Mempercepat Diversifikasi Industri Berbasis Tebu

Industri gula ke depan tidak cukup hanya berorientasi peningkatan produktivitas gula semata, melainkan juga harus melakukan diversifikasi untuk mengoptimalkan semua potensi tebu yang berujung pada peningkatan daya saing (competitiveness).

Industri gula ke depan tidak cukup hanya berorientasi peningkatan produktivitas gula semata, melainkan juga harus melakukan diversifikasi untuk mengoptimalkan semua potensi tebu yang berujung pada peningkatan daya saing (competitiveness).

Membaca Masa Depan Industri Gula di Tanah Air — (1 – bersambung)

Pernah menjadi penghasil gula terbesar nomor dua di bawah Kuba tahun 1930-an, kini Indonesia berbalik menjadi negara pengimpor gula terbesar. Ekspor gula sudah terhenti sejak 1966. Sejak pertama kali melakukan impor sebesar 33 ton di tahun 1967, laju impor gula kian kencang. Lantas, masih adakah harapan untuk mengembalikan kejayaan industri gula di tanah air ?

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

Di masa jayanya, jumlah pabrik yang beroperasi di negeri ini sebanyak 179 pabrik gula (PG) dengan produksi puncak mencapai 3 juta ton dan ekspor gula mencapai 2,4 juta ton. Kini industri gula dalam negeri hanya didukung oleh 60 PG (43 milik BUMN dan 17 milik swasta). Dan jumlah ini perlahan semakin berkurang jumlah pabrik berikut volume produksinya.
Pengamat industri dari Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya Dr Iwan Vanany menilai industri gula di tanah air saat ini memang memasuki fase sunset. Mesin-mesin yang sudah berumur di atas 80 tahun menyebabkan kinerja PG tidak maksimal. Mesin yang bocor membuat nilai rendemen merosot jadi hanya 6-7%. Padahal, jika kondisi mesin memadai, bisa mencapai 14-15%. Belum lagi ancaman penyakit dan varietas tebu yang produksinya rendah.
“Padahal, di masa lampau, negeri ini punya Pusat Penelitian Perkebunan Gula di Pasuruan yang menjadi Mekkah-nya industri gula dunia,” kenang Iwan. Menurut Iwan,  Lembaga ini bahkan pernah menyelamatkan krisis gula dunia lewat penemuan varietas POJ 2878, yang sering disebut tebu ajaib, berkat tingkat produksinya yang tinggi dan tahan penyakit sereh. Kini, lembaga penelitian ini nasibnya nyaris bak pepatah ‘hidup segan, mati tak mau’, karena miskin peneliti dan kehilangan suntikan dana.
Tetapi lanjut Iwan, perubahan paling fundamental pada industri gula terjadi setelah International Monetary Fund (IMF) berhasil mendesak pemerintah Indonesia untuk meneken dokumen Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP). Dokumen yang populer dengan nama letter of intent itu diteken di tahun 1998 disebutkan kewajiban pemerintah membebaskan tata niaga pertanian, termasuk gula, mulai Januari 1998.
“Gula impor pun membanjir. Dalam waktu singkat, benteng pertahanan petani tebu dan PG jebol. Petani tebu banyak beralih ke usaha tani lain, sementara PG satu per satu bertumbangan,” tutur Iwan  sambil geleng-geleng kepala.  Perusahaan-perusahaan gula multinasional, yang didukung oleh otoritas pemerintah di negara asalnya dan lembaga-lembaga internasional, meraup keuntungan terbesar.
Menurut Iwan, produksi gula di Indonesia hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara gula untuk kebutuhan industri masih harus diimpor. Lebih jauh, kapasitas giling seluruh pabrik gula di Indonesia masih kecil dari kebutuhan.
Dikonfirmasi terpisah, praktisi perbankan Araminta Setyawati ? yang juga Office of Chief Economist at PT Bank Mandiri menilai produksi pabrik gula saat ini, baik perusahaan pelat merah ataupun swasta belum mencapai titik maksimal. Sehingga, diperlukan pengembangan pabrik gula dan lahan tebu baru di berbagai wilayah. Namun, untuk pembangunan pabrik gula baru dan ekstensifikasi lahan menurut Araminta paling tidak ada lima permasalahan yang dihadapi. Pertama, sulitnya mendapatkan lahan yang cocok dengan agroklimat tebu. Misalnya, topografinya datar, iklimnya enam bulan basah untuk pertumbuhan tanaman tebu, dan enam bulan kering untuk pembentukan gula. Kedua, untuk satu unit pabrik gula dengan kapasitas 10 ribu TCD (ton tebu per hari) membutuhkan areal perkebunan tebu cukup besar yaitu sekitar 20 ribu ha.
Ketiga, sesuai Peraturan Presiden No.36 tahun 2010, pendirian pabrik gula baru harus terpadu dengan perkebunan tebu, dimana perkembangan perkebunan tebu baru membutuhkan waktu cukup lama yaitu sekitar 4 sampai 5 tahun dan pembangunan pabrik membutuhkan waktu 2 tahun. Keempat, dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk kapasitas giling 10 ribu TCD yaitu sekitar Rp 1,5 triliun sampai Rp 2 triliun dan waktu pengembalian investasinya cukup lama yaitu sekitar 8 sampai 10 tahun. Terakhir, risiko cukup tinggi antara lain penyakit tanaman tebu, anomali iklim dan tidak adanya jaminan harga.
Menurut Araminta untuk menyelesaikan permasalahan tersebut terdapat beberapa cara. Di antaranya adalah pertama, penyediaan lahan yang clear dan clean. Kedua, untuk investor yang akan membangun perkebunan tebu dan pabrik gula baru, lebih diutamakan kepada pemilik pabrik gula rafinasi. Ketiga, pemerintah wajib menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan di daerah pengembangan industri gula baru, seperti di pulau Aru dan pulau Seram. Terakhir, pemberian insentif berupa tax allowance atau tax holiday.
Dorong Diversifikasi Usaha
Secara khusus Araminta menyarankan agar industri gula menggeser paradigma dengan mewujudkan diversifikasi usaha.
“Diversifikasi dengan menggarap produk non-gula dinilai bisa menjadi penyelamat bagi industri yang telah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun silam itu. Selain itu, diversifikasi mendesak dilakukan untuk mengurangi risiko produksi di bisnis tebu,” jelas Araminta.
Tebu jelas Araminta, sebagai bahan baku pembuatan gula, sejatinya adalah tanaman multiguna. Komoditas ini bukan hanya bisa menghasilkan gula semata. Dalam proses produksi menjadi gula, limbah-limbah yang dihasilkan bisa diolah menjadi produk dengan nilai ekonomi tinggi, mulai dari bioetanol hingga pembangkit listrik. Diversifikasi mendesak dilakukan untuk mengurangi risiko produksi di bisnis tebu.
“Saat ini biaya produksi terus meningkat seiring dengan kenaikan upah tenaga kerja dan ongkos tebang-angkut tebu. Biaya bahan kimia untuk proses produksi juga tidak pernah turun. Di sisi lain, harga gula dunia sangat berfluktuatif dan tidak bisa tinggi karena diintervensi pemerintah. Inilah pentingnya diversifikasi,” ujarnya lagi.
Diversifikasi, kata Araminta, juga telah menjadi tren global semua produsen gula di dunia. Tidak ada negara produsen gula utama di dunia ini yang tak melakukan hilirasi produk non-gula.
“India, Brasil, Thailand, dan negara-negara produsen gula lain sudah diversifikasi semua. Kita masih ketinggalan,” katanya lagi.
Dia mencontohkan di India yang merupakan produsen gula terbesar kedua di dunia dengan produksi lebih dari 25 juta ton per tahun. Industri gula adalah industri berbasis agro terbesar kedua di India. Industri gula di sana melibatkan sedikitnya 50 juta petani. Di negara tersebut, sudah banyak PG yang didesain secara terintegrasi. Banyak PG berkapasitas menengah kisaran 4.500 ton tebu per hari (TCD) telah terintegrasi dengan produksi koproduk, terutama co-generation (memproduksi listrik) dan bioetanol. Brasil sukses mengembangkan bioetanol sebagai produk turunan tebu.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono. Menurut Subiyono, industri gula ke depan tidak boleh hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas gula semata, melainkan harus bersandar pada konsep keberlanjutan (sustainability). Keberlanjutan yang dimaksud adalah pada upaya mengoptimalkan semua potensi tebu yang berujung pada peningkatan daya saing (competitiveness).
“Keberlanjutan harus diwujudkan dengan menggarap diversifikasi usaha nongula secara serius, seperti listrik dari ampas tebu maupun bioetanol dari tetes tebu,” jelas Subiyono yang tak lain juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Subiyono mengatakan, tidak hanya di Indonesia, di berbagai negara, biaya produksi gula terus meningkat dan di sisi lain harga gula berfluktuatif.
Saat harga gula tinggi, produsen tak mengalami masalah. Namun, saat harga gula rendah, produsen gula kelimpungan karena biaya produksi tak kenal kata menurun. Yang membedakan Indonesia dan negara produsen lain adalah kesiapan melakukan diversifikasi usaha. Saat harga gula rendah, industri gula di Brasil, Thailand, atau India bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena mengandalkan pendapatan dari diversifikasi usaha non-gula, mulai dari listrik sampai bioetanol. (bersambung)

                                                                                                         ——————– *** ———————

Tags: