Memberantas Pemeras TKI

TKIDisebut sebagai pahlawan devisa, tetapi nasib tenaga kerja Indonesia (termasuk yang wanita, TKW) masih selalu nelangsa. Pemerasan selalu mengiringi.  Sejak berangkat sudah diperas PJTKI, di tempat kerja tenaganya diperas majikan. Tidak sedikit yang coba membela diri, tapi malah masuk penjara. Selama proses persidangan tidak didampingi pengacara. Sampai perjalanan pulang pun diperas sindikat transportasi.
Itulah yang menjadi keprihatinan seluruh masyarakat. Sudah berkali-kali dilaporkan, namun tetap terjadi. Keprihatinan itu pula yang membuat geregetan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sampai harus menggerebek bandara Soekarno-Hatta. Ini korupsi dengan nominal remeh-temeh, namun telah terjadi secara masif terstruktur dan nyaris sistemik. Tak jarang, sindikat menghabisi seluruh harta buruh migran dan meninggalkan korbannya dalam keadaan pingsan terbius.
Jika setiap TKI dan TKW diperas senilai Rp 1 juta saja, maka dalam setiap setahun “omzet” sindikat pemeras bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Tak kalah dengan korupsi Hambalang, tak kalah pula dengan pungli di jembatan timbang. Ironisnya, pemerasan itu terjadi di lokasi strategis (bandara Soekarno-Hatta) yang menjadi simbol urat nadi perekonomian nasional. Kenyataannya, bandara internasional itu bagai terminal angkutan kota. Banyak calo, banyak preman.
Tak salah KPK menggerebek tempat-tempat strategis yang dijadikan sarang korupsi dengan modus pemerasan. Walau sebenarnya hal itu domain Kepolisian dan Kejaksaan, serta inspektorat internal. Ternyata hasilnya kongkret: sukses menangkap tangan 14 orang yang diduga pelaku pemerasan terhadap TKI/TKW. Selain preman (berseragam) juga terdapat personel TNI dan Polisi.
Benarlah tekad Ketua KPK, bahwa penggerebekan itu mesti dilakukan lebih sistemik. Hasil penggerebekan juga harus berlanjut ke meja hijau, untuk memberi efek jera seluruh pemeras. Begitu pula pada proses penyidikan dan penyelidikan harus melibatkan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Juga melibatkan aparat Ditjen Imigrasi, serta otoritas bandara Soekarno-Hatta.
Terdapat tiga problem pokok masalah ke-TKI-an. Yakni, pemberkasan saat keberangkatan, pembinaan saat di tempat kerja, serta proses pemulangan. Pada ketiga problem itu, TKI/TKW selalu dalam situasi under-burgainning. Tidak memiliki posisi tawar, harus selalu patuh, dan selalu menjadi obyek pemerasan. Apa pekerjaan pemerintah (atasnama negara) dalam perlindungan TKI dan TKW?
Seolah-olah pemerintah hanya wajib memungut berbagai retribusi dan tak berkewajiban mengurus ketenteraman TKI/TKW. Berdasarkan catatan pada Komisi XI DPR-RI (yang membidangi Ketenagakerjaan), devisa yang dihasilkan oleh TKI mencapai Rp 3 trilyun per-bulan! Itu tidak termasuk remiten, penghasilan yang dibawa pulang. Di Jawa Timur saja, remiten yang dinikmati keluarga di kampung halaman mencapai Rp 4 trilyun.
Pada sisi lain pemerintah mengalokasikan dana cadangan dengan nomenklatur perlindungan WNI sebesar Rp 250 milyar per-tahun. Konon anggaran itu sebagai konsekuensi (mandatory UU). UUD telah menjamin hak rakyat Indonesia dalam hal mencari nafkah. UUD pada pasal 28D ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Kenyataannya nasib TKI/TKW masih tetap di ambang kemiskinan, tetap tidak terlindungi. Sebagaimana nasib tragis yang dialami Isti Komariah, yang tewas di rumah majikannya di Malaysia. Pada kasus ini, keluarga korban dari Indonesia berhak atas diyat, atau kasus qishah hukuman gantung (mati). Ini disebabkan Malaysia menganut hukum syariat Islam. Pengadilan Tinggi Malaysia memutuskan kedua terpidana sengaja membunuh Isti Komariah.
Mencermati berbagai permasalahan hukum terhadap TKI dan TKW, pemerintah harus memperbaiki UU Penempatan dan Perlindungan TKI.  Revisi UU ini sebenarnya sudah disepakati menjadi RUU inisiatif DPR pada 2012 lalu. Namun hingga kini RUU itu masih dalam pembahasan.

———— 000 ————–

Rate this article!
Memberantas Pemeras TKI,5 / 5 ( 1votes )
Tags: