Memberdayakan Masyarakat Miskin Pesisir

Oleh :
Dwi Hari Cahyono
Ketua Fraksi Keadilan Bintang Burani DPRD Provinsi Jawa Timur dari PKS

Sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai kurang lebih 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas karang lebih 3,1 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan nusantara. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi.

Realitasnya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Dan yang lebih irons lagi, dengan kekayaan laut yang begitu besar, kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir atau nelayan sangat memprihatinkan. Sebagian besar kehidupan mereka berada di bawah garis kemiskinan.

Menurut Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesir Departemen Perikanan dan Kelautan, DR. Sudirman, menyebutkan masyarakat pesisir yang mendiami 8.090 desa diperkirakan berjumlah 16,42 juta jiwa. Komunitas ini relatif masih tertinggal, yang ditandai dengan poverty headcount index masih 0,28. Dengan kata lain, masih terdapat kira-kira 28% dari populasi tergolong miskin. Fenomena kemiskinan masyarakat pesisir ini sungguh sangat ironis, karena negeri ini memiliki potensi sumberdaya kelautan yang kaya (http://.www. P E M P-dkp.go.id).

Karena itu, mereka perlu diberdayakan. Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir adalah pemberdayaan yang ditujukan kepada orang-orang yang berdomisili di pesisir pantai kepulauan Indonesia yang kehidupan sosial ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya kelautan. Mereka umumnya berprofesi, sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil laut,dan sejenisnya. Karena itu, kehidupan sosial-ekonominya sangat tergantung pada sumberdaya kelautan. Sehingga kebanyakan dari mereka ini pendapatannya hanya pas-pasan untuk bisa hidup, dan tidak mempunyai jaminan hidup ke depan.

Karakteristik Kemiskinan Desa Pesisir

Sementara itu, berdasarkan data BPS sampai Maret 2020, angka kemiskinan di Jawa Timur mengalami kenaikan akibat Pandemi Covid-19. Selama periode September 2019 – Maret 2020, prosentase penduduk miskin Jatim mengaami kenaikan sebesar 0,89% atau 363,1 ribu jiwa, yakni 10,20% (4,05 juta jiwa) pada tahun 2019 menjadi 11,09% (4,41 juta jiwa) pada tahun 2020. Berdasarkan daerah kota dan desa, selama satu semester (September 2019 -Maret 2020) penduduk miskin di perkotaan naik sebanyak 244 ribu jiwa dari 1,43 juta jiwa pada September 2019 menjadi 1,68 juta jiwa pada Maret 2020, sedangkan di pedesaan juga mengalami kenaikan sebanyak 119,1 ribu jiwa dari 2,61 juta jiwa pada September 2019 menjadi 2,73 juta jiwa pada Maret 2020. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, dua pertiga atau sekitar 70 persennya berada di pedesaan, dan sepertiga atau sekitar 30 persen berada di perkotaan. Dan masyarakat pesisir berada dalam kategori masyarakat pedesaan dengan tingkat angka kemiskinan relatif sama. Dengan kata lain, masyarakat pesisir sebagian besar penduduknya berada di bawah garis kemiskinan.

Nelayan dan komunitas desa pesisir pada umumnya adalah bagian dari kelompok masyarakat miskin yang berada pada level paling bawah dan acapkali menjadi korban pertama yang paling menderita akibat ketidakberdayaan dan kerentanannya. Berbagai kajian yang telah dilakukan menemukan, para nelayan tradisional bukan saja sehari-hari harus berhadapan dengan ketidakpastian pendapatan dan tekanan musim paceklik ikan yang panjang, tapi lebih dari itu mereka juga sering harus berhadapan dngan berbagai tekanan dan bentuk eksploitasi yang muncul bersamaan dengan berkembangnya proses modernisasi di sektor perikanan (Wahyono dkk., 3001: Kusnadi, 2002; Satria, 2002; Yustika, 2003; dan Suyanto dkk., 2005).

Dibandingkan dengan desa-desa agraris, desa-desa pantai atau pesisir umumnya merupakan kantong-kantong kemiskinan struktural yang lebih kronis. Sebagian besar masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di desa-desa pantai umumnya taraf kesejahteraan hidupnya sangat rendah dan tak menentu. Kesulitan kebutuhan sehari-hari dan kemiskinan di desa-desa pantai telah menjadikan penduduk di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang amat berat, berkutat dengan perangkap utang sepertinya tak pernah habis-habisnya, dan tidak dapat dipastikan pula kapan masa berakhirnya (Suyanto, 2003).

Secara garis besar, kemiskian yang diderita masyarakat desa pantai, biasanya bersumber dari dua hal. Pertama, faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan ikan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor non alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini (Kusnadi, 2002:4)

Memberdayakan Maskin Pesisir

Memberdayakan masyarakat miskin pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya: Pertama, Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.

Kedua, masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim. Dan ketiga, Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap misalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.

Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa, dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran.

——— *** ———

Tags: