pasar domestic diimpor tidak sah dari luar.
Celakanya, harga ikan yang ditawarkan jauh lebih murah dari hasil tangkapan nelayan lokal alias banting harga. Jadi, kerugian yang timbul bukan hanya menjarah hasil laut,melainkan juga merusak harga ikan di dalam negeri, yang akhirnya membuat nelayan lokal semakin tak berdaya. Namun patut dicatat, bahwa illegal fishing itu sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh nelayan asing saja, tapi nelayan kita juga sering melakukan hal itu. Seperti nelayan kita saat mencari ikan di laut menggunakan bom, sehingga hal itu sama dengan illegal fishing.
Untuk mengantisipasi pencurian ikan dari nelayan asing, pemerintah secepatnya harus membangun satelit monitoring, melakukan integrasi sistem keamanan di laut yakni dengan TNI AL dan Pol Airud, dan melakukan kerjasama bilateral dengan negara-negara tetangga. Dengan cara begitu, maka akan menekan pencurian ikan di wilayah pesisir pantai kita di seluruh Indonesia.
Stop Impor Ikan
Dalam upaya memberdayakan nelayan lokal, pemerintah ditantang untuk berani mengambil tindakan tidak populer di mata importir perikanan, yakni menghentikan segala aktivitas impor ikan. Sebagai konsekuensinya, pemerintah memang harus menanggung imbas kenaikan harga ikan di pasar domestik. Di luar beban tersebut, pemerintah juga masih punya pekerjaan rumah yang tidak gampang, yakni bagaimana mendongkrak produksi ikan dalam negeri untuk menutup kebutuhan pasar yang selama ini banyak diselamatkan oleh ikan dari luar termasuk impor ikan ilegal.
Dalam pencapaian target peningkatan produksi ikan, diperlukan pendekatan penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penguatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Sumber Daya Manusia (SDM) kepada nelayan dan petani ikan. Sebab, ketika keinginan nelayan dan petani ikan kita penuhi, namun IPTEK dan SDM masih rendah, maka juga akan sama menimbulkan masalah baru. Terlepas dari persoalan impor ikan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan memang punya cita-cita besar untuk menumbuhkan produksi ikan di dalam negeri yang berkaitan dengan program Gerakan Makan Ikan bagi Masyarakat.
Kita tidak usah melirik Jepang dengan konsumsi ikan rata-rata 150 kg per kapita per tahun,cukup dengan Malaysia (55 kg per kapita) dan Filipina (40 kg per kapita), konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih terlewati jauh yang hanya mencapai 30,47 kg per kapita. Ini sungguh ironis bila mengaitkan dengan potensi yang ada di mana tiga perempat atau 5,8 juta kilometer wilayah negeri ini berupa laut, dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. (bersambung)

Tags: