Meminimalkan Kekerasan Terhadap Anak

SusantoOleh :
Susanto
Guru SMA Negeri 3 Bojonegoro-Jatim.

Kekerasan terhadap anak kembali terjadi menjelang pergantian tahun. Korban tragedi Pulomas yang berjumlah sebelas orang ditumpuk di kamar mandi. Kejadian itu menewaskan enam orang dan melukai lima orang. Selain kematian Dodi Triono pemilik rumah, Yanto, Tasrok (sopir pribadi), juga menimpa dua putri Dodi Triono, Diona Arika Andra Putri, dan Dianita Gemma Dzalfayla serta Amelia Reza Fahlevi teman sekolah.
Tentunya kejadian Pulomas yang begitu memilukan yang dilakukan oleh orang tak bertanggung jawab perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Bagaimana kedepan permasalahan yang melibatkan anak menjadi korban dapat diminimalkan. Dengan kata, lain, upaya konkrit apa yang harus dilakukan agar kejahatan tidak terjadi lagi dikemudian. Masyarakatpun menyambut gembira karena pelaku perbuatan biadab bisa ditangkap oleh pihak kepolisian. Langkah kepolisian ini sebagai awal bentuk kesigapan aparat dalam menguak motif pembunuhan yang cukup sadis dapat ditangkap oleh pihak kepolisian.
Pertanyaan susulan muncul bagaimana solusi memberikan rasa aman bagi anak anak sesuai dengan kodratnya?
Sumber Kekerasan
Sejak kapan kekerasan itu terjadi? Tentu jawabannya beragam. Untuk konteks saat ini, misalnya kekerasan yang menimbulkan kematian tersebut. Tentunya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk dunia pendidikan kita saat ini khususnya dan juga para orang tua. Anak-anak kita seakan-akan tidak pernah lepas dari bayang-bayang yang menakutkan. Bahaya yang selalu menjadi “hantu” menakutkan bagi masa depannya karena ulah sang “predator”.
Munculnya kekerasan terhadap anak apa yang melatarbelakangi tentunya angat beragam dan salah satunya dipicu fenomena pornografi. Kekerasan terhadap anak bisa jadi karena berbagai tayangan pornografi yang marak baik di media televisi maupun medsos. Mengapa demikian? Karena jujur harus kita akui pornografi memiliki andil yang cukup signifikan dalam membentuk pola hidup dan perilaku anak-anak atau yang melihatnya. Sebab kita tahu bahwa anak-anak kita masa yang penuh tanda tanya rasa ingin tahunya sangat tinggi (baca: kepo). Rasa penasaran dan rasa ingin mencobanya tinggi sekali.
Kalau dicermati secara etimologi dan bila dirunut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata porno dimaknai cabul. Bila kata porno mendapat tambahan kata grafi menjadi pornografi. Sehingga kata tersebut bermakna: (1), penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi. (2), bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekerasan seks bisa terjadi karena adanya rangsangan yang pada akhirnya berlanjut dalam nafsu yang tidak terkendali.
Menjaga Rasa Aman
Ada beberapa yang perlu dikedepankan dan dicermati agar masalah kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan kematian ini menjadi kajian bersama bukan cacian publik.
Pertama, perlunya ada sikap bijak dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Artinya, perlunya konsistensi sikap pemerintah dan sesegera mungkin adanya kurikulum antipornografi atau juga kekerasan masuk kurikulum di sekolah. Hal ini sebagai jawaban ketegasan pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada anak-anak terhadap mereka. Untuk mendukung itu, upaya memblokir situs porno atau negatif harus selalu dan terus menerus adalah langkah yang mendesak juga. Sebab bagaimanapun langkah ini memberikan citra positif bagi perkembangan moralitas bangsa kita. Langkah tersebut akan lebih efektif lagi manakala masalah pornografi dan kekerasaan ini kalau bisa masuk dalam kurikulum di sekolah dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.
Kedua, lingkungan keluarga dan sekolah adalah tempat kampanye dan sosialisasi yang efektif untuk memutus jaringan pornografi atau pelaku kekerasan terhadap anak. Dengan kata lain, anak-anak atau remaja harus terhindar dari fenomena pecabulan, pornografi dan kekerasan yang berakakibat kematian. Anak-anak harus tetap menjadi pribadi yang utuh bukan selalu dalam bayang-bayang kekerasan dari teman-teman sebayanya atau juga orang dewasa yang memiliki perilaku menyimpang. Dalam kondisi yang demikian, peran guru-guru di sekolah sangat dominan. Guru-guru harus menampilkan sosok yang bisa memberi rasa aman dan juga memotivasi bagi anak-anak untuk mengembangkan diri yang ke arah positif.
Ketiga, regulasi pemerintah tentang tayangan-tayangan yang akan ditampilkan di televisi, baik secara UU Penyiaran maupun Lembaga Sensor Film, harus mampu meminimalisasi tayangan yang tidak bermanfaat bagi pemirsa atau yang berpotensi merusak generasi penerus bangsa. Sebuah kebutuhan yang mendesak apabila guru di sekolah dan orang tua di rumah untuk membekali anak-anak cara mempertahankan diri atau taatkala ancaman datang. Hal ini sebagai sikap antisipasi manakala anak-anak mendapatkan ancaman dapat mengatasi dengan mandiri. Dengan demikian, langkah ini anak-anak k atau generasi kita memiliki fondasi yang kuat terkait karakter yang mereka miliki karena sudah terasah sejak dini.
Pembimbing sejati anak-anak di rumah adalah orang tua sedangan saat di sekolah ada guru. Kalau anak-anak tidak dibimbing langsung oleh orang tua saat melihat tayangan TV atau film atau juga tanyangan yang tidak edukatif niscaya anak-anak akan menelan secara mentah-mentah apa yang mereka tonton. Kalau sudah demikian? Siapa yang harus disalahkan? Tentunya orang tua harus arif. Menyalahkan tehnologi. Misalnya teman sepermainan atau yang mencari-cari alasan lain. Orang tua dan harus selektif terhadap tayangan yang dilihat oleh anak-anak sedangkan guru untuk senantiasa memberikan pencerahan yang inspiratif bagi kehidupan mereka.
Kekerasan terhadap anak bisa diminimalkan di lingkungan kita kalau pemerintah memberikan jaminan dan kepastian hukum yang mendidik bukan memunculkan polemik yang menyesatkan. Jangan sampai ada kesan menyelesaikan masalah kekerasan dengan memunculkan kekerasan. Tentunya menyelesaikan masalah tanpa masalah. Kedepan jangan sampai anak-anak kita menjadi korban kejahatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. karena orang tua, guru dan pemerintah harus memberikan rasa aman pada anak-anak atau generasi kita. Dengan demikian, kelak mereka menjadi orang pribadi yang tetap menjunjung harkat dan martabat kemanusian yang hakiki.

                                                                                                       ————— *** —————-

Rate this article!
Tags: