Memoar Sang Sufi dan Ajarannya

Biografi Sultan Para WaliJudul Buku        : Biografi Sultan Para Wali
Kisah Hidup dan Rampai Pesan yang Menghidupkan Hati
Penulis               : Shalih Ahmad Al-Syami
Penerbit             : Zaman, Jakarta
Cetakan             : Pertama, 2015
Tebal                  : 250 halaman
Peresensi         : Lusiana Dewi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Kebajikan senantiasa digelorakan oleh agama. Agama mengajarkan kebajikan yang bertujuan untuk kebaikan hidup umat manusia. Di sela-sela zaman yang semakin tua, bermunculanlah sosok-sosok yang mengingatkan umat manusia agar berlaku baik di dunia ini. Para nabi dan para pencerah budi pun menyeru kepada kebajikan tersebut.
Hanya saja, Tuhan (secara teologi Islam) tidak lagi mengutus nabi untuk mengingatkan umat manusia. Hanya saja, pada nabi yang terakhir, Nabi Muhammad Saw, Tuhan telah menyempurnakan ajaran kebajikan. Dialah teladan utama umat umat Islam. Salah seorang tokoh yang meneladani kebajikan yang diajarkannya, yang menjadi pencerah budi, yang mengingatkan umat manusia pada kebajikan, adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang sufi ternama yang menyampaikan ajaran kebajikan. Gelarnya adalah sulthan al-auliya’ (sultan para wali) karena dalam tingkatan kesufiannya telah melampaui para sufi sehingga merajai para sufi lainnya. Itulah gelar yang disematkan umat kepadanya.
Buku yang berjudul “Biografi Sultan Para Wali; Kisah Hidup dan Rampai Pesan yang Menghidupkan Hati” ini merupakan memoar dan ajaran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Kisah hidupnya penuh dengan implementasi kebajikan sehingga pesan-pesannya yang dinasihatkan kepada umat manusia pun begitu memesona karena keindahannya.
Dia lahir pada 470 H (1077-1078 M) di Al-Jil (disebut juga Jailan atau Kailan), kini termasuk kawasan Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa dia berusia 18 tahun ketika tiba di Bagdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal, Al-Tamimi, pada 488 H. Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nizhamiah, Bagdad. (hlm. 16).
Salah satu potongan kisah hidupnya yang patut menjadi keteladanan adalah kejujurannya. Semenjak belia, Abdul Qadir sudah menjadi anak yatim. Ibunyalah yang mengasuhnya sampai dia merantau ke berbagai tempat untuk mendatangi ulama dalam rangka menimba ilmu.
Suatu ketika, Abdul Qadir muda hendak berangkat merantau untuk memperdalam keilmuan Islam kepada para ulama. Sebelum berangkat, sang ibu memberikannya bekal berupa empat puluh keping emas yang dijahitkan di bawah lengan mantel yang dipakainya. Sang ibu pun berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap jujur.
Abdul Qadir kemudian berangkat menuju Bagdad bersama kafilah kecil dengan tujuan sama. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok menghadang kafilah tersebut. Mereka merampas semua harta milik anggota kafilah.
Salah seorang perampok pun mendatangi Abdul Qadir dan menanyai apa yang dimilikinya. Karena teringat dengan pesan sang ibu agar senantiasa jujur, maka Abdul Qadir yang ketika itu masih belia menjawab dengan jawaban yang jujur bahwa dia membawa empat puluh keping emas yang dijahitkan di mantel bagian bawah lengan.
Perampok itu tidak percaya dan hanya tertawa, mengira bahwa Abdul Qadir itu tidak berkata serius. Setelah itu, datanglah anggota perampok yang lain dengan pertanyaan yang sama. Maka, Abdul Qadir pun menjawab dengan jawaban yang sama berdasarkan kejujurannya. Sama seperti anggota perampok pertama, anggota perampok kedua itu tertawa dan mengira Abdul Qadir tidak berkata serius.
Pemimpin dari sekawanan perampok itu pun mendatanginya dan bertanya sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh kedua perampok sebelumnya. Dengan kejujuran pula Abdul Qadir menjawab pertanyaan tersebut. Maka, pemimpin perampok itu memeriksanya dan benarlah bahwa dia membawa empat puluh keping emas.
Pemimpin perampok itu pun bertanya kepada Abdul Qadir mengapa mengatakan dengan jujur, padahal hartanya itu tersimpan secara aman. Abdul Qadir hanya menjawab bahwa dia harus berkata jujur sebagaimana yang diwasiatkan oleh sang ibu. Sejurus kemudian, hal itu menyentuh sanubari perampok sehingga dia tersungkur sambil menangis. Pemimpin perampok itu pun bertobat dan tobatnya diikuti oleh seluruh anggota perampok lainnya. (hlm. 18-19).
Dari sifatnya saja sudah terlihat keteladanan yang mulia. Sementara itu, ketika dia telah menjadi seorang ulama sekaligus sufi terkenal, banyak murid yang berdatangan untuk menimba ilmu kepadanya. Dia mengajarkan banyak keilmuan Islam dan yang paling menonjol adalah akidah dan tasawuf. Salah satu ajarannya yang indah adalah terkait kebersihan hati.
Hati ibarat biji yang dihamparkan di halaman rumah yang tidak beratap tetapi mempunyai empat dinding yang berdiri kukuh di sekitarnya. Hujan lebat mengguyurnya di musim penghujan dan sinar mentari menerpanya di musim panas. Ia tumbuh sempurna, tetapi tak seorang pun mengetahuinya. Ketika dahan dan daun pohon ini telah mencuat menampakkan diri, ketika pohon ini telah tinggi dan bahkan buahnya telah matang, orang-orang ingin memetik buah dari pohon tersebut tetapi mereka tidak menemukan jalan mendekatinya. Demikianlah hati. (hlm. 134-135).
Seorang sufi sejati itu membersihkan hatinya dari selain Tuhannya, dan ini tidak akan terjadi hanya dengan bergantinya pakaian, menguningnya muka, merapatnya bahu, menyebut-nyebut orang saleh, dan memutar tasbih dalam bertahlil. Akan tetapi, ini akan tercapai dengan tulus mencari kebenaran, zuhud terhadap dunia, dan membersihkan hati dari makhluk. (hlm. 202-203). Nama besar Syekh Abdul Qadir Al-Jailani kini harum dan dikenang oleh banyak orang. Sementara itu, buku setelah 250 halaman ini merangkum secara indah memoar sang sufi dan menguraikan berbagai ajarannya tentang kebajikan yang patut untuk diamalkan oleh umat manusia guna meraih derajat kebaikan yang tinggi.

                                                                                                        ——————- *** ——————

Rate this article!
Tags: