Membumikan Kembali Nilai-Nilai Pancasila

Oleh:
Kodrat Alamsyah
Sekretaris Umum Center for Democracy and Religious Studies (CDRS), Mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Walisongo 

Sangat disayangkan, bagian vital dari fondasi bangsa saat ini -karakter dan budi pekerti- telah hilang di kalangan penerus bangsa. Ini disebabkan karena generasi muda zaman sekarang kurang memahami apa esensi yang terkandung dalam Pancasila, sehingga nilai-nilai penting di dalamnya tidak dapat diresapi dengan baik. Mereka hanya menggangap bahwa Pancasila sekadar tulisan tanpa arti. Betapa mirisnya kehidupan moral generasi muda saat ini.
Begitu mudah untuk menyebutkan contoh kemerosotan moral generasi muda saat ini. Tindakan radikalisme, intoleransi, kebiasaaan menyebarkan hoax, ujaran kebencian, redupnya integritas dan kesantunan, maraknya korupsi, termasuk pula aksi-aksi kejahatan yang kian meraja lela belakangan ini, menjadi tontonan gratis yang sungguh memilukan.
Kerisauan akan memudarnya nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat tersebut, tampaknya mendasari ide Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghidupkan kembali mata pelajaran pendidikan moral Pancasila (PMP) di sekolah formal. Kemendikbud mengklaim sedang menyiapkan materi PMP yang lebih eksplisit dan lebih ‘bunyi’ (news. detik.com).
Melihat kembali ke belakang, sebenarnya PMP sudah diajarkan di sekolah sejak 1975. Pada 1994 mata pelajaran PMP diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Kemudian pada masa reformasi, PPKn diubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru.
Tidak ada yang salah dengan rencana Kemendikbud tersebut, bahkan perlu didukung selama niat baiknya untuk terus membumikan nilai-nilai Pancasila yang selama ini kerap dianggap tidak konkret dan mengawang-awang. Tentu saja, penghidupan lagi PMP harus diimbangi dengan modifikasi metode pembelajaran yang kekinian dan dapat diterima anak-anak di generasi pascamilenial. Bukan malah kembali lagi ke zaman pengajaran Pancasila ala Orde Baru.
Penghidupan PMP akan sangat bagus sebagai penyegaran kembali ingatan para siswa, bagaimana Pancasila menjadi pemersatu bangsa hingga akhirnya para tokoh bangsa pun bisa melahirkan NKRI. Sejarah ini jangan sampai tidak diajarkan kepada anak-anak, karena ditakutkan akan muncul ego-ego yang berujung pada perpecahan bangsa.
Namun harus diingat bahwa menumbuhkan kembali nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak cukup dengan cara-cara formal saja. Alangkah naifnya, ketika di usia dini, anak-anak mendapatkan pelajaran dan ilmu budi pekerti luhur ala Pancasila, tetapi di luar sana para pemimpin, atau panutan kita selalu mempertontonkan perilaku-perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Untuk itu pergerakan besar harus segera dimulai sebelum nilai-nilai pancasila redup secara “permanen”. Pancasila harus mampu dihadirkan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Bagi para guru, pemimpin, dan tokoh panutan lainnya harus bisa menggandeng nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-harinya. Sekurang-kurangnya mereka dapat memberikan contoh karakter yang baik dan berintegritas.
Pemimpin tidak hanya lantang dalam pidato-pidato, guru tidak hanya ahli dalam beretorika, bukan pula PMP yang hanya dimasukkan ke kurikulum sekolah sebagai pelajaran moral. Sebab sekali lagi, negeri ini lebih membutuhkan teladan yang baik untuk membumikan Pancasila daripada sekadar menformalkannya dalam pendidikan moral Pancasila.
Selain itu, PMP harus disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini. Metode yang digunakan harus sesuai dengan zamannya. Inilah kenapa dikatakan bahwa kurikulum terbaik adalah guru. Seorang guru harus bisa membaca emosi muridnya, sehingga bisa menentukan metode apa yang cocok digunakan.
Tentu untuk mencapai ini, kualitas guru juga harus ditingkatkan. Memasuki era revolusi 4.0 ini, seorang guru harus terbiasa dengan teman elektronik para murid hp android, serta alat teknologi lain yang sudah mulai banyak digunakan di beberapa sekolah. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, guru bisa melakukan pembelajaran sesuai dengan kebiasaan murid saat ini.
Pemuda bangsalah yang menjadi fondasi untuk kuat dan kokohnya bangsa dimasa yang akan datang demi menghadapi ancaman, gangguan, hambatan maupun tantangan yang akan dihadapi selanjutnya. Sebagaimana yang pernah dikatakan presiden pertama Indonesia, Soekarno, “Beri aku seribu orang, dan aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncangkan dunia!”
Untuk itu, membudayakan pengamalan nilai-nilai Pancasila perlu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara. Melalui perantara pembelajaran pendidikan Pancasila yang diberikan secara langsung atau tidak langsung, generasi muda penerus bangsa diharapkan dapat lebih mendalami apa yang terkandung dalam Pancasila. Wa Allah A’lam bi al-Shawaab.

———- *** ———–

Tags: