Memotret Realita Buta Aksara dalam Sosio Drama

Kabid PNFI Dindik Jatim Nasor SH,MM didampingi Kasie Dikmas Ninik Astuti Dewantari menyerahkan trophy juara kepada para pemenang lomba keberaksaraan tingkat Provinsi Jatim.

Kabid PNFI Dindik Jatim Nasor SH,MM didampingi Kasie Dikmas Ninik Astuti Dewantari menyerahkan trophy juara kepada para pemenang lomba keberaksaraan tingkat Provinsi Jatim.

Lima Daerah Juarai Lomba Keberaksaraan Jatim
Pemprov, Bhirawa
Menyelesaikan persoalan buta aksara bukan perkara gampang. Karena masyarakat tuna aksara, tak selalu sadar akan kebutuhan yang harus dicukupinya. Itu sebabnya, berbagai upaya harus dilakukan untuk menggugah kesadaran warga belajar sehingga memahami pentingnya aksara.
Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim melalui Lomba Keberaksaraan tingkat provinsi ingin membangun kesadaran itu. Para kontingen dari sejumlah daerah saling antusias menampilkan sosiodrama bertajuk keaksaraan. Pesan-pesan moral pun tersirat dari adegan demi adegan.
“Seperti halnya pendidikan secara umum, warga belajar keaksaraan juga harus memiliki keterampilan dan sikap yang baik. Dari lomba ini, selain pesan-pesan yang dimunculkan, kita juga ingin memberi ruang terhadap keterampilan diri mereka,” jelas Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman, Kamis (11/8).
Saiful menerangkan, pendidikan keaksaraan dalam payung pendidikan non formal merupakan alternatif yang tepat untuk mencapai tujuan Education For All (EFA). Gerakan yang sudah berlangsung sejak 16 tahun lalu bertujuan agar setiap warga negara bisa mendapatkan haknya terhadap layanan pendidikan.
“Kami berharap hal ini bisa ditangkap serius oleh seluruh elemen, baik pemerintah maupun masyarakat,” tutur mantan Kepala Badan Diklat Jatim ini.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Nasor SH, MM menuturkan, tahun ini keikutsertaan lomba keberaksaraan tidak sebanyak tahun lalu. Dari 38 kabupaten/kota yang diundang, hanya 15 diantara yang hadir. Bukan karena minat yang minim, ini justru menunjukkan keberhasilan program buta aksara di Jatim. “Jumlah penyandang tuna aksara semakin minim. Dan seharusnya memang seperti itu,” tutur Nasor.
Dia menyebutkan, kantong-kantong buta aksara di Jatim hanya tersisa 12 kabupaten. Diantaranya ialah Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Selain itu, empat kabupaten di Madura juga masih menjadi wilayah dengan angka buta aksara yang tinggi. “Penurunan angka buta aksara di Jatim sudah cukup signifikan. Namun hal ini tetap harus terus digiatkan hingga mencapai target Jatim bebas buta aksara,” tutur Nasor.
Dalam kesempatan itu, tim dari Yayasan Miftahul Huda Kabupaten Ngawi sukses meraih juara satu lomba keberaksaraan Jatim. Kodir sebagai pembimbing tim mengutarakan kegembiraannya meraih prestasi tersebut. Hal ini akan menjadi penyemangat bagi dia dan para tutor untuk lebih giat membina warga belajar. “Tahun lalu kita membina 200 warga belajar yang terbadi dalam 20 kelompok,” kata dia.
Kodir mengakui, membina warga buta aksara tidaklah pekerjaan ringan. Populasi buta aksara yang didominasi pada usia diatas 30 tahun menjadi tantangan tersendiri. Karena belajar membaca dan menulis terlihat seperti pekerjaan remeh temeh. “Bahkan seringkali kita yang harus menjemput mereka untuk belajar,” kata Kodir.
Dalam sosio drama yang ditampilkannya, Kodir mengangkat tema tentang pengantin galau. Singkat cerita, ada seorang pasangan yang akan melangsungkan pernikahan namun dibatalkan karena tidak bisa membaca dan menulis. “Sampai akhirnya datanglah seorang tutor yang dengan senang hati mengajari pasangan itu,” cerita Kodir.
Selain Ngawi, daerah yang berhasil mendapatkan juara ialah PKBM Wijaya Kusuma Pasuruan, PKBM Mahayana Lamongan, PKBM Kartini Probolinggo, PKBM Budi Utomo Lumajang dan PKBM Harapan Jaya Nganjuk.

Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman
Belajar Aksara Agar Berdaya
Tujuan akhir dari terlaksananya program pendidikan keaksaraan sejatinya bukan hanya warga bisa membaca dan menulis. Lebih dari itu, pendidikan keaksaraan adalah salah usaha untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan.
“Karena itu, yang paling penting dari pendidikan keaksaraan bukanlah warga bisa membaca dan menulis. Mereka juga harus diberdayakan secara ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraannya,” tutur Kepala Dinas Pendidikan Jatim Dr Saiful Rachman.

Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Nasor SH, MM
Tetap Optimal Meski Bukan Penentu IPM
Kendati bukan lagi menjadi indikator pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), program pendidikan keaksaraan tetap harus dilaksanakan karena menyangkut hak dasar masyarakat. Khususnya di daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong buta aksara.
“IPM saat ini diukur menggunakan indikator rata-rata lama sekolah. Kendati demikian, keaksaraan harus berlanjut karena mayoritas penyandangnya adalah perempuan dan keluarga tidak mampu,” ungkap Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Nasor, SH, MM. [tam]

Tags: