Membiarkan Anak Bermain Gadget, Benarkah?

khoirun-nisak-spdjpgOleh :
Khoirun Nisak, SPd
Guru SD TPI Gedangan

Kedekatan orang tua dan anak menjadi faktor terpenting dalam keluarga. Jamak kita temui kondisi kebersamaan orang tua dan anak justru dengan masing-masing asyik memegang gadget. Benarkah kemudian langkah mendiamkan anak dengan gadget?
Membiarkan anak berinteraksi terlalu lama dengan gadget sejatinya bukan tindakan yang bijak. Hal yang paling dikorbankan ialah kebersamaan dan kedekatan antara orang tua dan anak. Parahnya lagi, jika itu menyangkut pada perkembangan anak secara motoriknya.
Menurut dr Donny Gunawan SpKFR, dokter spesialis rehabilitasi medik di RSUD Sidoarjo menjelaskan bahwa rata-rata orang tua tidak sadar mengenai masalah tumbuh kembang anaknya. Lebih lanjut beliau menjelaskan ” Anak usia 2-3 tahun seharusnya sudah dapt berjalan dan makan. Tetapi ketika dipanggil kadang-kadang tidak nyambung.” (Jawa Pos, 15/12).
Tidak susah kita temui pemandangan seorang anak berumur kurang dari 5 tahun tengah asyik bermain dengan gadgetnya, dari mulai nge-game, melihat video kartun, maupun melakukan download game-game terbaru.
Melihat keasyikan ini, beberapa orang tua cenderung membiarkan dan merasa tenang karena anak menjadi pendiam dan tidak mengganggu aktivitas orang dewasa. Bahkan tak jarang aktivitas bersama gadget itu dilakukan dengan tiduran di depan televisi.
Prestise dikalangan masyarakat seringkali ikut mendorong para orangtua untuk memfasilitasi anak dengan gadget agar tidak dikatakan ketinggalan jaman ataupun gagap tehnologi (gaptek). Tanpa pertimbangan batas usia atau sederetan kemudhorotan yang lainnya.
Berdasarkan pengalaman penulis, seorang anak memiliki kecenderungan lebih egois dan gampak marah ketika terlalu bersentuhan dan berinteraksi dengan gadget. Keinginan kita untuk menghentikan pemakaian gadget secara berlebihan lebih dipersepsikan mengganggu kesenangan bagi mereka, sehingga muncullah sikap menentang dan marah untuk menolak tindakan yang dianggap mengancam kesenangan mereka tadi.
Menurut Hari Prasetyo,dkk (2014: 39) Untuk mengatasi sikap egois tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan anak membina hubungan baik dengan orang lain, menciptakan keakraban, mengenalkan anak pada toleransi, dan mengajari mereka untuk peduli serta berbagi.
Cara lain dapat ditempuh dengan mengalihkan perhatian anak kepada permainan-permainan tradisional yang tidak kalah menariknya dengan gadget. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk melestarikan kembali permainan tradisional yang sudah hampir punah.
Permainan semacam gobak sodor, engkle, benthengan, dan aneka permainan tradisional lainnya lebih bermanfaat demi perkembangan motorik anak tentunya. Lepas dari itu, sosialisasi anak dengan lingkungan sekitarnya akan dapat dimaksimalkan.
Lebih lanjut menurut Donny, pada usia 5-12 tahun anak boleh menonton TV atau gadged 1-2 jam sehari. Khususnya program yang memberikan edukasi umum untuk menambah wawasan dan pengetahuan (Jawa Pos, 15/12).
Berdasar pada teori tersebut, kemudian bagaimana untuk membatasi anak dalam penggunaan gadget. Ini dapat dilakukan dengan membuat kontrak permainan. Orang tua dapat membuat semacam perjanjian bersama anak. Misalnya, anak diperkenankan memainkan gadged pada hari tertentu, dan berapa lama waktunya pun harus ditentukan.
Jangan lupa untuk memberikan reward kepada mereka saat mereka mematuhinya, dan memberikan hukuman saat mereka melanggar perjanjian tersebut. Sehingga penanaman karakter bertanggung jawab juga dapat diselipkan di dalamnya.
Untuk membantu mereka mentaati aturan tersebut, orang tua dapat menjauhkan gadget dari pandangan anak selama waktu larangan menggunakannya. Dan, lebih mendorong anak untuk bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya.
Di sekolah, hal ini juga dapat disinergikan dengan pembelajaran. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pengajar, sekolah semestinya memberikan batasan akan adanya penggunaan gadget di tingkat pendidikan dasar, selain untuk kebutuhan komunikasi. Untuk penjemputan atau kepentingan mendesak lainnya.
Pemberian tugas maupun proyek yang memerlukan gadged untuk kepentingan mencari informasi tidak dapat dielakkan. Namun, sepatutnya dipergunakan dengan melalui pendampingan orang tua masing-masing. Agar demam gadged tidak terlalu menjangkiti anak-anak.
Segala permasalahan tentang penggunaan gadget sebagai permainan dikalangan anak usia pendidikan dasar tidak dapat dilepaskan dari urusan pendidikan karakter. Keduanya memiliki sinergi sebagai virus dan anti virus.
Apabila gadged siap menebarkan virus candunya melalui sebuah permainan, maka selaku orang tua maupun pendidik harus mampu menangkarnya dengan anti virus berupa pembiasaan-pembiasaan yang berkarakter.
Jika demam gadget dikalangan anak dibiarkan begitu saja, otomatis akan berpengaruh pada pendidikan karakter positif yang sudah dilakukan di wilayah sekolah maupun keluarga sebagai sosialisasi utamanya. Oleh sebab itu, diperlukan usaha keras baik dari pihak keluarga maupun sekolah untuk bekerjasama dalam melakukan pembatasan penggunaan gadget sebagai alat permainan anak masa kini.

                                                                                                                 ———- *** ———-

Tags: