Memperbaiki Kualitas Layanan, Memenangkan Publik

Oleh :
Achmad Azmi Musyadad
Penulis adalah Asisten Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur

Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Jawa Timur melakukan kompilasi data. Hasil kompilasi itu berbentuk laporan dan outlook, bahwa di tahun 2016 telah menerima sejumlah 345 pengaduan masyarakat. Dari jumlah itu, instansi yang sering menjadi terlapor adalah Pemerintah Kota/Kabupaten dengan jumlah 75 pengaduan, sedangkan substansi pengaduan yang paling sering masuk adalah Pertanahan dengan 80 pengaduan. Pengaduan masyarakat yang masuk ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur tidak lantas seluruhnya menjadi kewenangan, sehingga dari sejumlah pengaduan yang masuk, 58 diantaranya telah diselesaikan. Dari jumlah yang telah diselesaikan itu, Pejabat atau instansi yang tidak bersedia memenuhi permintaan dan atau melaksanakan rekomendasisebanyak 20 laporan, sedangkan Pejabat atau instansi yang tidak bersedia atau lalai melakukan pemeriksaan terhadap pejabat yang dilaporkan serta tidak mengambil tindakan administratif, atau tindakan hukum terhadap pejabat yang terbukti bersalah sejumlah 15 laporan.
Hasil kompilasi data itu seolah menampilkan sebuah tragedi tentang terkikisnya komitmen kuat dari masing-masing aktor pemegang kebijakan dalam mendorong perbaikan kualitas layanan publik. Kondisi demikian, memposisikan Ombudsman seolah menjadi “petarung tunggal” dalam mengawal layanan yang sungguh-sungguh untuk kepentingan publik.
Urgensitas Orientasi Aktor
Kualitas layanan publik bersifat dinamis, maka proses evaluasi dan perumusan pembenahan tentu menjadi sesuatu yang inheren dalam peningkatan sebuah layanan publik. Dalam konteks itu, maka layanan publik sebenarnya tidak bisa sekedar “menopang dagu” lewat komitmen tunggal pengawasan Ombudsman, melainkan sinergi dari banyak elemen, yakni masyarakat selaku pengguna layanan dan instansi penyelenggara layanan. Sinergi itu sepadu dengan Long & Long (1992) yang menyebutkan bahwa, perumusan kebijakan publik untuk perbaikan sebuah layanan harus bersifat partisipatif, maka interaksi aktor berlangsung secara setara, intersif dan interface.
Model inilah yang oleh penulis sebut sebagai model orientasi aktor.
Kualitas orientasi masing-masing aktor sangat berpengaruh terhadap proses perbaikan kualitas pelayanan publik. Interaksi Orientasi yang intensif antar aktor dalam proses perbaikan layanan publik ternyata mampu menumbuhkan pola sikap yang akomodatif sehingga dapat mendukung perbaikan kualitas secara partisipatif. Kehadiran Ombudsman menjadi katalisator bagi orientasi aktor pengguna layanan, hal ini ditandai dengan semakin kuatnya kelembagaan masyarakat sehingga mampu meningkatkan bargaining dengan aktor penyelenggara layanan publik, salah satu misalnya, dalam bentuk lebih aktif untuk melaporkan segala tindak maladministratif kepada Ombudsman. Namun, merujuk pada data awal tulisan ini, derasnya tingkat laporan yang masuk itu, tidak linear dengan orientasi aktor penyelenggara layanan publik terkait kesediaannya untuk mengafirmasi dan mengimplementasi rekomendasi yang telah diberikan oleh Ombudsman.
Model Orientasi Aktor  yang timpang seperti ini harus melihat beberapa hal penting. Pertama, agenda setting dan problem definition sebagai bagian dari pembenahan kualitas pelayanan publik. Tahapan ini untuk memahami dan mengakomodasi eksistensi orientasi dan masalah masing-masing aktor sehingga diperoleh desain perbaikan layanan publik yang merupakan perwujudan dari kepentingan semua aktor yang berinteraksi. Agenda Setting danProblem definition menjadi takaran tentang menyamakan persepsi masing-masing orientasi aktor, sehingga Aktor pengguna layanan mendapat keleluasaan memberikan masukan atas masalah suatu layanan publik tanpa intervensi, sedangkan aktor penyelenggara layanan tidak bersikap apologetik dengan menguatkan ortodoksi keengganan berbenah.
Kedua, perpaduan dari kepentingan publik yang didialogkan, akan menentukan karakteristik pelayanan publik untuk dibenahi. Artinya, masing-masing aktor memiliki standar yang berbeda tentang desain terbaik pelayanan publik, ini harus memposisikan masing-masing aktor bersikap intersif dan interface untuk melakukan pembenahan secara dialogis, hingga menemukan kesepahaman bersama.
Ketiga, kualitas akomodasi dan partisipasi keseluruhan proses perumusan perbaikan kualitas pelayanan publik, akan mempengaruhi penerimaan stakeholder pada tahapan policy legitimation, disamping perlunya komitmen yang kuat di antara stakeholder. Dalam konteks ini, akomodasi terhadap hasil masukan dan keluhan masyarakat yang termanifestasi dalam bentuk Rekomendasi Ombudsman tidak hanya sebatas kertas usang tanpa tindak lanjut, namun munculnya kesungguhan secara konsisten lewat orientasi aktor penyelenggara publik, untuk menjalankannya.
Ketiga proposisi itu menunjukkan kondisi yang kontinum diantara masing-masing aktor, bahwa partisipasi yang tinggi dari aktor pengguna layanan harus dibarengi dengan komitmen kuat dari aktor penyelenggara layanan untuk berbenah. Ombudsman sebagai pengawas, pada akhirnya tidak menjadi “petarung tunggal” dalam upaya membenahi sengkarut pelayanan publik, sehingga perbaikan kualitas pelayanan publik benar-benar terwujud dengan baik
Memenangkan Publik
Ombudsman telah berumur 17 tahun, tepat pada Bulan Maret 2017 ini, itu menandakan usia yang tidak lagi muda. Rentang panjang perjalanannya itu, Ombudsman menapaki jalan “Tritunggal” prinsip perbaikan pelayanan publik yakni dengan mediasi/konsiliasi, investigasi dan adjudikasi. Dorongan perbaikan lewat jalan itu harus terus dilakukan agar perbaikan kualitas dibentuk lewat jalan partisipatif.
Perbaikan kualitas layanan publik dengan jalan partisipatif, dipersyaratkan untuk mempersiapkan pembenahan melalui prakondisi dengan jalan memahami eksistensi orientasi masing-masing aktor yang berinteraksi agar setara dan mampu memahami kepentingan masing-masing fihak. Oleh karena itu interaksi intensif baik interface maupun melalui mediator penting dilakukan agar terjadi proses saling mengenal dan bargaining antar kepentingan masing-masing, disinilah Ombudsman mengambil peran lewat jalan mediasi. Dampaknya kemudian diharapkan terjadi posisi tawar (bargaining) antar aktor yang setara dan peluang pergeseran orientasi kearah yang lebih partisipatif, demokratis dan peduli terhadap pembenahan kualitas layanan publik dari masing-masing aktor yang terlibat.
Kondisi yang partisipatif, terbuka dan demokratis juga dapat mendorong eksistensi kepentingan antar aktor dalam upaya perbaikan kualitas layanan publik bergeser dari individualistik ke arah unitaristik. Pergeseran ini terjadi karena mekanisme dialogis, serta mekanisme mediasi merupakan arena pertemuan di antara orientasi antar aktor, dengan segala kepentingannya, sehingga orientasi kepentingan publik penyelenggara layanan yang tadinya bersifat individualistik, karena tekanan dan partisipasi masyarakat yang ditampilkan dalam laporan dan pengaduan lewat Ombudsman menyebabkan orientasi kepentingan publik pemerintah mengarah kepada model unitaristik. Disinilah, pada akhirnya perbaikan kualitas layanan publik tidak lagi imparsial dengan memposisikan birokrat sebagai panglima, namun memenangkan hati publik.

                                                                                             ————— *** ——————

Tags: