Membuka Mata Penyandang Tuna Netra Lebih Melek Hukum

Satriya Unggul dan Saleh Ibrahim menunjukkan dua karyanya berupa undang-undang yang ditulis menggunakan huruf braille dan dalam bentuk rekaman audio di laboratorium hukum UMS.

Satriya Unggul dan Saleh Ibrahim menunjukkan dua karyanya berupa undang-undang yang ditulis menggunakan huruf braille dan dalam bentuk rekaman audio di laboratorium hukum UMS.

Kota Surabaya, Bhirawa
Keterbatasan memahami hukum menjadi salah satu faktor munculnya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas,khususnya bagi tuna netra. Produk-produk hukum seperti Undang-Undang (UU), UUD 1945 dan regulasi lainnya yang hanya tersedia dalam bentuk tulisan menjadi sebabnya.  Kondisi ini menarik minat empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) membuat refrensi hukum bagi penyandang tuna netra.
Sudah dua tahun ini, Satria Unggul, mahasiswa semester VII Fakultas Hukum UMS memperhatikan seluk beluk  kehidupan penyandang disabilitas. Terutama mereka yang tuna netra. Dalam dunia pendidikan, penyandang tuna netra sudah cukup mendapat perhatian khusus. Literasi seputar pelajaran sudah banyak tersedia menggunakan huruf braille. Sehingga mereka pun dapat memahaminya dengan baik.
Sayangnya, hal itu tidak berlaku di bidang hukum. Aturan perundang-undangan yang dapat dimengerti penyandang tuna netra dengan menggunakan huruf braille nyaris tak pernah ditemui. Termasuk payung hukum untuk melindungi hak-hak kaum difabel itu sendiri.
“Bagaimana jadinya jika payung hukum yang melindungi hak kaum difabel ternyata tidak dipahami kaum difabel hanya karena mereka tidak dapat membacanya. Kan percuma,” kata Satria saat ditemui di Laboratorium Hukum UMS kemarin.
Berangkat dari rasa prihatin itu, Satria bersama tiga temannya Syafril Ernandi, Nurhayati Bakir dan Saleh Ibrahim menyajikan sejumlah aturan perundang-undangan menggunakan huruf braille dan audio. Ada enam UU yang mereka ubah menjadi huruf braille di antaranya UUD 1945 amandemen ke empat, UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan keputusan hasil Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).
Ke enam UU dengan huruf braille itu sengaja dibuat untuk membantu para tuna netra lebih melek hukum. Khususnya regulasi yang mengatur hak-hak mereka. Sebab, bagi Satria, jangan sampai tuna netra yang sudah mengalami kekurangan fisik ditambah bebannya dengan kurangnya pengetahuan hukum pula.
“Sudah banyak contoh mengenai kurangnya akses bagi kaum difabel, baik di ruang publik maupun pendidikan. Dengan tahu hukum, mereka bisa mengadvokasi dirinya sendiri,” kata Satria.
Mahasiswa asal Gresik itu menceritakan, proses pembuatan huruf braille itu memakan waktu selama empat bulan. Timnya tidak bekerja sendirian dalam menyusun UU berhuruf braille itu. Mereka dibantu oleh Anik Indrawati, seorang penyandang tuna netra yang mahir mengoperasikan mesin ketik huruf braille dan sehari-hari bekerja membuat Al Quran braille.
Selama empat bulan proses itu berlangsung, Satria dan teman-temanya secara bergantian mendatangi rumah Anik yang berada di kawasan Simo Pomahan. Mereka mengeja isi UU agar dapat diketik Anik. “Kami biasanya datang ke sana dari jam 13.00 sampai 20.00. It berlangsung selama empat bulan,” kata dia. Maklum, mengetik huruf braille tak semudah mengetik huruf biasa.
Hal yang cukup merepotkan ialah ketika dalam proses pengetikan terjadi kesalahan. Sebab, menghapus hasil ketikan huruf braille tak semudah menghapus tulisan dalam komputer. Kertasnya yang timbul itu jika terjadi kesalahan harus dihapus dengan kayu agar rata kembali.
Tak sia-sia, UU braille ini disambut antusias para penyandang tuna netra. Itu terbukti saat diujicobakan kepada masyarakat sasaran, yakni di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Tegalsari dan Keputih. Respon pembaca cukup baik karena sangat membutuhkan referensi UU berhuruf braille untuk pembelajaran. Apalagi, tidak sedikit guru-guru di YPAB merupakan aktivis yang peduli terhadap perluasan akses bagi kaum difabel.
Oleh para guru itulah, timnya kemudian diminta untuk mengembangkan UU braille dalam bentuk audio. Satria bersama timnya kemudian merekam sendiri suara di sebuah perusahaan rekaman. Waktunya hanya satu setengah bulan untuk mengubah enam UU itu menjadi berbentuk audio. “Ada guru yang beri masukan setelah mencoba membaca UU braille. Katanya, tuna netra yang sudah berusia tua itu tidak mungkin baca satu per satu pasal yang ada. Mereka ingin ingin yang lebih mudah diakses. Jadi, kami bikinkan audionya,” kata alumni SMA Muhammadiyah 8 Surabaya ini. [tam]

Tags: