Memetik Hikmah Sistem Zonasi PPDB 2019

Suprihatin

Oleh :
Suprihatin
Penulis dan Penyunting lepas ; Dosen Prodi Ilmu Komunikasi di Stikosa-AWS : Peneliti di MataMedia.com

“Who ever the President, our kids should go to school and get the best education”.
Siapapun yang menjadi presidennya, anak-anak kita haruslah bersekolah dan mendapat pendidikan terbaik. Kalimat menarik ini saya temukan dalam kata pengantar buku berjudul “Menggagas Pendidikan Bermakna” yang ditulis oleh Muchlas Samani, mantan Rektor sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya dan pemerhati pendidikan. Maknanya, pendidikan adalah hal penting bahkan jika dibandingkan dengan pemilihan presiden seperti yang sekarang tengah kita jalani.
Berbekal pedoman itulah, berbondong-bondong orang tua wali murid di Surabaya Jawa Timur melakukan aksi demo dan protes mulai di kantor Diknas Surabaya, hingga kantor Walikota Surabaya. Tuntutan utamanya adalah penghapusan sistem zonasi dalam penerimaan murid baru SMP dan SMA yang dinilai para orang tua tidak mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Ada yang mengeluh anaknya memiliki nilai NEM tinggi, tetapi tidak bisa masuk sekolah yang diharapkan karena terkendala jarak rumah ke sekolah. Ada yang rumahnya tak sampai 1,5 km tapi tetap tergeser dari perankingan penerimaan siswa karena banyaknya siswa yang jarak rumah ke sekolah bahkan kurang dari 500 meter. Ada pula yang marah karena sudah berjuang habis-habisan mengirim putra-putrinya les agar lolos TPA agar masuk ke sekolah kawasan ternyata gagal. Tak kurang juga orang tua siswa yang kebingungan manakala alamat yang tertera pada kartu keluarga bukanlah alamat domisili, sementara penggunaan Surat Keterangan Domisili (SKD) juga dibatasi oleh kecamatan yang sama dengan kecamatan asal sekolah.
Berbagai gerutuan, kekesalan, dan prasangka pun hadir di media sosial. Mereka bukan hanya yang merasa terdampak atau merasa menjadi korban dari pemberlakuan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru tahun ini. Mereka juga termasuk orang tua siswa yang berhasil masuk ke sekolah yang diharapkan baik karena merasa sistem itu kurang adil maupun karena berempati pada orang tua siswa lain yang terdampak.
Semangat pemerintah dalam konteks ini Departemen Pendidikan Nasional ketika menerapkan sistem zonasi sebenarnya perlu diapresiasi. Beralaskan Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang penerimaan siswa baru pada jenjang Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas, sistem zonasi diberlakukan secara penuh tahun ini di berbagai kota, termasuk Jawa Timur. Sistem zonasi dianggap menjadi solusi dari berpusatnya siswa dengan kemampuan akademik yang tinggi di beberapa sekolah tertentu. Selain itu sistem zonasi diharapkan mampu mengubah stigma masyarakat tentang sekolah favorit.
Menurut Mendikbud, pendekatan zonasi nantinya tidak hanya digunakan untuk penerimaan peserta didik baru saja, melainkan juga dianggap dapat digunakan untuk membenahi berbagai persoalan yang berkaitan dengan standar nasional pendidikan mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, hingga kualitas sarana prasarana. Sistem zonasi bahkan dianggap mampu mengurangi kemacetan karena siswa bersekolah di lingkungan terdekatnya.
Hal-hal positif yang diharapkan menjadi luaran dari pemberlakuan sistem zonasi menjadi bumerang ketika kebijakan berlaku tunggal tanpa memperhatikan kondisi di masing-masing daerah. Pada kenyataannya, jumlah sekolah negeri di beberapa wilayah tidak mencukupi kebutuhan untuk menampung jumlah siswa yang terus bertambah setiap tahunnya. Bahkan di beberapa daerah, jarak terdekat sekolah negeri baik SMP maupun SMA negeri ada yang lebih dari 3 kilometer. Dengan jumlah pagu yang sangat terbatas, mereka yang berada di kawasan ini sudah pasti terlempar dari daftar siswa bahkan sejak hari pertama penerimaan online dibuka.
Syukurnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya cukup bijak menerima keluhan dan protes warga Surabaya yang kemudian membuahkan kebijakan bahwa ada dua jalur penerimaan siswa baru yang dibuka setelah penerimaan siswa dari jalur zonasi umum selesai. Dua jalur tersebut adalah penerimaan siswa dengan pemenuhan pagu sekolah dan jalur apresiasi NUSBN siswa. Kedua jalur ini diambil dari data siswa yang sudah mendaftar sebelumnya melalui jalur zonasi umum. Meski tidak mengakomodasi seluruh tuntutan masyarakat, buah manis dari protes masyarakat ini cukup melegakan.
Ada ruang publik yang dibuka oleh Kepala Dinas untuk mendengar aspirasi warga dan mencarikan solusinya. Inilah praktik sesungguhnya dari konsepsi Habermas tentang public sphere. Satu ruang terbuka yang dapat digunakan publik memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir dan terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat yang mampu mengubah suatu kebijakan.
Belajar dari kasus PPDB tahun ini, berbagai hikmah mestinya bisa kita petik. Bagi pemerintah, diperlukan kajian dan pemetaan yang lebih mendalam terhadap kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Baik dari jumlah kecukupan sekolah, jumlah kecukupan dan kesejahteraan guru, stigma sekolah unggulan dan nonunggulan, dsb. Beberapa rumor menyebutkan guru-guru sering meninggalkan siswa dengan berbagai tugas sementara mereka mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Satu pekerjaan rumah besar yang mesti diselesaikan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan guru yang pada ujungnya juga berdampak pada kualitas pendidikan. Bagi masyarakat, hikmah yang bisa dipetik adalah membuka dan mengubah pola pikir terhadap label ‘sekolah favorit’.
Anak-anak, seringkali tak ambil pusing di mana mereka akan bersekolah. Yang mereka pikirkan adalah siapa kawan-kawan mereka? Apakah mereka akan cocok bersekolah di situ? Bagaimana lingkungannya? Satu hal yang jarang dipikirkan orang tua terlebih ketika stigma bersekolah di sekolah favorit adalah satu-satunya pilihan untuk membuat anak berprestasi dan sukses dalam hidup. Dengan ukuran-ukuran, yang seringkali hanya memperhatikan aspek kognitif alih-alih potensi dan minat anak yang beragam.
Satu problem baru yang mungkin menarik didiskusikan lebih lanjut adalah, ketika orang melakukan perundungan terhadap siswa baru di sekolah yang sebelumnya dianggap favorit karena siswa tersebut dianggap beruntung masuk ke sekolah itu berbekal kedekatan alamat rumah. Dengan informasi identitas siswa yang dapat dengan mudah diakses melalui internet, anak-anak malang ini konon dicari media sosialnya dan dirisak beramai-ramai.
Entah benar entah tidak, praktik-praktik semacam ini jika ada, tentu harus dihentikan. Pihak sekolah dan guru mesti mengambil tindakan-tindakan preventif untuk mencegah adanya perundungan terhadap siswa baru yang ‘berbeda’ dengan kakak-kakak kelasnya. Setiap sekolah wajib berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi siswa yang sudah memilih sekolahnya dan kemudian menjadikan siswa-siswi tersebut sebagai panglima yang akan menghebatkan sekolah manapun yang sudah mereka pilih!
———- *** ———–

Tags: