Membincang Basa-basi Merdeka Belajar

Oleh :
Ahmad Ubaidillah
Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur.
Di berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim selalu menggembar-gemborkan konsep “Merdeka Belajar”. Baik untuk murid, guru, mahasiswa maupun dosen. Bagi siswa dan mahasiswa, mereka bisa belajar sesuai dengan kemauan, kemampuan, dan minat. Guru dan dosen harus menjadi penggerak. Mereka harus berusaha berusaha mencari ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran di kelas. Tujuannya: mewujudkan visi Presiden Joko Widodo yang ingin mencetak sumber daya manusia yang unggul. Kemerdekaan belajar di jenjang pendidikan terendah sampai perguruan tinggi mensyaratkan perbaikan regulasi dan birokrasi.
Saya termasuk orang yang sependapat dengan Bapak Menteri, terutama sekali kalimat Bapak Menteri berikut ini: “Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia”. Memang, seorang pembelajar butuh kebebasan, perlu kemerdekaan. Keinginan luhur ini, bagi saya, tidak akan tercapai kalau peserta didik dan pengajar hanya berkutat pada teori-teori tradisional dalam ilmu pengetahuan, bukan teori-teori kritis. Pendidik hanya menjejali teori-teori tradisoonal kepada peserta didik.
Kita perlu menyadari bahwa tebentuknya ilmu seperti sekarang ini merupakan hasil dari teoritisasi. Ilmu berisi teori-teori. Seperti halnya ilmu filsafat, isinya adalah teori-teori filsafat. Ilmu sejarah berisi teori-teori tentang kejadian masa lalu. Ilmu ekonomi berisi teori-teori ekonomi. Ilmu pendidikan terdiri atas teori-teori pendidikan, dan lain sebagainya. Intinya, isi ilmu adalah teori. Pengertian teori, secara sederhana, adalah penjelasan rasional. Uraian-uraian yang masuk akal.
Seringkali, para ilmuwan kita hanya mengembangkan teori-teori pada tataran teori tradisional. Artinya, mereka hanya menjelaskan fenomena dan realitas dari sudut pandang objektivitas dan tidak begitu tertarik merumuskan suatu teori yang mampu mengubah realitas yang bertentangan dengan kedaulatan hidup. Oleh karena itu, saya berpendapat, para pengajar dan anak-anak didik di seluruh Indonesia harus mempelajari dan mengembangkan teori-teori kritis ilmu pengetahuan.
Sebelum membahas teori kritis yang perlu kita pelajari dan kembangkan demi tercapainya manusia pembelajar yang merdeka, kita perlu bertanya: Apa tujuan seorang ilmuwan merumuskan sebuah teori? Tentu saja, ada berbagai tujuan, tetapi pada dasarnya selalu ada satu: memberikan pengertian, atau dalam istilah Jerman Aufklarung, yang berarti pencerahan. Sebuah teori ingin mendeskripsikan suatu kenyataan yang ada dengan setepat mungkin.
Sebuah teori menghasilkan pengertian yang kemudian dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Semakin baik suatu teori, konstruksinya semakin logis, tanpa kontradiksi, dan dengan cakupan yang luas dan bisa digunakan secara teknis. Teori memungkinkan kita untuk mengetahui alam, menyesuaikan diri dengan alam, dan mempergunakan alam demi tujuan-tujuan kita sendiri. Tujuan teori tradisional adalah memberikan pengertian. Ilmu sejarah, misalnya ingin membuat kita mengerti mengapa segala macam hal menarik, penting, dan kadang-kadang mengerikan. Kita menjadi mengerti mengapa sesuatu terjadi. Dengan demikian, kita bisa menerimanya. Kita kadang-kadang dibuat damai dengan teori atas sesuatu yang mengerikan. Kita tidak lagi marah, melainkan dapat menerima apa yang terjadi.
Akan tetapi, teori tradisional, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, dikritik oleh filsuf Jerman Max Horkheimer dengan teori kritisnya. Teori model tradisional itu bersifat konservatif karena melindungi, bahkan membenarkan apa yang terjadi. Teori tradisional berifat kontemplatif. Artinya, teori tersebut sekadar memandang dan merenungkan realitas, tetapi tidak mau dan tidak bisa mengubahnya. Maka, teori tradisional menjadi afirmatif. Teori tradisional menjadi afirmatif, akhirnya membenarkan apa yang terjadi, meski tidak benar. Dengan demikian, teori tradisional berciri positivistik. Ia tidak mampu memahami ketidakadilan yang seharusnya tidak ada dan karena itu menutup upaya membongkarnya.
Teori kritis adalah kebalikan dari teori tradisional yang kontemplatif dan positivistik. Model teori kritis adalah teori Karl Marx yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf Mazhab Frankfurt. Teori Marx tentang masyarakat tidak membuat kita mengerti dan memahami masyarakat, melainkan mengkritik masyarakat, dan karena itu membuka perspektif untuk mengubahnya. Teori Marx bersifat kritis karena didorong oleh tekad untuk menghapus segala penindasan dan penghinaan. Perbedaan teori kritis dan teori tradisional terletak pada pendekatan. Teori tradisonal bertolak dari apa yang dianggapnya fakta. Teori kritis bertanya tentang perkembangan apa yang menghasilkan sebuah keadaan dan bagaimana dinamika keadaan itu.
Teori kritis mampu memahami kenyataan dari sudut kemungkinan untuk berubah. Teori kritis tegas-tegas berpihak pada mereka yang ditindas dan dihisap oleh mereka yang kuat. Oleh karena itu, teori kritis bertolak dari penderitaan dan penindasan dengan tujuan mengubahnya. Teori kritis sama sekali tidak membiarkan keadaan yang menindas. Maka, teori kritis tidak bersifat kontemplatif, melainkan praksis sosial. Ia mengubah keadaan yang semula buruk menjadi lebih baik. Ia memiliki arah terjang yang bersifat praksis.
Karena teori kritis menyingkap kedok ketidakadilan dan ketidakwajaran keadaan masyarakat, teori kritis membuka kesadaran bahwa situasi harus diubah. Perubahan kesadaran itu merupakan langkah awal menuju pembebasan. Karena teori kritis menyobek kesan bahwa realitas bersifat alamiah dan rasional, ia membuka perspektif untuk sebuah praksis yang menjungkirbalikkan tatanan yang sebenarnya tidak alami dan tidak rasional itu. Mempunyai teori kritis merupakan langkah pertama menuju pembebasan yang nyata.
Teori kritis inilah yang tidak banyak disinggung oleh para pembelajar Indonesia dewasa ini, sebuah teori yang mampu membebaskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, baik yang dilakukan individu maupun kelompok.Teori kritis percaya bahwa tujuan ilmu adalah membangkitkan kesadaran dan memberikan kontribusi bagi perubahan sosial. Berapa banyak ilmuwan Indonesia hebat-hebat yang enggan menyuarakan keadilan dan kebenaran karena tidak tertarik mengamalkan teori kritis tersebut. Membiarkan ilmu pengetahuan berada pada titik aman sama dengan menggiringnya ke arah kematian. Ketidakamanan dalam ilmu pengetahuan adalah kehidupan. Dan ini hanya bisa diwujudkan jika kita senantiasa mengembangkan teori kritis.
Dampak dari penerapan teori kritis akan memunculkan pertanyaan misalnya: mengapa para pembelajar Indonesia belum bisa menikmati karya sastra berupa novel “Ayat-ayat setan” karya Salman Rusydie, yang sampai saat ini, saya melihat belum ada penerbit Indonesia yang berani menerbitkan? Mengapa Bapak Menteri tidak memberikan kemerdekaan untuk menikmati buah ide dari pemikir-pemikir komunis tanpa takut ada razia buku. Mengapa Bapak Menteri tidak mewujudkan keinginan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah mengusulkan untuk mencabut TAP MPRS No. 25/MPRS/1966 yang memasung paham Marxsisme dan Leninisme karena bertentangan dengan UUD 1945 itu?
Ini hanya sekadar contoh pertanyaan dari pembelajar yang menginginkan kemerdekaan. Sudah semestinya kita bebas belajar dari apa dan siapa saja. Semoga ucapan Bapak Menteri bukan sekadar basa-basi. Basa-basi baik saja, tapi basa-basi tidak akan menghibur mereka yang ingin menikmati kemerdekaan belajar.
———– *** ————-

Rate this article!
Tags: