Mempercepat Redistribusi Hak Politik Perempuan

wahyuksnKeterwakilan Perempuan di Pemilu 2014
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Mulai Minggu (16/3) kemarin, secara formal masa kampanye Pemilihan Legislatif 2014 dimulai. Publik bisa  melihat bagaimana partai politik dan calon legislatif (caleg)nya akan menjajakan dirinya sehingga mampu meraih simpati publik untuk selanjutnya memberikan suaranya pada 9 April 2014 mendatang. Dalam masa kampanye ini, publik juga bisa melihat bagaimana para caleg perempuan akan berkampanye untuk meraup suara sekaligus bersaing dengan caleg laki-laki. Publik juga akan melihat apakah partai politik juga memberi dukungan dan dorongan kepada caleg perempuan untuk bisa meraih tiket menuju lembaga parlemen baik di pusat maupun di daerah.
Dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, proses penyusunan daftar calon legislator (caleg) dalam Pemilu 2014 terasa lebih longgar bagi perempuan. KPU menerapkan ketentuan undang-undang yang menyebutkan, daftar bakal calon yang diajukan parpol paling sedikit memuat 30 persen keterwakilan perempuan. Sanksinya, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU, jika ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol itu dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah mengabulkan gugatan aktivis perempuan dan pemilu terkait Pasal 215 Huruf b Undang-Undang  No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Rabu (12/3).
Dalam salinan putusan MK dengan nomor pemohon 20/PUU-XI/2013 mengganti kata mempertimbangkan menjadi kata mengutamakan. Selanjutnya, MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengutamakan calon legislator (Caleg) perempuan jika perolehan suaranya sama dengan caleg laki-laki. Singkatnya, putusan MK ini semakin  menguatkan KPU dalam kebijakan affirmative action.
Namun persoalannya adalah apakah partai politik dalam hal pemenuhan kuota 30 persen bagi perempuan itu benar-benar didasari oleh keinginan untuk mendorong perempuan masuk parlemen ataukah sekadar memenuhi syarat formalitas KPU saja. Pertanyaan ini relevan disampaikan dengan melihat kualitas caleg perempuan yang dimasukkan cenderung apa adanya. Nyaris tidak banyak menampilkan figur-figur hebat yang mampu memantik harapan perubahan nasib bagi perempuan.
Sebagai indikasi lembaga politik atau partai politik belum melihat dari segi kualitas dalam merekrut para kader untuk jadi caleg, banyak parpol-parpol yang tidak mempertimbangkan latar belakang pendidikan, ‘track record’ dalam dunia organisasi, serta kemampuan lain dalam merekrut perempuan menjadi calon anggota legislatif. Sebab, partai hanya membutuhkan syarat formal agar bisa diterima oleh KPU untuk pemenuhan kuota 30 persen keterwwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif pada Pemilu 2014.
Bagaimana nanti bisa memperjuangkan hak-hak perempuan di parlemen atau memahami dan membedah APBD, jika mereka tidak mengetahui masalah itu. Oleh sebab itu, publik sungguh berharap partai politik berperan secara aktif untuk memberikan bimbingan, pembinaan, pelatihan bagi para kader perempuan terhadap peran dan fungsi dan tugas perempuan jika terjun dalam dunia politik. Utamanya dalam upaya memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini masih menjadi ‘tema utama’ karena perempuan diidentikan dengan kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan rendah, TKI yang teraniaya, serta menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lebih penting lagi, jika sudah banyak perempuan yang duduk menjadi anggota legislatif, apalagi ditunjang dengan kemampuan atau kualitas yang bagus, akan bisa mendorong dalam membuat regulasi-regulasi baik di pusat maupun di daerah yang bisa memperkuat posisi dan peranan perempaun, baik dalam pembangunan bangsa maupun dalam keluarganya.
Bukan Sekadar Ada
Kini, di tengah upayanya untuk memanfaatkan keran yang telah dibuka KPU, para caleg perempuan juga harus menyiapkan strategi, program dan jargon yang relevan. Tiap caleg harus mengukur kelebihan dan kekurangan dirinya dibandingkan caleg lain; harus memonitor peluang, tantangan atau ancaman yang mungkin bakal dihadapi. Misalnya, apa isu yang bakal laku dijual? Isu apa yang berkembang di masyarakat yang perlu dikritisi dengan pikiran yang jernih, konseptual, visioner, aspiratif, dan komunikatif? Semuanya itu harus terprogramkan didasarkan analisis yang berkualitas.
Mustahil dicapai hasil yang optimal jika strategi dan program itu hanya dilancarkan dalam masa kampanye. Seorang kader yang disiapkan dan yang menyiapkan diri menjadi caleg seyogianya sudah harus ”berkampanye” jauh sebelum kampanye yang sebenarnya tiba. Tantangan berikutnya adalah  masih relevankah para caleg perempuan mengandalkan jargon politik, sebagaimana menjelang pemilu-pemilu sebelumnya bahwa perempuan lebih santun, lebih lembut, dan lebih antikorupsi dibandingkan laki-laki? Jargon itu dimunculkan mengingat lembaga legislatif yang didominasi laki-laki saat itu dinilai kurang berkualitas akibat perilaku anggotanya yang arogan, tidak etis, dan korup. Keraguan terhadap keampuhan jargon itu muncul, sebab dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini terungkap kian banyak pula legislator dan public figure perempuan yang berperilaku tidak etis seperti terlibat dalam kasus kawin-cerai, perselingkuhan, dan terlibat dalam berbagai kasus pidana seperti kasus korupsi, pencucian uang, dan tindak kekerasan.
Banyak-sedikitnya perempuan menjadi caleg, menggambarkan banyak-sedikitnya perempuan yang aktif dalam kiprah politik paktis. Tetapi, seberapa banyak pengurus parpol dari kalangan perempuan sekarang ini? Analog dengan ketentuan UU nomor 8 tahun 2012, sudahkah parpol mengubah AD/ART-nya yang memungkinkan minimal 30% perempuan duduk sebagai pengurus?
Pola pikir instan ini sering mengabaikan kenyataan bahwa sebagian mereka populer namanya berkat perilakunya yang negatif seperti jago kawin-cerai atau jago kawin siri yang biasanya diawali perselingkuhan dan zina. Tanpa adanya penataan menyeluruh untuk mengatasi masalah kelangkaan kader yang mumpuni, tampilnya lembaga legislatif yang lebih berkualitas, yang bersih dari tindak pelanggaran etika dan hukum, akan tetap menjadi impian bangsa ini, dan tiap menjelang pemilu akan selalu muncul pola pikir instan serupa.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah caleg-caleg perempuan itu punya kompetensi atau kemampuan menjadi politikus? Pertanyaan ini penting di tengah-tengah persoalan bangsa yang semakin berat. Di sisi lain, tuntutan masyarakat semakin besar terhadap lembaga DPR. Sehingga hadirnya caleg perempuan  dalam lembaga DPR tidak bisa lagi hanya karena popularitas dan memiliki penggemar yang cukup banyak. Publik tidak ingin para caleg perempuan hanya dijadikan ‘ikan hias dalam akuarium’ DPR.
Pemilu menjadi ajang penentuan apakah kehidupan demokrasi di Indonesia akan semakin baik atau malah tambah buruk. Demokrasi merupakan kedaulatan rakyat bukan panggung sandiwara atau sinetron. Untuk itu dibutuhkan keseriusan semua komponen bangsa untuk memilih wakilnya di parlemen. Karena itu disamping terus mendorong agar keterwakilan perempuan di parlemen meningkat, kehadiran caleg perempuan tetaplah juga harus dikritisi. Publik tentu ingin caleg perempuan yang tampil di parlemen nanti adalah perempuan yang memiliki pengetahuan politik yang cukup baik, memiliki dedikasi yang tinggi terhadap kepentingan rakyat. Singkatnya, untuk menjadi anggota legislatif termasuk perempuan, tetaplah harus memenuhi aspek kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, dan moralitas.
Peningkatan jumlah 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen sejatinya bukan sekadar memenuhi ketentuan peraturan perundangan melainkan upaya untuk mempercepat redistribusi hak politik perempuan yang berdampak reflikasi dalam mengatasi ketertinggalan perempuan di berbagai bidang pembangunan politik, ekonomi dan hukum serta bidang lainnya. Melainkan percepatan redistribusi hak politik perempuan sangat strategis untuk mendorong percepatan kemajuan dibidang lainnya, sehingga dapat memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan gender yang inklusif yang ditandai dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) guna mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lainnya.
Di tengah masih sedikitnya para perempuan Indonesia yang terjun di dunia politik -baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif- terseretnya sejumlah nama politikus perempuan dalam kasus korupsi tak urung membuat kita prihatin. Ada nama Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Chairun Nisa, dan masih banyak lagi. Kita prihatin sekaligus cemas, bahwa perilaku korupsi mereka bisa membuat jera para perempuan untuk memasuki dunia politik.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

Tags: