“Membina” Usaha Tambang

Karikatur TambangKekayaan SDA (sumber daya alam) Indonesia telah diakui bangsa-bangsa sedunia. Kekayaan berada di permukaan tanah, di dalam perut bumi, di perairan sampai di dasar laut yang dalam. Bahkan di udara (dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun), juga kaya sumber energi. Pada masa lalu, selama 350 tahun, kekayaan alam menimbulkan kecemburuan bangsa lain, hingga menyebabkan penjajahan.
Namun ironisnya, sampai kini kekayaan alam belum bisa menjadi alat untuk mensejahterakan bangsa. Padahal sejak awal kemerdekaan para pendiri negara telah memberi rambu-rambu pengelolaan sumberdaya alam. Tidak tanggung-tanggung, pengelolaannya dimasukkan dalam konstitusi dasar negara. UUD pasal 33 ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Kenyataannya, bagai pepatah: jauh panggang dari api. Bahkan usaha tambang, di-identikkan sebagai sarang penyamun. Antaralain, revisi UU tentang KPK, disponsori oleh sindikat pertambangan. Terutama jenis tambang logam (emas, tembaga, timah dan nikel) serta migas (minyak, gas bumi, batubara dan uranium). Pengusaha bahan tambang klasifikasi A dan B tersebut, biasanya sangat dihormati, serta nyaris “merdeka.”
“Kemerdekaan” pengusaha tambang klas A dan B, bukan sekadar bebas hukum lingkungan hidup. Melainkan juga kerap mengemplang pajak dan retribusi. Padahal kerusakan yang diakibatkan penggalian tambang, sangat nyata, terang-terangan. Misalnya, kerusakan di Bangka Belitung akibat penambangan timah. Kerusakan yang sama terjadi di se-antero Kalimantan, akibat penambangan batubara. Serta pertambangan emas (dan tembaga) di tanah Papua.
Pengrusakan lingkungan menjadi keniscayaan yang menyertai usaha penambangan ESDM (energi dan sumber daya mineral). Begitu juga penyamunan. Konon, jumlah pengemplangan pajak dan retribusi sampai lebih dari Rp 34 trilyun. Ini yang tercatat, dilakukan oleh sekitar empat ribu izin usaha pertambangan, di 32 daerah propinsi. Tetapi diyakini pengemplangan bagai gunung es yang tertutup awan. Hanya terlihat pucuknya yang nampak menyembul.
Karena itu pengaturan eksploitasi bahan tambang, coba disebarkan di berbagai undang-udang (UU). Termasuk dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalamnya, terdapat pelimpahan wewenang sebagian perizinan bidang pertambangan energi dan sumberdaya mineral. Semula izin pertambangan merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota, kini beralih menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi.
Namun sebenarnya, terhadap UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, pemerintah (pusat) belum menerbitkan (PP) Peraturan Pemerintah maupun regulasi petunjuk teknis lain. Sehingga patut dikhawatirkan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk per-calo-an dan KKN. Lebih lagi praktik penambangan bahan tambang harus ditakar dengan berbagai UU, terutama ekses pencemaran lingkungan hidup
Pelimpahan wewenang perizinan penggalian tambang, secara substansial masih memerlukan penyempurnaan regulasi. Terdapat tiga permasalahan yang mesti diurai. Yakni, perizinan tambang oleh Pemerintah Provinsi, perolehan pajak dan retribusi diterima oleh pemerintah kabupaten dan kota, serta pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat. Seyogianya juga dilakukan klasifikasi jenis tambang, serta berdasar luas areal usaha.
Dalam hal pengawasan oleh (pemerintah pusat), sungguh tidak efektif, karena jauhnya rentang kendali. Bisa menjadikan semakin liarnya pertambangan, menuju situasi darurat pengamanan. Sebab diduga kuat banyak pertambangan dikuasasi dan diusahakan secara tidak sah oleh berbagai pihak. Dinas ESDM propinsi mengelompokkan usaha pertambangan liar dengan sebutan “peti” atau pertambangan tanpa izin.
Hampir seluruh “peti” diusahakan secara premanisme, merusak lingkungan hidup, dan dibeking oleh oknum. “Peti” bukan hanya terjadi di Lumajang, melainkan juga di berbagai kabupaten dan kota, serta di 32 propinsi. Tetapi terhadap pertambangan klasifikasi C, mesti pula bijak mengaturnya. Tidak sekadar melarang atau menutup.

                                                                                                             ———- 000 ———-

Rate this article!
Tags: