Memberi Motivasi Belajar Lebih Penting daripada Terlalu Banyak Soal

Kepala Dindik Jatim bertemu dengan siswa SDN 2 Gebang Sidoarjo yang hanya dihuni 16 siswa dari kelas 1 sampai 6.

Kepala Dindik Jatim bertemu dengan siswa SDN 2 Gebang Sidoarjo yang hanya dihuni 16 siswa dari kelas 1 sampai 6.

Kabupaten Sidoarjo, Bhirawa
Tak banyak orang percaya, Kabupaten Sidoarjo sebagai Hinterland (daerah penyangga) Ibukota Provinsi Jawa Timur masih memiliki wilayah tertinggal yang serba minim. Minim akses, minim teknologi, dan minim pembangunan manusianya. Dengan segala keterbatasan, sekolah di sana harus tetap bertahan demi lahirnya harapan baru generasi emas.
Lagu Indonesia Raya terdengar nyaring lewat celah-celah tembok dari papan kayu SDN Gebang 2 Sidoarjo. Ada 16 anak di sana, bernyanyi serentak dengan semangat seadanya. Memantik rasa haru siapapun yang mendengarnya. Mereka jauh dari kehidupan kota, nyaris tak tersentuh pembangunan daerah. Tapi mereka masih menghargai Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan yang luhur.
‘Satu nusa satu bangsa satu bahasa kita. Tanah air pasti jaya untuk selama-lamanya’. Bait lagu Satu Nusa, Satu Bangsa itu juga dihafal betul para siswa. Mereka bernyanyi setelah lagu Indonesia Raya. Suaranya masih mantap. Meyakinkan sebuah harapan tentang Indonesia yang jaya dari kampung nelayan yang terpencil dari peradaban modern.
Di Desa Pucuan, Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo siswa SDN Gebang 2 Sidoarjo itu terletak. Akhir pekan lalu, Jumat (27/3) sekolah itu kedatangan tamu  dari kalangan pejabat yang menangani dunia pendidikan dari pusat sampai daerah. Ada Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Prof Kacung Marijan, Kepala Dinas Pendidikan Jatim Dr Harun MSi, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo Mustain.
Kecuali Mustain, rombongan pejabat begitu terkejut dengan kondisi geografis di mana sekolah itu berdiri. Semuanya tak percaya, di Sidoarjo ada sekolah yang harus ditempuh selama 90 menit menggunakan perahu bermesin tempel dari kota. Perahu adalah satu-satunya alat transportasi yang bisa mengakses sekolah itu dari kota.
Doni Attoriqi adalah salah satu di antara dua siswa kelas 6 SDN Gebang 2 Sidoarjo. Bukan karena tak diminati sekolah itu sepi. Di Desa Pucuan itu memang hanya didiami 40 kepala keluarga. Sehingga total siswa yang belajar di sekolah itu pun tak banyak, hanya 16 anak. Kelas 1 ada tiga anak, kelas 2 tidak ada siswanya, kelas tiga enam anak, kelas 4 kosong, kelas 5 ada lima anak dan kelas 6 dua anak. “Setelah lulus nanti saya ingin melanjutkan sekolah SMP ke daratan,” tutur Doni penuh harap.
Dia menyebut darat sebagai istilah kota. Bunga Anggraini adalah satu-satunya teman di kelas itu. Keduanya langsung mendapat tawaran sekolah gratis jika mau melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Di kampung itu, tak banyak anak mau sekolah terlalu tinggi. Kesadaran untuk menempuh pendidikan masih rendah. Ihwal Praja, guru kelas 6 yang mengajar Doni dan Bunga mengakui itu. Sejak sekolah itu berdiri, baru satu alumninya yang mau meneruskan sampai jenjang SMA. Itu pun butuh pendampingan yang luar biasa dari guru sekolah asal.
“Dulu waktu musim panen tambak, anak-anak ini lebih memilih buri (mencari sisa ikan di tambak setelah dipanen) daripada sekolah,” kata Ihwal. Sekarang sudah jauh lebih baik, mereka masih mau menunggu hingga jam pelajaran di sekolah selesai sebelum akhirnya terjun ke tambak itu buri.
Ihwal mengaku, memberi pelajaran siswa di sekolah tersebut tidak semudah mengajar siswa yang sudah biasa dengan perkembangan zaman. Di kota, anak sudah biasa dengan gadget dan internet. Sehingga bisa diberi tugas mencari materi pembelajaran di internet. “Di sini, kita mau mengenalkan komputer saja susah. Mereka tidak pernah melihat komputer apalagi internet. Listrik saja hanya ada tiang yang terpasang tanpa ada alirannya,” tutur dia.
Ihwal sulit menjelaskan sesuatu yang tidak pernah dilihat para siswa. Mereka tidak mungkin diajak terlalu banyak berhayal. Hanya ketika ada materi pembelajaran yang bisa dijangkau kemudian diajarkan. Misalnya mengukur luas, mereka bisa praktikum dengan mengukur luas meja. Itu juga alasan Ihwal tidak terlalu banyak menyibukkan mereka dengan soal-soal dan pelajaran yang justru memberatkan. Sebab, motivasi belajar mereka harus selalu terjaga.
“Memberi motivasi mereka lebih penting daripada memberi soal-soal untuk dikerjakan. Mereka mau bertahan di kelas karena masih menganggap sekolah itu penting,” tutur dia.
Sudah umum jika alumni SD itu berhenti di tengah-tengah SMP lalu dinikahkan orangtuanya. Budaya ini yang belum bisa dihentikan. “Kalau orangtua diingatkan, pasti menjawab mumpung ada yang menikahi anak saya,” tutur Ihwal.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Prof Kacung Marijan mengutarakan ketakjubannya dengan semangat para guru di sekolah itu. Mereka bertugas di daerah terpencil dengan fasilitas guru biasa. Padahal, seharusnya ada fasilitas khusus yang diberikan pemerintah pusat untuk guru di daerah terpencil, tertinggal dan terluar. “Kami memberi apresiasi kepada pemerintah daerah yang memberi mereka tunjangan khusus untuk guru yang bertugas di daerah terpencil,” kata Kacung.
Kepala Dindik Sidoarjo Mustain mengaku, untuk memberi fasilitas khusus untuk empat guru di sekolah tersebut butuh perjuangan tidak mudah. Ketika pemerintah daerah ingin mengalokasikan tambahan uang transpor senilai Rp750 ribu per bulan, pihak Inspektorat menghadang. Mereka tak percaya jika ada sekolah terpencil di Sidoarjo. “Mereka awalnya tidak percaya, akhirnya saya ajak mereka ke sini biar tahu. Kemudian baru disetujui,” kata Mustain. [tam]

Tags: