Memburu Sindikat Pedofilia Expatriat

Yunus Supanto

Yunus Supanto

Oleh:  
Yunus Supanto
wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.
Sangat memprihatinkan manakala buron kasus pedofilia dari Amerika Serikat (AS) bisa hidup aman dan tenteram di Indonesia, sampai 10 tahun. Bahkan menjalani profesi mulia, sebagai guru di sekolah berlabel internasional. Tetapi sebenarnya sejak lama banyak orang asing (ex-patriat) berpraktek gay maupun lesbian. Rata-rata menyaru menjadi guru, tutor, pelatih, pekerja sosial atau konsultan di berbagai lembaga pendidikan formal maupun non-formal.
Tak jarang tutor gay maupun lesbian memilih bekerja pada institusi nirlaba, termasuk rumahsakit swasta, sekolah swasta dan asrama peribadatan. Harus diakui, tak jarang pekerja asing memiliki kompetensi cukup memadai. Walaupun sebenarnya SDM (sumber daya manusia) pekerja lokal memiliki kompetensi yang tak kalah handal. Pada masa liburan akhir pekan, memanfaatkannya dengan “turun gunung” mencari calon korban.
Pekerja asing dengan penyakit kekerasan seks (pedofilia) yang paling getol adalah yang mirip wajah lokal, hanya kulitnya yang lebih putih. Plus memiliki kelebihan bisa berbahasa Inggris sedikit lebih keren. Komunitas tersebut biasanya dari Singapura, Korea, Jepang dan China. Dengan kelebihannya banyak remaja dan anak-anak tertarik, setidaknya membantu mengerjakan PR sekolah. Tak jarang pada musim cuti panjang, ekspatriat dengan seks menyimpang berjanji mengajak remaja Indonesia berlibur. Siapa tak kepincut?
Penyusupan ekspatriat dengan perilaku seks menyimpang, sebenarnya sudah banyak terjadi, hanya tidak dilaporkan. “Beruntung” ada musibah JIS (Jakarta International School), sehingga para orangtua lebih waspada dan tidak kepincut sekolah berlabel internasional. Tetapi hal itu juga menyebabkan trauma mendalam. Bahwa keamanan dan kenyamanan anak semakin tidak terjamin, walau berada dalam rumah maupun sekolah sekalipun. Masih diperlukan kesungguhan seluruh pihak terkait untuk melindungi anak.
Banyaknya masalah yang diderita anak Indonesia ini cukup ironis, karena Indonesia secara tegas dalam konstitusi dasarnya sudah menjamin hak asazi anak. Ini sesuai dengan pasal 28-B ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan seksual pada anak masih menggunakan KUHP. Hukumannya tak seberapa, sehingga menyebabkan banyak kasus serupa terulang.
“Kota Layak Anak”
Indonesia telah memiliki undang-undang yang lebih lex-specialist. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana. Meski belum memadai dalam implementasi aksi, setidaknya bisa menjadi “tongkat” penuntun ke arah kebijakan kepada pemerintah dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota).
Secara kenegaraan maupun pemerintahan, telah dibentuk institusi perlindungan anak. Yakni KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Anak. Beruntung kedua instutusi cukup getol memperjuangkan hak-hak anak, terutama keamanan dan garansi tumbuh kembang anak. Bahkan KPAI menganggap telah terjadi situasi “darurat perlindungan anak,” karena banyak tindak kriminal yang dialami anak. Anak-anak juga menjadi pelaku tindakan kriminal.
Dalam catatan KPAI, dalam sebulan saja telah terjadi tindak kekerasan seksual anak sebanyak 45 kasus. Sehingga dianalisis oleh KPAI bahwa kejahatan seksual pada anak sudah pada titik sadis dan diluar nalar sehat. Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak, menjadi sangat urgen, strategis dan kritis. Diperkirakan jumlah anak di Indonesia mencapai 30-an persen total jumlah penduduk, atau sebanyak 85 juta-an.
Memang bukan hal mudah. Konsekuensinya, harus dibuat berbagai program lintas sektoral untuk perlindungan anak, terutama “peta” rawan kejahatan terhadap anak. Biasanya, lokasi rawan berada di daerah kantong-kantong kemiskinan. Syukur pula, aparat ketertiban masyarakat (Polisi di tiap Polres) juga telah memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Berdasar UU dan unit yang terstruktur penegak hukum bisa lebih intensif memburu pedofilia asing.
Memang tak cukup hanya mengandalkan polisi, karena jumlah aparatnya tidak banyak. Keterbatasan polisi sudah diantisipasi oleh UU. Diantaranya melalui pasal 20, yang menyatakan seluruh komponen bangsa dinyatakan memiliki kewajiban dan tanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Namun benar, harus ada yang dibebani secara khusus mengurus perlindungan anak. Pada pasal 59 kewajiban itu dibebankan kepada pemerintah dan lembaga negara.
Konsekuensinya, harus dibuat berbagai program lintas sektoral untuk perlindungan anak, terutama secara preventif promotif. Misalnya, sudah terdapat program “Kota Layak Anak.” Seharusnya program ini dilombakan secara struktural dan masif, lebih dari penghargaan Adipura. Misalnya melalui pemberian awards “Kampung Layak Anak,” serta program “Sekolah Layal Anak.” Tentu bukan sekadar taman yang indah dan banyaknya sarana permainan, tetapi juga sistem perlindungan (keselamatan) anak.
Beberapa daerah (antaralain NTB, Nusa Tenggara Barat) telah merespons sistem perlindungan lebih baik. Yakni dengan mengubah nomenklatur Dinas Badan Pembedayaan Perempuan dan KB (BPP-KB). Dinas BPP-KB di NTB kini menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak — KB, atau disingkat BPPPA-KB (BP3A-KB). Konsekuensinya, harus menambah bidang Perlindungan Anak dalam strukturalnya. Pada proses pengesahan Rancangan Perda Jawa Timur tentang Sistem Perlindungan Anak, fraksi-fraksi telah mengusul, agar BPP-KB juga diubah menjadi BP3A-KB.
Cegah Sweeping Ex-patriat
Kasus kejahatan kekerasan seksual pada anak, memang harus dihentikan segara, setidaknya diminimalisir. Pelaku pedofilia harus diselidiki sampai kemungkinan ke arah sindikasi. Perburuan pekerja asing pedofilia bisa dimulai dari JIS, lalu bisa dilanjutkan ke beberapa pekerja sosial asing yang “disimpan” NGO (LSM). Peburuan ini menjadi kewajiban dan mesti disosialisasikan kepada masyarakat luas. Jika tidak, boleh jadi masyarakat akan men-sweeping pekerja asing.
Tempat-tempat wisata (Bali, Lombok, Yogyakarta, Bandung, sampai Malang) juga mesti diwaspadai sebagai tujuan pedofilia. Karena itu tak cukup hanya mengandalkan polisi, karena jumlah aparatnya tidak banyak. Tetapi keterbatasan polisi sudah diantisipasi oleh UU. Diantaranya melalui pasal 20, yang menyatakan seluruh komponen bangsa dinyatakan memiliki kewajiban dan tanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Namun benar, harus ada institusi yang dibebani secara khusus mengurus perlindungan anak. Atau beberapa institusi (plus LSM) bersinergi melalui MoU untuk menguatkan sistem perlindungan anak. Pada pasal 59 kewajiban itu dibebankan kepada pemerintah dan lembaga negara.
Dalam tekstual panjang pasal 59 diyatakan: “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Tetapi kekerasan pada anak bukan hanya berupa kejahatan seksual. Melainkan juga, yang sangat menonjol adalah eksploitasi anak serta kekerasan fisik (menelantarkan, memukul sampai membunuh). Di berbagai area urban, banyak anak terpaksa menjalani pekerjaan sebagai pengemis (dan mengamen) karena diperintah orangtua. Lebih mengenaskan lagi, banyak pengemis anak yang telah menjadi “budak” sindikat eksploitasi anak.

Rate this article!
Tags: