Membimbing Anak danLiterasi Digital

Oleh:
Hubbi S. Hilmi
Alumni Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia UNS Surakarta Jawa Tengah. 

Kehidupan milenial saat ini menghadirkan internet sebagai budayabaru dalam kehidupan manusia. Mengubah kebiasaan manusia bak komposer ulung yang mengaransemen ulang lagu lawas bangun tidur kuterus mandi, menjadi bangun tidurkuterusmeramban (browsing).
Kehidupan modern menjadikan semua aktivitas yang dilakukan manusia berkiblat pada internet dalam sebuah gawai, kecuali kegiatan di kamar tidur dan kamar mandi mungkin.Pemanfataan media internet dalam berbagai ruang kehidupan masyarakat menjadi sebuah budaya baru bagi kehidupan manusia.Penggunanya pun beragam mulai dari orang dewasa sampai anak di bawah umur.
Terutama anak di bawah umur, menjadi hal yang lumrah kita jumpai anak di bawah umur sudah sangat mahir menjelajah dunia maya dengan lincah jari telunjuknya. Bermain game, meramban konten-konten yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk mereka, bahkan sebenarnya tidak pantas diperuntukkan untuk semua kalangan, konten-konten berbau pornografi dan kekerasan misalnya.
Dininya anak dalam mengenal internet ini dibuktikan oleh Chandra (2013) yang melakukan penelitian terhadap 100 anak berusia 6-10 tahun di Surabaya, yang menunjukkan bahwa 27% anak menggunakan internet pertama kali pada umur 8 tahun, sebanyak 19% menggunakannya pada usia 7 tahun, dan 12% menggunakannya pada usia 6 tahun. Bahkan juga di lingkungan kita sehari-hari, seorang balita akan terdiam dari tangisnya ketika orang tuanya menyodorkan sebuah gawai kepada anaknya.
Meramban (browsing) mungkin belum bisa mereka lakukan di usia yang sangat belia tersebut, namun kemahiran dalam bermain game dengan gawai tidak bisa kita remehkan. Permainan dalam sebuah gawai pun beragam, dan tentu saja lebih banyak menyajikan permainan dengan adegan “adu ketangkasan” dan mirisnya itu lebih disukai oleh anak-anak. Konten-konten permainan ini sudah bisa dipastikan lebih banyak mengandung unsur kekerasan daripada unsur mendidiknya, misalnya saja GTA.
Jikalau generasi bangsa di usia emasnya lebih gemar dan lebih mahir bermain game di gawai, lebih tertarik pada adegan kekerasan, lebih tertarik meramban (browsing) hal-hal yang berkonten negatif, maka mungkin bisa kita pastikan di usia mendatang, minat untuk mengenal literasi dan membudayakan literasi pastilah terabaikan dan menjadi sangat mungkin peran dan posisi buku tergantikan oleh gawai, serta tentu saja berpengaruh pada perkembangan pribadi anak dewasanya nanti.
Membudayakan literasi merupakan salah satu cita-cita bangsa untuk meregenerasi moral dan pribadi penerus bangsa yang belakangan ini banyak mengundang “simpati”. Literasi juga ialahpeletak batu pertama dalam menempuh dan mendapatkan pendidikan. Pendidikan itu sendiri ialah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan anak-anak kita (Ki Hadjar Dewantara).
Literasi seperti yang kita tahu ialah kemampuan membaca dan menulis, keberaksaraan. Lalu dari segi etimologisnya, literasi berasal dari bahasa Latin literatus yang berarti orang yang belajar.Membudayakan orang belajar yang mampu mencerna, dan dari proses cernanya tersebut nantinya diharapkan dapat memproduksi hal-hal yang positif, bermanfaat, dan tentu saja mengubah pribadi dan moral generasi bangsa ke arah lebih baik, mungkin inilah yang menjadi tujuan gerakan literasi kian digaungkan di segala lini kehidupan.
Gerakan-gereakan literasi kian digaungkan dan bermunculan dalam berbagai jenis gerakan literasi dengan nama yang berbeda sesuai dengan media dan sasarannya, salah satunya ialah literasi digital. Literasi digital ialah kemampuan untuk memahami informasi berbasis komputer (KBBI V), yang muncul diindikasikan karena kekhawatiran dan sebagai bentuk pemanfaatan perkembangan zaman.
Perlu Bimbingan
Literasi digital sendiri dapat dipandang sebagai literasi media, yangpada tahun 1980an lebih dahulu muncul dengan nama literasi komputer, namun karena konsep literasi komputer yang terbatas secara teknis atau penguasaan pada komputer semata, maka konsep literasi digital mengemuka karena pengertiannya tidak hanya terkait dengan penguasaan teknis komputer melainkan juga pengetahuan dan juga emosi dalam menggunakan media dan perangkat digital, termasuk internet (Buckhingham, 2006).
Literasi digital mungkin bisa kita maknai tidak hanya sebatas proses interaksi anak dengan dunia digital, akan tetapi yang perlu kita maknai ialah bagaimana pengaruh interaksi tersebut terhadap tumbuh kembang anak. Apakah interaksi tersebut lebih banyak memberikan dampak positif atau negatif pada anak dengan gawai orang tuanya.Dunia anak sebagaimana yang kita kenal ialah dunia emas, mereka memiliki imajinasi yang lebih kreatif dan lebih luas daripada orang dewasa. Anak juga ialah peniru yang sangat ulung dan handal. Berani mengenalkan anak dengan dunia digital berarti kita harus siap untuk memberikan pengawasan ekstra terhadap aktivitas anak di dunia digital tersebut.
Menjadi generasi zaman old yang lebih cerdas dan pintar daripada generasi zaman now tentu saja menjadi pilihan para orang tua agar bisa mengawasi pergerakan anak dengan gawainya. Belajar lebih mengenal dunia digital, memberikan waktu dan perhatian lebih kepada aktivitas anak di dunia digital, mengatur porsi penggunaan perangkat digital, memberikan pengarahan baik dan buruknya informasi dan aplikasi di dunia digital, tidak bersikap “praktis” dalam mengurus anak (anak rewel digendong bukan dikasih gawai), dan tentu saja membiasakan anak mengakses bahan-bahan bacaan yang bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Buruknya dunia internet memang tidak bisa untuk kita sangkal, apalagi berpandangan distopia, namun dengan tindak tegas, tindak bijak, tidak berlebih dalam memanjakan anak dan memanjakan diri, serta menaruh perhatian yang lebih terhadap perilaku anak-anak terutama terhadap perkembangan psikologisnya, dengan mengenalkannya dengan dunia baca tulis melalui media digital sejak dini, dan mengganti game anak dengan instalasi aplikasi bahan bacaan, mungkin bisa mengurangi atau bahkan mencegah “sakit” yang diderita para generasi bangsa selama ini.
Dengan demikian maka budaya literasi menjadi sebuah realita bukan hanya sebagai wacana. Membudayakan literasi seharusnya dimulai dari lingkungan keluarga dan kesadaran seluruh anggota keluarga. Membiasakan anak menjadi seorang yang biasa berliterasi tidak bisa dibentuk hanya di instansi pendidikan dan budaya literasi tidak bisa pula dibentuk dengan cara instan, perlu dukungan para orang tua untuk turun tangan, menjadikan kekhawatiran menjadi kebermanfaatan.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: