Membincang Indonesia dan Nusantara

Oleh:
M. Yaufi Nur Mutiullah
Penulis adalah mahasiswa rantau asal Jawa Timur. Sekarang bermukim di Jakarta sebagai mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mahasantri Pondok Darus Sunnah.

Sebagai negara antah berantah dengan berbagai macam suku bahasa, adat istiadat, dan rekam historis yang panjang dari masa kerajaan sampai kemerdekaan, perpolitikan atau sistem kenegaraan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kekuatan budaya dan adat mistik yang menjadi basis kekuatan perjuangan melawan penjajah. Dahulu Indonesia pernah menjadi kekuatan basis pokok bagi bumi nusantara dengan berbagai kerajaan sebagai porosnya. Kerajaan Majapahit dengan Gajah Mada sebagai tokoh utama misalnya, saat itu ditakuti kerajaan-kerajaan lain karena pasukannya yang sakti mandra guna. Ada juga kisah Pangeran Diponegoro yang konon pernah bermimpi bertemu Sunan Kalijaga mendapat petunjuk dari beliau untuk mengatur taktik mengusir penjajah. Lebih maju lagi kisah perjuangan Arek-arek Suroboyomelawan sekutu dengan Bung Tomo sebagai pimpinannya, konon diceritakan sebelum Bung Tomo berangkat berperang, dia sowan dan meminta saran terlebih dahulu kepada guru spiritual beliau, Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim menghadiahkan sebuah bacaan arab kepada Bung Tomo untuk dibaca dengan lantang sebelum perang dimulai, yaitu kalimat Takbir, Allahu akbar.
Sesuai rekam sejarah historis tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa peran ulama dan umara sudah mulai terjalin mesra sejak dahulu. Ulama sebagai penyangga kokoh para relawan negara (umara) membuat negara ini tangguh dari sisi politik dan kokoh dari sisi kontrol sosial kemasyarakatan karena mendapat dukungan para ulama atau kiai sebagai tokoh masyarakat. Banyak hal positi dapat dirasakan jika kedua pemain penting ini terus bekerjasama memikirkan nasib negara.
Dari sisi politik para pemimpin bangsa yang dalam hal ini adalah pemerintah (umara) dapat membuat inovasi dan program yang maju untuk masa depan bangsa baik dalam ranah urusan negara sendiri ataupun dengan negara lain di kancah dunia dengan mendapat dukungan para ulama sebagai tokoh masyarakat sekaligus kontrol sosial dan kontrol spiritual. Lebih dari itu, peran keduanya dapat melindungi Indonesia dari bahaya kehancuran akibat sinis golongan dari kelompok radikal dan komunal yang cenderung memonopoli kebenaran dan mementingkan golonganya sendiri. Tentu bahaya ini dapat direda dan diatasi jika umara dan ulama sama-sama bekerjasama menanggulanginya. Cita-cita inilah yang diharapkan oleh Presiden Jokowi dalam sambutanya ketika membuka acara Sholawat Nusantara bersama ketua MUI KH. Ma’ruf Amin dan para tokoh agama lainnya.
Dalam sambutanya, Jokowi tidak bosan-bosanya mengingatkan Indonesia agar terus menjaga keharmonisan dan kerukunan rakyat sehingga tidak hancur dan resah seperti negara-negara lain di timur tengah di Irak, Afghanistan dan negara-negara lainnya. Selama ini Indonesia dengan jumlah 714 suku dari berbagai macam agama mampu mempertahankan kedamaian meski kadang terjadi sedikit konflik dan bisa segera ditangani. Pencapaian ini tentu adalah hasil dari kerjasama dan keharmonisan antara ulama dan umara.
Oleh karenaya dalam kitabnya Tibrul Masbuk, Imam Ghazali mengibaratkan kepemimpinan dengan iman sebagai akar dari pohon yang kokoh (aslal-imam) dan membentang dedaunya (sajaratal-iman). Tanduk kepemimpinan yang dilandasi dengan rasa keimanan yang tinggi akan menghasilkan kepemerintahan yang rapi, kokoh dan kuat. Dengan demikian, cabangnyapun akan membentang luas. Menurut al-ghazali setiap keputusan yang dikeluarkan pemimpin harus berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan. Setiap kebijakan yang tidak berlandaskan pada akar tadi, maka dikhawatirkan akan luntur dan tidak bertahan lama. Jika kita hubungkan dengan teori yang ditawarkan kelompok Marxisme, ada istilah infrastrukturdan suprastruktur.
Menurut paham Marxisme unsur-unsur negara seperti budaya, pendidikan, dan lainnya akan mapan jika pokok intinya atau infrastrukturnegara sudah mumpuni dalam hal ini adalah akhlak dan moral negara yang dilandasi dengan iman yang kokoh. Tentu kekokohan iman para pemimpin dan pejabat negara akan kokoh sehingga tidak lagi korup dan terus amanah akan terbantukan dengan berkumpulnya mereka dengan para ulama, kiai, daan tokoh masyarakat. Dengan begitu para pemimpin bangsa (umara) dapat memperoleh beberapa masukan dan pertimbangan dari ulama.
Umara sebagai pelaksana negara dan umara sebagai penasehat negara dapat saling mengisi dan membantu menjaga kedaulatan negara Indonesia. Demi mensukseskan setiap visi misi lahiriah setiap pemimpin Indoensia, tentu juga membutuhkan petunjuk-petunjuk suci yang transendental untuk menyokong dan menyanggahnya. Tentu para ulama dan kiailah yang dapat banyak membantu dalam hal ini. Dan potret kerjasama umara dengan visi lahiriah dan ulama dengan petunjuk batiniyah tadi telah tergambarkan dan diterapkan pada masa lalu oleh tokoh-tokoh hebat dalam sejarah peradaban. Nabi Muhammad saw mendapat wahyu sebagai kontrol langsung dari Tuhan pada beliau, pada masa kemerdekaan Indonesia Soekarno sebagai pelaksana negara dan Kiai Wahab Hasbullah sebagai penasehatnya yang kadang kala memberikan saran-saran keramat pada Bung Karno. Dalam film india serial Mahabharata misalnya juga dikisahkan perjuangan para Pandawa membinasakan angkara murka melawan Kurawa. Dalam kisah itu para Pandawa Lima Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa sebagai eksekutornya dan Basudewa Krisna yang sakti mandraguna sebagai penasehatnya.
Dengan begitu, cita-cita para pendiri bangsa untuk memakmurkan dan mensejahterakan bangsa ini akan mudah tercapai. Sekian, semoga Indonesia tetap jaya.

——————- *** ———————

Rate this article!
Tags: