Membumikan Deradikalisasi Nusantara

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Negeri kita punya “warisan” radikalisme. Tak perlu banyak jabaran, kita cukup menatapi hingga kini banyak “area” yang menjadi “lahan” persemaian puritanisme dan radikalisme. Semakin membesarnya kelompok radikal, semakin besar pula penolakan mereka terhadap budaya Nusantara. Seolah inilah “nasib” kita yang sampai detik ini tak pernah sepi dari munculnya kelompok radikal.
Salah satu upaya yang dinilai ampuh untuk memberantas terorisme adalah dengan program deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan upaya menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, melalui redukasi dan resosialisasi serta menanamkan multikuralisme.
Nilai Pluralis-Mulitikultural
Program deradikalisasi dengan menggagas pendidikan pluralis-mulitikultural sangatlah signifikan bagi masyarakat Indonesia kini. Pendidikan agama pluralis-multikultural adalah model pendidikan yang diharapkan memberi sumbangsih terhadap penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak. Sebab, nilai dasar pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial.
Nilai-nilai pluralisme-multikulturalisme harus kita lanjutkan pada pembebasan (liberasi) terhadap segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, status quo, dan politisasi rakyat kecil. Hal ini penting adanya, sebab kasus radikalisme yang menyulut terjadi di Indonesia, pada dasarnya adalah aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras. Sehingga secara tidak sadar kemerosotan moral para wakil rakyat dan krisis multidimensi turut memicu/menyumbang berkembang dan lahirnya gerakan radikalisme.
Fakta itu, semakin kuat dengan terlihat dengan banyaknya pribadi yang tertarik untuk bergabung dengan gerakan radikal dengan alasan ingin merombak keterpurukan tersebut. Realitas keterpurukan moralitas para wakil rakyat dan adanya ketidakadilan menjadi rumus yang ampuh untuk merekrut anggota baru dalam gerakan mereka.
Tragisnya lagi, masyarakat kita secara umum belum terbiasa berpikir kritis terkait gerakan radikalisme saat ini. Prof Syafii Maarif, salah seorang ulama besar Indonesia, pernah menyatakan bahwa khalifah saat ini bukan merupakan produk syariat Islam. Melainkan produk politik pasca-Nabi.
Menurut beliau, kekhalifahan modern tidak memiliki tempat berpijak di dalam Alquran dan Assunnah. Sederhananya, pemaksaan syariat dalam khalifah modern yang sering diusung kelompok radikal merupakan bentuk politisasi agama. Sebagaimana yang diungkapkan Presiden Pertama RI Soekarno, bangsa yang kuat adalah bangsa yang masyarakatnya berkarakter. Karena itu, perbaikan kualitas mental bangsa menjadi bangsa yang kritis dan terbuka sesuai dengan empat pilar kehidupan berbangsa adalah jalan terbaik untuk meredam gerakan radikal. Juga mencegah kekerdilan dalam berpikir.   Upaya yang bisa kita lakukan salah satunya adalah mari sedikit mengkaji ulang pendidikan agama, untuk kemudian memaparkan model pendidikan yang membebaskan sebagai agenda transformasi sosial. Model pendidikan agama yang selama ini dijalankan, faktanya sering menimbulkan fanatisme keberagaman dan penciptaan ideologi klaim kebenaran. Mengapa? Karena praktik pendidikan agama kurang menyentuh aspek realitas sosial, yang sebenarnya merupakan garapan agama.
Dua peran dan fungsi agama itu adalah ritual dan sosial. Maka, model pendidikan agama gaya lama yang cenderung eksklusif, dogmatis, kembali ke masa lalu yang kelabu, dan tidak menyentuh aspek moralitas, perlu didekonstruksi atau dibongkar. Kemudian, dimunculkan model pendidikan yang menghargai kemanusiaan, membebaskan dari penindasan, memupuk persaudaraan, dan menekankan kebaikan serta kesejahteraan bersama.
Kebajikan Nusantara
Model pendidikan yang cocok untuk Indonesia masa depan tentu saja harus digali dari aspek sosiologis, antropologis, dan teologis masyarakatnya. Jika kita perhatikan dengan seksama, bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik; merupakan kumpulan dari berbagai macam suku dan pemeluk agama yang berlainan satu dengan yang lainnya. Maka, keanekaragaman (pluralitas) kultural dan religius ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna saling membantu, berlomba berbuat kebajikan, dan menciptakan kebaikan serta harmoni kehidupan.
Oleh karenannya, model pendidikan agama di Indonesia yang perlu dikembangkan ke depan adalah model pluralis-multikultur. Pendidikan agama pluralis-multikultur adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai – nilai moral seperti kasih sayang, cinta sesama, tolong menolong, toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat, dan sikap – sikap lain yang menjunjung kemanusiaan.
Langkah berikutnya adalah penanaman kesadaran bahwa sudah menjadi tugas manusia untuk menjunjung kemanusian dan mengembangkan nilai – nilai perenial agama. Kemudian mereka bersama – bersama melakukan tindakan untuk mewujudkan aksi kemanusiaan. Namun tahapan ini tidak hanya terhenti begitu saja, karena setelah terjun ke lapangan, mereka harus mengevaluasi dan mengkaji teori lagi, untuk kemudian melakukan aksi yang lebih baik. Maka, lingkaran kejadian refleksi aksi adalah guru murid realitas, adalah sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan agama pluralis multikultural sangat urgen untuk diwujudkan, mengingat selama ini di Indonesia masih kurang terwujud hubungan antar umat beragama yang harmonis dan membebaskan. Oleh karena itu perlu ditanamkan sikap dan pemikiran yang dewasa dalam menghadapi perbedaan agama dan perilaku keagamaan. Maka, pluralitas agama justru harus terus dipupuk sebagai ajang koreksi dan cermin diri dalam bergaul dengan manusia, untuk selanjutnya melakukan transformasi atau pembebasan sosial bersama. Tentunya untuk menentang ketidakadilan, status quo, monopoli, dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya.
Sudah saatnya kekerasan terhadap “yang berbeda” harus diakhiri. Besar harapan pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan. Presiden Joko Widodo pasti tidak lupa akan butir kesembilan Nawa Cita, yakni memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial. Sebagai pemimpin negara, dia dituntut lebih sering berbicara kepada publik guna menggaungkan kembali pengakuan negara terhadap kebhinekaan, dengan menghadirkan kebajikan nusantara demi menghadirkan kesadaran kita berkeIndonesiaan.

                                                                                                                 ———– *** ————

Rate this article!
Tags: