Memenangkan Pengendalian Nafsu

(Belajar pada Rasa Lapar dan Haus)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

“Andai umatku mengetahui berkah (kesejahteraan) Ramadhan, niscaya mereka akan minta seluruh bulan (selama setahun) menjadi bulan Ramadhan.”
(Al-Hadits, diriwayatkan Ibnu Khuzaimah)
Sebulan Ramadhan, sepertiga awal berlimpah berkah. Seperti kedua berisi pengampunan Ilahi, dan seperti terakhir berujung pembebasan dari kesengsaraan. Kini, puasa Ramadhan sudah dijalani. Secara adat budaya maupun syariat, bulan Ramadhan disambut dengan sukacita. Kesalehan sosial meningkat. Banyak sedekah ditebar dalam bentuk uang maupun makanan. Persaudaraan dan per-kerabatan makin dikukuhkan.
Kaidah agama (Islam) meyakinkan, bahwa selama Ramadhan seluruh setan dibelenggu. Artinya, segala kedengkian dan permusuhan dikurangi, termasuk penyelenggaraan berbagai lomba (terutama olahraga dan seni) yang memicu persaingan tak sehat. Begitu pula perilaku nista dikurangi. Diantaranya, tidak menerima suap, dan tidak menyuap. Bahkan masyarakat Indonesia juga mengurangi kegiatan perjalanan jauh, agar dapat menunaikan puasa Ramadhan sampai tuntas.
Meng-agungkan bulan Ramadhan, telah menjadi budaya bangsa Indonesia. Sampai proklamasi 17 Agustus 1945, di-deklarasi-kan pada bulan Ramadhan. Sekaligus mengakui proklamasi sebagai berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Begitulah yang diyakini oleh para founding fathers Republik ini, tertuang dalam muqadimah UUD 1945. Sedemikian penting pengakuan keagungan bulan Ramadhan, frasa kata “atas berkat rahmat Allah…,” diadopsi sebagai muqadimah UUD.
Seluruh bagian muqadimah (empat alenia, sebanyak 181 kata) tidak boleh diamandemen oleh MPR, atau siapapun. Sebagaimana batang tubuh UUD telah direvisi (amandemen) sebanyak 4 kali, disesuaikan dengan dinamika politik dan kebutuhan bangsa. Tetapi muqadimah UUD tetap utuh seperti awal ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pengucapan proklamai pada saat itu (67 tahun lalu) bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, persis seperti saat ini. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Muhammad Yamin dan hampir seluruh anggota BPUPKI sedang berpuasa. Termasuk A.A. Maramis, konon juga berpuasa. Sehingga diyakini, pembacaan teks proklamasi di Pegangsaan Timur, Jakarta, itu bukanlah dorongan nafsu. Dan pemilihan waktu (hari) merupakan hasil perdebatan.
Yel-yel sebagai Ibadah
Yakni, apakah proklamasi akan dideklarasikan pada bulan puasa, atau menunggu sampai setelah Idul Fitri. Perdebatan itu disebabkan sebagian besar pejuang, sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Sedangkan pembacaan proklamasi diperkirakan akan diikuti yel-yel kemerdekaan, sekaligus kutukan terhadap penjajahan. Sehingga dikhawatirkan, proklamasi akan diikuti oleh nafsu yang emosional, tidak tulus dari kesucian hati.
Tetapi untungnya, tokoh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Wahid Hasyim, menyampaikan ide cemerlang. Yakni, bahwa yel-yel yang mendukung kecintaan terhadap rasa kebangsaan, merupakan bagian dari iman.Yel-yel pekik kemerdekaan, bagai setara wirid. Karena itu hukumnya sunnah (ibadah). Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga mengizinkan berperang (bela negara) dalam bulan Ramadhan?
Dengan mempertimbangkan momentum agung bulan Ramadhan, maka proklamasi disepakati dideklarasikan pada bulan puasa. Wajar terdapat kesan dadakan. Hal itu terbukti dari proses pengetikan naskah proklamasi baru disalin dari tulisan tangan yang dibuat pada malam menjelang dibacakan. Seluruh anggota BPUPKI sepakat meyakini, bahwa proklamasi pada 17 Agustus 1945, akan penuh berkah dan rahmat Allah yang Maha Kuasa. Akan menjadi negara bangsa bertahan yang sampai akhir dunia.
Sehari setelah proklamasi (18 Agustus 1945), UUD sebagai landasan negara dikukuhkan. Pengakuan adanya “campur tangan” Ilahi, diadopsi pada muqadimah UUD alenia ketiga. Secara tekstual berbunyi: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Jadi dalam momentum bulan Ramadhan tahun 1364 Hijriyah, sejak itu bangsa Indonesia memiliki negara yang berdaulat, dipimpin dan diatur oleh bangsa Indonesia, bukan oleh bangsa lain. Jika dihitung dengan tahun qamariyah, kemerdekaan Indonesia telah melampaui 74 kali bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan telah memberi spirit dan pencerahan sangat strategis untuk kesadaran nasionalisme kebangsaan.
Selama lebih dari 3,5 abad, rakyat Indonesia bagai selalu puasa, setiap hari. Penderitaan (kelaparan) terjadi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan pertanian subur. Semakin subur, penjajah semakin bernafsu meng-eksploitasi sumberdaya alam. Misalnya dengan pola tanam paksa. Di luar Jawa, areal rempah-rempah (di Maluku), perkebunan sawit dan karet (di Sumatera dan Kalimantan) menjadi saksi kerakusan penjajah.
Ramadhan Meng-inspirasi
Tetapi untungnya, bangsa Indonesia memiliki keyakinan (keagamaan) yang kukuh. Hanya itu yang tersisa, dan itu pula yang selalu menjadi “senjata” ampuh perjuangan melawan penjajah. Keyakinan agama pula yang menyadarkan, bahwa selama rezim penjajahan bangsa Indonesia selalu dalam keadaan “puasa.”  Lebih hebat dibanding puasanya Nabi Daud a.s., (berselang sehari antara puasa dan tidak puasa), juga lebih dari “puasa”-nya Ashabul Kahfi (tertidur dalam gua selama 309 tahun).
Belajar pada rasa dan haus saat (yang sangat lama) itulah, maka puasa bulan Ramadhan tahun 1945 memiliki “dua kali” IdulFitri. Yakni awal yang berupa deklarasi kemerdekaan NKRI. Dan kedua, Idul fitri yang sesungguhnya pada tanggal 29 Agustus 1945. Menurut cerita sesepuh, Idul Fitri 1945, bagaikan luapan kebanggan kebangsaan. Hari itu benar-benar berarti  “kemenangan” secara lahir-batin, secara spiritual dan emosional. Juga secara ekonomi dan politik. Sedemikian merdeka-nya, sampai-sampai  naik kereta-api juga tanpa karcis.
Secara harfiah, arti kemerdekaan yang paling terasa adalah tidak membayar pajak! Misalnya, masyarakat tidak lagi mau membayar pening (plat pajak untuk sepeda pancal), tidak mau membayar pajak radio. Pemerintah kelimpungan, karena tak punya uang. Akibatnya, pejabat tinggi negara (Menteri) tidak digaji. Begitu juga Gubernur, Bupati dan Walikota tidak memiliki gaji, apalagi tunjangan perumahan dan mobil dinas. Seluruhnya dibiayai sendiri oleh pejabat.
Puasa Ramadhan, memberi inspirasi (dan narasi) pada muqadimah UUD 1945. Hal itu terbukti dari banyaknya kata-kata bernuansa ajaran agama yang diadopsi. Antaralain tertulis dalam alenia ke-4, berupa visi dan misi negara, yakni digunakannya kata “hikmat” kebijaksanaan (selanjutnya menjadi dasar negara, sila ke-4 Pancasila).
Kata “hikmat” secara harfiah berarti pengendalian, sama artinya dengan visi puasa Ramadhan. Kata “hikmat” dimasukkan dalam sila Pancasila yang mengatur per-politikan. Agaknya para founding fathers telah memahami benar karakter dan animo politik bangsa 50-100 tahun ke depan (setelah proklamasi). Saat ini idiom “hikmat” sangat terasa ugensinya. Banyak yang menafsirkan kemerdekaan sebagai  “merdeka sekali”  boleh melakukan apa saja dalam politik. Sehingga menyebabkan altar politik bagaikan pelataran becek, bercampur dengan segala ke-najis-an.
Beruntung masih bertemu bulan puasa Ramadhan, masa pengendalian dan muhasabah (introspeksi), belajar pada rasa lapar dan haus. Dengan tetap pada jalur Ramadhan 1945, cita-cita proklamasi harus terus diupayakan. Yakni, “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
———   000   ———

Rate this article!
Tags: