Memperbaiki Kualitas Garam

garamIMPOR garam masih tetap dilakukan pemerintah, konon disebabkan produksi lokal tahun 2014 tidak mencukupi. Kondisi angin basah dapat mencairkan buih-buih, sehingga potensi garam tidak menjadi “tua.” Ini akan mengancam produksi garam di Madura tidak bisa memenuhi target. Padahal hingga kini masih tersimpan ribuan ton, karena tidak terserap pasar. Lebih lagi, garam lokal selalu dihargai sangat murah, karena tidak layak konsumsi.
Garam merupakan bahan pangan strategis, untuk konsumsi maupun industri. Tetapi data stok garam antara petambak dengan catatan pemerintah selalu beda. Petambak garam menuding terdapat laporan palsu yang dibuat oleh sindikat pedagang. Termasuk dengan alibi cuaca ekstrem yang berpengaruh pada produksi.   Sehingga pemerintah selalu impor garam. Tahun ini target produksi garam di Sumenep yang ditaksir sebanyak 295 ribu ton, nyaris mustahil bisa dipenuhi.
Pada panen terbaik (Agustus-September tahun 2012 lalu), produksinya cuma  222 ribu ton. Karena itu  diperkirakan realisasi produksi garam hanya sekitar separuh dari target (menjadi 150-an ribu ton). Berdasar paradigma suplai dan ketersediaan, kelangkaan garam seharusnya bisa meningkatkan harga. Namun kenyataannya malah berbeda.
Saat ini harga garam rakyat di pasaran hanya sebesar Rp 25.000,- per-karung (isi 100 kilogram). Seharusnya (sesuai Ketetapan pemerintah) seharga Rp 550,-. Sedangkan untuk garam berkualitas terbaik harganya Rp 500,- (seharusnya Rp 750,-). Padahal dulu  harga garam setara dengan harga gula. Mengapa harga garam terus merosot? Konon disebabkan pola produksi dan jumlahnya yang melimpah.
Selain itu garam rakyat tidak bisa langsung dikonsumsi, melainkan harus melalui tambahan proses pembersihan dan pemutihan. Nah, pada saat proses tambahan itulah volume garam mengalami penyusutan. Sehingga ketersediaan garam tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional. Dus, pemerintah mengimpor garam dari India dan Australia.
Padahal sesungguhnya saat ini masih terdapat cadangan sebanyak 270 ribu ton (di Madura), di gudang maupun gundukan-gundukan yang berjejer di tepi tambak. Perbedaan stok garam menyebabkan DPRD (Komisi B) Jawa Timur melakukan sidak di dermaga Zamrud, Tanjung Perak. Ternyata impornya legal. Namun terdapat perbedaan (kelebihan) sebanyak 5.000 ton garam.
Produk garam dari 40 kabupaten dan kota (di 10 propinsi) seluruh Indonesia, tahun 2014 ditaksir sebanyak 1,1 juta ton. Untuk kebutuhan konsumsi (rata-rata selama 5 tahun terakhir 1,4 juta ton) masih kurang sekitar 300 ribu ton. Tetapi pemerintah mengimpor garam konsumsi sampai 500 ribu ton. Bahkan pemerintah juga mengimpor garam untuk industri sebanyak 1,6 juta ton. Jadi total impor mencapai 2,1 juta ton. Maka tidak dimengerti benar, mengapa pemerintah memilih impor.
Terdapat selisih harga Rp 100,- per-kilogram, antara garam rakyat kualitas baik Rp 500,-) dengan garam impor untuk industri (Rp 400,-). Pada volume sebanyak 2,1 juta ton akan terdapat selisih sebesar Rp 210 milyar. Tetapi konon, pemerintah juga tak ingin untung sendiri dengan selisih (Rp 210 milyar) itu. Pada saat yang sama pemerintah (Kementerian Kelautan) menggulirkan program “Pugar” (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat), berupa hibah sebesar Rp 107 milyar.
Juga ada bantuan fasilitasi sebesar Rp 83 milyar untuk pembelian sarana produksi kincir dan pompa air yang diberikan kepada 28 ribu petambak garam. Problemnya adalah, benarkah Indonesia kekurangan garam? Seharusnya hal itu tidak terjadi. Karena Indonesi memiliki catatan produksi garam terbesar ketiga di dunia. Seyogianya pemerintah meningkatkan kualitas garam rakyat bisa menjadi garam industri (dan obat-obatan).
Perlu dibangun pabrik khusus untuk pemutihan dan pembersihan di sentra-sentra garam rakyat. Dan bukankah Pemprop Jawa Timur telah melarang impor garam sejak tahun 2012?

                                                   —————   000   —————

Rate this article!
Tags: