Memperkasa Radio Publik

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang.

Tanggal 11 September diperingati sebagai hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI). Satu-satunya radio yang menyandang nama negara ini bulan ini genap berusia 72 tahun, seumur kemerdekaan negeri ini. Sejak kelahirannya, RRI telah banyak berperan terutama pada masa perang kemerdekaan. Kini, peran yang harus dimainkan RRI cukup rumit karena harus berhadapan dengan menjamurnya radio swasta komersial, radio streaming dan media online.
Sesuai amanat UU Penyiaran Nomor 32/2002, RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani masyarakat, memberikan pelayanan siaran informasi, pelestarian budaya, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial dan menjaga citra positif bangsa di dunia internasional.
Independensi memang menjadi harga mati yang harus dijunjung seluruh angkasawan-angkasawati RRI. Untuk itu RRI harus bisa memainkan peran sebagai media yang netral, yang bisa menjadi penyeimbang beragam informasi dari media swasta yang cenderung memanipulasi produk medianya guna kepentingan diri, kelompok atau partainya.
Reposisi RRI
Saat ini sedang dilakukan revisi terhadap UU Penyiaran Nomor 32/2002. Ini adalah waktu yang tepat untuk menempatkan posisi yang ideal bagi RRI. Ada tarik menarik posisi RRI sejak lama. Seperti saat ini ada keinginan untuk menempatkan RRI sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Sementara disisi lain ada wacana ideal memosisikan RRI sebagai lembaga negara.
RRI sebagai lembaga negara bukan lembaga milik negara menjadi wacana penting, agar dengan posisi ini RRI bisa memiliki ruang gerak dan arena memainkan peran yang ideal serta dapat menjaga independensinya. Pada posisi sebagai lembaga negara, maka RRI dibentuk oleh UU dan bertanggungjawab langsung di bawah presiden.
Posisi RRI juga sejak lama diwacanakan digabung dengan TVRI. Sebagai sama-sama lembaga penyiaran publik, penggabungan RRI dan TVRI menjadi RTRI juga bukan perkara mudah. RRI punya peran bersejarah yang tidak bisa disetarakan dengan peran TVRI. Memaksakan menggabung dua entitas media penyiaran ini bukan cara ideal guna menata media publik negeri ini.
Kalau kita berguru para beberapa lembaga penyiaran publik asing seperti BBC, NHK, CBC dan ABC, lembaga penyiaran tersebut sejak berdirinya memang sudah dirancang sebagai public service broadcasting. Sementara RRI dalam perjalanannya harus berubah-ubah, berganti status mengikuti kebijakan pemimpin politik yang sedang berkuasa. Dari segi kelembagaannya pun RRI telah beberapa kali berganti mulai dari sebagai BUMN dan Perusahaan Jawatan (Perjan), wacana penggabungan TVRI dan RRI, dan menjadikannya sebagai Lembaga Penyiaran Negara (LPN).
Mengapa RRI harus Perkasa?
RRI harus bisa menjadi wacana publik yang terbuka (public sphere) yang steril dari intervensi, dominasi dan kooptasi kekuasaan serta tekanan pemegang kebijakan. Guna memainkan perannya, RRI telah bersiaran untuk beragam segmen pendengar. Ada RRI Pro 1 yang merupakan pusat pemberdayaan masyarakat, Pro 2 untuk kreativitas anak muda, Pro 3 suara identitas keindonesiaan, dan Pro 4 untuk saluran budaya. Bahkan RRI juga bersiaran lewat aplikasi RRI Play bagi pengguna I Phone dan Android, serta bersiaran secara internasional lewat kanal RRI Voice of Indonesia.
RRI adalah LPP, bukan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). LPS biasanya lebih dominan berorientasi pada kepentingan bisnis. RRI harus menyadari bahwa secara esensi, peran utama LPP adalah memberi pelayanan kepada publik. RRI merupakan lembaga penyiaran milik publik karena dibiayai oleh anggaran negara yang diperoleh dari pajak yang dibayar publik. Untuk itu RRI harus selalu memandang pendengar sebagai publik (audience as public), bukan pendengar sebagai pasar (audience as market) seperti layaknya yang dilakukan radio swasta komersial.
RRI harus selalu sadar dengan posisi ini sehingga tidak “kegenitan” coba-coba ikut layaknya radio swasta komersial. Kalau RRI hadir tidak ada bedanya dengan radio swasta komersial maka hal ini bisa menciderai hati publik. Pendengar RRI adalah publik, warga negara yang harus selalu diberi informasi, pendidikan, dan hiburan yang mencerahkan.
Pendengar bukanlah pasar potensial untuk senantiasa dirayu dengan iming-iming iklan komersial yang menjajakan beraneka produk konsumtif. RRI memang tidak diharamkan beriklan, namun hendaknya selektif dan porsinya tidak berlebihan. RRI harus dengan sekuat tenaga bisa membentuk pendengarnya dengan baik, tidak malah menggelincirkan publik pada sajian hedonistik belaka.
RRI memang sudah mengudara dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote. RRI harus terus mampu menjalankan fungsi guna mengakomodasi kelompok masyarakat yang minim pada akses informasi. RRI hendaknya selalu berusaha untuk menjadi penyalur suara masyarakat yang terpinggirkan (to be the voice of the voiceless). RRI harus menjadi fasilitator bagi minority group, kelompok termarginalkan dari sisi ekonomi, bahasa, kultur, dan aksesibilitasnya pada media massa.
Simbiosis antara RRI dan publiknya memang harus selalu dijaga. Jangan ada yang mencoba mematikan peran salah satunya. RRI bisa jaya di udara pasti karena pendengarnya, untuk itu pendengar juga harus berbuat agar RRI tetap mampu berjaya. RRI memang senantiasa berproses agar menuju kondisi yang cukup ideal. Yang jelas kehadiran RRI hingga saat ini dinilai masih sangat dibutuhkan.
Esensinya frekuensi yang dipakai lembaga penyiaran adalah milik publik. Artinya lembaga penyiaran hanya meminjam frekuensi kepada publik. Untuk itu menomorsatukan kepentingan publik tidak bisa ditawar lagi. RRI harus mampu memberikan kritik sosial dan ruang publik bagi pemerintah dan masyarakat, karena itu menjadi wajah yang sejatinya dari sebuah radio publik. LPP tidak cari untung dari publik, tidak takut rugi karena melayani publik, sepenuhnya melayani publik.
Kalau pada masa orde baru, RRI memang berperan sebagai corong pemerintah dan sekelompok partai yang sedang berkuasa, namun kini peran serupa hendaknya tidak lagi dimainkan RRI. Dengan demikian, sebagai radio publik, baik di tingkat pusat maupun daerah, semangatnya adalah tetap independen. Boleh berpihak pada negara, tetapi bukan pada rezim yang berkuasa.
Karena radio menggunakan frekuensi publik, maka idealnya hak-hak publik tidak boleh diabaikan. Acara-acara yang disajikan hendaknya selalu berorientasi untuk kemanfaatan publik. Tidak itu saja, RRI juga harus mampu mendidik publik. Di saat terjadi banjir informasi seperti sekarang ini, maka tidak sedikit media massa yang menggelincirkan publik. Pada situasi seperti ini RRI harus hadir sebagai penyeimbang informasi, pendidik, dan pencerah bagi publik yang kebingungan.

                                                                                                                           ———- *** ———–

Rate this article!
Memperkasa Radio Publik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: