Membumikan Jurus Protokol Kesehatan

Oleh : Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Sudah setahun berlalu, sejak kali pertama ditemukan virus corona di Wuhan China pada Desember 2019 dan menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk ke wilayah Indonesia pada 2 Maret lalu. Hingga kini lonjakan kasus terus saja terjadi entah sampai kapan pandemi berlalu. Data Satgas Penanganan Covid-19 Nasional menunjukkan rekor kasus terkonfirmasi positif Covid-19 pada 3 Desember kemarin yang menembus angka 8.369 per hari sehingga secara komulatif angka terus bergerak menembus 600 ribuan kasus di Indonesia. Alih-alih gelombang kedua (second wave), pandemi di Indonesia belum mencapai puncak dan belum pasti kapan grafiks kasus bakal melandai. Apalagi belum optimalnya strategi testing dan tracing sebagai upaya mendeteksi sebanyak mungkin kasus terkonfirmasi positif yang segera ditangani. Kondisi tersebut diperparah dengan kasus undertesting dan underreported data riil yang terlaporkan. Mungkin kita hanya berharap Tuhan dan ketersediaan vaksin sebagai jurus pamungkas untuk sesegera melenyapkan monster virus corona.

Penerapan protokol kesehatan yang terus digaungkan oleh pemerintah di berbagai sudut media informasi maupun media sosial melalui “pesan ibu” yakni 3 M (Memakai Masker, Mencuci tangan dan Menjaga Jarak). 3 M bukanlah sebuah jargon saja, bukan hanya menjadi program saja, tapi harus menjadi sebuah habit yang menjadi sebuah adaptasi kebiasaan baru yang harus dilakukan masyarakat. Oleh karena itu saat pandemi ini, dibutuhkan sebuah adaptasi baru dalam aktivitas kehidupan sangat penting. Di sisi lain, upaya penanganan sisi hilir yakni 3 T (Testing, Tracing, danTreatment). Saat ini sebagian besar layanan kesehatan terutama rumah sakit kian penuh menerima pasien Covid-19, bahkan sudah hampir menyerah. Tren kasus terus meninggi rumah sakit terancam kolaps melalui menipiskan ketersediaan ruang isolasi dan perawatan pasien Covid-19, tenaga medis kian kedodoran sehingga perawatan pasien tidak memperoleh layanan secara memadai.

Dalam rangka menegakan protokol kesehatan pihak TNI – Polri dikerahkan dan sudah turun tangan dalam ikut serta pengendalian pandemi baik secara persuasif-edukasi hingga bersifat yustisi dan penegakan hukum pada masyarakat yang tidak peduli dengan protokol kesehatan. Saat ini tenaga kesehatan terus bertumbangan, gelontoran anggaran telah dikucurkan pemerintah di berbagai lini baik dalam bentuk refocussing anggaran untuk penanganan Covid, pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan dan ketersediaan logistik kesehatan, jaringan pengaman sosial berupa distribusi bantuan sosial hingga ke wilayah pedesaan serta pemulihan ekonomi secara bertahap. Secara realitas bahkan upaya pengendalian kasus belum optimal melalui penegakan protokol kesehatan, setidaknya ada beberapa faktor antara lain : pertama, pemahaman penerapan protokol kesehatan yang tidak komprehensif. Bagaimana tidak, upaya 3 M harus dilakukan secara simultan dan paralel, tidak sepotong-potong.

Diantara 3 M yang masif dilakukan adalah upaya pengetatan pemakaian masker, hampir semua operasi gabungan lebih menitikberatkan pada pemakaian masker oleh masyarakat namun belum memperhatikan 2 M lainnya yakni Mencuci Tangan dan Menjaga Jarak. Inilah yang belum sepenuhnya tersentuh. Upaya pencegahan dan represif atas aktivitas mencuci tangan belum terlihat karena memang petugas tidak dapat melihat per individu atau orang per orang. Di sisi lain aktivitas menjaga jarak hanya diberlakukan pada aktivitas-aktivitas masyarakat yang memiliki hajatan formal (acara resepsi, pengajian, konser pertunjukan atau sejenisnya) maupun non formal (cangkrukan di warung kopi misalnya). Ironisnya para pegawai kantoran maupun para pejabat belum sepenuhnya menerapkan “aktivitas menjaga jarak” berbentuk kegiatan tatap muka seperti rapat, apel, kunjungan lapangan dimana dalam konteks kesehatan juga sama memiliki risiko penularan, meski beberapa daerah (masih) memberlakukan kerja dari rumah (work from home).

Kondisi ini memang tidak disadari atau memang sulit dihindari karena karakreristik manusia yang bersifat Zoon Politicon merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Kedua, diakui atau tidak momen Pilkada serentak dan libur akhir tahun merupakan potensi klaster baru penularan Covid-19 secara luas, meskipun semua pihak berkomitmen akan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Secara realitas komitmen diatas kertas jauh berbeda ketika implementasi di lapangan. Kondisi peta beberapa wilayah kembali bergerak ke oranye bahkan merah dan mobilitas masyarakat yang tinggi merupakan sumber transmisi lokal yang sangat sulit dihindari. Celakanya disiplin masyarakat secara umum kian menurun dan cenderung abai dalam menerapkan protokol kesehatan. Kondisi tersebut sebagai indikator logis kian bertambahnya kasus. Kesehatan dan keselamatan masyarakat kian terancam sehingga semua pihak harus menyadari meski agak terlambat sambil menanti vaksin.

Di sisi lain, upaya pengendalian secara komprehensif oleh pemerintah pusat terkendala oleh aspek kewenangan Kepala Daerah baik level Pemerintah Provinsi, Kabupaten maupun Kota sehingga dalam konsteks epidemiologis lebih sulit diimplementasikan. Peta kerawanan wilayah penanganan Covid-19 melalui Satgas tiap-tiap daerah menimbulkan perbedaan cara atau metode penanganannya akibatnya timbul ketidakefektifan, sementara karakteristik virus tidak mengenal batas kewilayahan, mengikuti ritme pergerakan antar manusia serta simpul-simpul kerumunan. Kondisi ini memang menjadi faktor penyulit namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan perbaikan dan evaluasi secara menyeluruh dengan mengarah segala daya upaya serta sumber daya yang tersedia sembari menanti pelaksanaan vaksinasi yang terus dikebut melalui serangkaian berbagai uji klinis secara ketat.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: