Memperingati Lahirnya Kabupaten Sidoarjo ke-158 Tahun

Kartu ucapan yang ditemukan milik Regent Sidoarjo RAA Soejadi. Beliau menjadi Regent atau Bupati Sidoarjo pada 1933, era penjajahan Belanda hingga era revolusi kemerdekaan 1949. [alikus]

Karena Kesuburannya Kota Sidoarjo Dulu Jadi Incaran Belanda dan Jepang
Kabupaten Sidoarjo, Bhirawa
Selasa, 31 Januari 2017 kemarin, Kabupaten Sidoarjo memperingati hari jadinya yang ke-158. Tapi tentunya tidak semua warganya tahu akan sejarah cikal bakal berdirinya Kota Delta yang sekarang menjadi daerah industri, dan kini menjadi salah satu daerah urban di Provinsi Jatim ini.
Dari sumber data-data yang berhasil digali, Sidoarjo dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala. Pada masa kolonialisme Hindia Belanda, daerah Sidoarjo bernama Sidokare yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya.
Daerah Sidokare saat itu dipimpin oleh seorang patih bernama R Ng Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yangdibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan.
Pada 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 9/1859 pada 31 Januari 1859 Staatsblad No 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Sidokare dipimpin R Notopuro (kemudian bergelar RTP Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan.
Ia adalah putera dari RAP Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Pada 28 Mei 1859, nama Kabupaten Sidokare yang memiliki konotasi kurang bagus diubah namanya menjadi Kabupaten Sidoarjo. Setelah R Notopuro wafat pada 1862, maka kakak almarhum pada tahun 1863 diangkat sebagai bupati, yaitu Bupati RTAA Tjokronegoro II yang merupakan pindahan dari Lamongan.
Pada 1883 Bupati Tjokronegoro pensiun, sebagai gantinya diangkatRP Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung, tetapi hanya 3 bulan saja menjabat sebagai Bupati, karena wafat pada tahun itu juga, dan RAAT Tjondronegoro I diangkat sebagai gantinya. Pada masa Pedudukan Jepang (8 Maret 1942 – 15 Agustus 1945), daerah delta Sungai Brantas termasuk Sidoarjo juga berada di bawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang (yaitu oleh Kaigun, tentara Laut Jepang). Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu.
Permulaan Maret 1946 Belanda mulai aktif dalam usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah ini. Ketika Belanda menduduki Gedangan, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan Sidoarjo ke Porong. Daerah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda.
Pada 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang Kota Sidoarjo dengan serangan dari jurusan Tulangan. Sidoarjo jatuh ke tangan Belanda hari itu juga. Pusat pemerintahan Sidoarjo lalu dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Pemerintahan pendudukan Belanda (dikenal dengan nama Recomba) berusaha membentuk kembali pemerintahan seperti pada masa kolonial dulu.
Pada November 1948, dibentuklah Negara Jawa Timur salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Sidoarjo berada di bawah pemerintahan Recomba hingga 1949. Pada 27 Desember 1949, sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kembali Negara Jawa Timur kepada Republik Indonesia, sehingga daerah delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
Merujuk pada literatur, SK Pemerintah Belanda 9/1859 tertanggal 31 Januari 1859, Staatsblad No 6 menjadi cikal bakal berdirinya Sidoarjo. Tanggal dan tahun itulah yang menjadi patokan HUT atau hari jadi Sidoarjo. Dengan begitu, kini usia kabupaten di sisi selatan Surabaya tersebut telah mencapai 158 tahun.

Semakin Berkembang
Bupati Saiful Ilah mengatakan, saat ini Sidoarjo sudah semakin maju dan berkembang. Di sejumlah bidang, banyak kemajuan yang berhasil diraih. Di antaranya, layanan perizinan Sidoarjo yang sudah sangat maju. Pemohon tidak perlu datang ke kantor. Cukup lewat HP. “Hanya tiga jam izin selesai,” ucap bupati berusia 67 tahun itu.
Selain layanan perizinan, lanjut Saiful, dalam beberapa tahun terakhir banyak inovasi yang dijalankan. Misalnya, ketika ada jalan di wilayah Sidoarjo yang rusak atau berlubang, masyarakat bisa langsung melapor ke pemkab dengan cepat. “Sudah aplikasi M-bonk. Begitu lapor, petugas langsung gerak,” katanya.
Menurut Saiful, Bandara Juanda dan Terminal Purabaya yang berada di wilayah Sidoarjo juga menjadi keunggulan tersendiri. Dua infrastruktur transportasi itu menjadikan Sidoarjo lebih cepat maju. Hotel dan penginapan bermunculan. “Selain itu, memudahkan orang berkunjung ke Sidoarjo,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Sidoarjo Sullamul Hadi Nurmawan mengungkapkan, salah satu keunggulan Sidoarjo adalah UMKM. Di Kota Delta, pemkab betul-betul memberdayakan UMKM. Contohnya, rutin membuat bazar, pameran, atau ekspo. Selain itu, para perajin mendapat pelatihan dan pendampingan. “Misalnya Tanggulangin Fair,” jelasnya. [alikus]

Tags: