Membunuh Ideologi Terorisme

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Menangkap, menghukum, sampai pada membunuh para pelaku jaringan terorisme jauh lebih mudah daripada membunuh idiologinya. Para pelaku teror dan aksi bom bunuh diri bisa saja dipenjara sampai puluhan tahun dan dihukum mati, namun idiologinya masih tetap ada dan terus berkembang. Bak pepatah mengatakan; “hilang satu tumbuh seribu”. Itulah idiologi terorisme, yakni idiologi kekerasan dan idiologi yang mengumbar dan menyebar ketakutan kepada masyarakat. Idiologi kekerasan ini semakin mendapatkan tempat dan menjadi keyakinan diri dan kolektif, apalagi jika dilegitimasi oleh (klaim monopolitik) agama.
Gambaran idiologi terorisme tidak hanya terjadi dalam sekala global dan regional, tapi juga lokal (baca: Negara). Itu pula yang terjadi di Indonesia. Sudah puluhan aksi terorisme terjadi di berbagai wilayah nusantara dan telah menelan ratusan korban tewas, ratusan luka-luka berat dan ringan, dan merusak infrastruktur publik. Tindakan represifpun sudah dilakukan pihak aparat keamanan dengan Tim Densus Antiteror Mabes Polri; dengan memburu, menangkap, menghukum, dan memenjarakannya dengan vonis hukuman yang sangat berat sampai hukuman mati. Namun semua itu, belum mampu menghentikan atau setidaknya mengurangi aksi terorisme di negeri ini.
Tindakan represif dan eksesif aparat keamanan justru mendapat reaksi lebih keras dari para pelaku terorisme. Para pelaku terorisme bagaikan sebuah organism, yang terus produksi dan bereproduksi. Kasus yang terbaru adalah kasus bom bunuh diri Mapoltabes Medan yang menewaskan pelakunya sendiri dan melukai sekurangnya enam orang yang ada sekitarnya. Kasus Medan ini semakin menambah daftar panjang kasus bom bunuh diri dan aksi terorisme di Indonesia. Dalam beberapa kasus sebelumnya, para pelaku terorisme atau bom bunuh diri menyasar aparat kepolisian atau kantor-kantor polisi, termasuk kasus di Medan. Mengapa para pelaku menjadikan aparat kepolisian atau kantor-kantor polisi menjadi sasara aksi?. Ini tentu saja harus menjadi kewaspadaan yang tinggi bagi jajaran aparat kepolisian. Selain itu, jajaran Kepolisian RI perlu untuk mengevaluasi sepak terjang dan tindakan dalam memberantas terorisme. Bisa saja tindakan Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang terlalu represif dan eksesif terhadap seseorang atau kelompok masyarakat yang diduga terhubung dengan jaringan terorisme, berdampak pada reaksi balik yang keras dari sel atau jaringannya pelaku.
Pengebom bunuh diri = pengantin?
David Brooks menulis mengenai “The Culture of Martyrdom” (Majalah Atlantic edisi Juni 2002) dan mencoba mengkaitkan dengan sejarah pengebom bunuh diri di kalangan pejuang Palestina yang menentang pendudukan Israel. Brooks mengutip laporan wartawan Pakistan Nasra Hassan yang mewawancarai 250 orang yang merekrut dan melatih para calon pelaku bom bunuh diri di Palestina selama kurun waktu dari tahun 1996 sampai 1999.
Kesimpulannya, pengebom bunuh diri umumnya sangat loyal kepada kelompoknya. Mereka melalui proses indoktrinasi dan cuci otak persis seperti yang dilakukan oleh Jim Jones pemimpin Sekte Matahari kepada para jemaahnya menjelang bunuh diri masal tahun 1977. Calon pengebom dikelompokkan ke dalam sel-sel kecil dan diberikan ceramah agama serta melakukan ritual ibadah yang intensif. Mereka diajak untuk melakukan jihad (meski pemahaman akan jihadnya menyesatkan), dibakar kebenciannya terhadap musuh (biasanya simbol-simbol Barat dan pendukung Israel) dan diyakinkan akan masuk surga sebagai balasan tindakannya.
“Pengebom bunuh diri dicekoki bahwa surga terbentang dibalik detonator pemantik bom dan ajal kematian akan dirasakan tidak lebih dari sekedar cubitan (yang sama sekali tidak menyakitkan),” tulis Brooks. Bahkan perekrut kadang meminta calon pengebom bunuh diri untuk terlentang di lubang kubur kosong, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana tentramnya kematian yang akan tiba. Sebaliknya kepada mereka diingatkan secara terus menerus bahwa hidup di dunia itu fana, sementara, banyak penderitaan, cobaan dan penghianatan.
Yang abadi adalah di surga dimana ada 72 bidadari yang menunggu dengan penuh cinta. Mungkin karena akan bertemu dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai “perkawinan”, yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari.
Strategi Deradikalisasi
Membunuh idiologi terorisme bukanlah pekerjaan mudah dan singkat. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa dimusnahkan. Merubah kepercayaan dan keyakinan tentang “idiologi kekerasan” membutuhkan langkah-langkah yang mendasar, strategis, sisrematis, dan berkelanjutan. Dan karenanya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Bisa saja membutuhkan satu generasi untuk membunuh idiologi terorisme.
Salah satu langkah solusi yang harus dikampanyekan adalah melakukan strategi kebudayaan dan deradikalisasi, yakni proses penghancuran nilai, idiologi, dan pemikiran terkait dengan kekerasan dan menggantinya dengan nilai, idiologi, dan pemikiran tentang kedamaian, keharmonisan, dan saling menghargai dalam perbedaan. Akar kekerasan dan terorisme harus dibongkar. Akar kekerasan tidak hanya bersumber dari “klaim”agama, tapi juga kemiskinan dan ketidakdilan sosial-ekonomi juga memberi kontribusi cukup besar terhadap lahirnya aksi kekerasan dan terorisme.
Karena itu, penanganannya harus komprehensif, berkelanjutan, dan berdimensi jangka panjang. Tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan selama ini hanyalah tindakan instan yang berjangka pendek, tidak bisa menghilangkan akar kekerasan itu sendiri. Langkah preventif jauh lebih penting untuk menghambat dan menghentikan aksi terorisme. Proses deradikalisasi yang paling efektif adalah melalui institusi pendidikan, baik formal maupun informal. Selain itu, ruang dialog antar pemeluk agama atau seagama dan elemen masyarakat lainnya harus dibuka lebar-lebar. Aksi kekerasan dan terorisme atas nama apapun dan dilakukan oleh siapapun adalah tindakan yang “haram”; melawan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban manusia.

————- *** —————

Rate this article!
Tags: