Memperkuat Gerakan Pemberantasan Korupsi

Oleh:
Dr Nur Solikin AR
Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Dewan Ahli ISNU Jatim serta Akademisi Mitra KPK

Praktik korupsi belum surut. Itu kalimat yang tepat disuarakan. Korupsi yang marak akhir-akhir ini sungguh sudah pada tingkat mengkhawatirkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu bisa kita lihat beberapa kali KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap para pejabat dan elit politik di negeri ini. Itu belum lagi kasus korupsi yang belum terkuak yang mungkin terjadi disana – sini. Betapa korupsi dan segala praktek koruptif masih menjadi momok bangsa ini yang bukan malah surut tapi sebaliknya semakin menjadi-jadi. Pertanyaan yang muncul mengapa itu terjadi padahal upaya pemberantasan dalam bentuk penindakan sudah dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut, adakah kurang komprehenshipnya penanganan pemberantasan korupsi sehingga memerlukan cara-cara baru yang lebih efektif efesion mulai dari hulu sampai hilir?
Sinyalemen Presiden joko Widodo pada pidato kenegaraan di depan sidang DPR-DPD RI dalam rangka peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74 tanggal 16 Agustus 2019 yang lalu bahwa pemberantasan korupsi kurang berdampak surutnya praktik korupsi di Indonesia sehingga memerlukan cara-cara baru dalam rangka efektivitas dan surutnya praktik korupsi sehingga esensi pemberantasan korupsi mengena bukan lagi pencitraan belaka.
Adanya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK pasal 13 mengatur secara rinci kewenagan lembega tersebut dalam melaksanakan pencegahan ini membawa angin segar dan menugaskan KPK lebih berperan dan berdaya dalam menangani kasus-kasus korupsi di negeri ini terutama pencegahan. Memang secara jujur kita akui bahwa pencegahan udah dilakukan KPK tetapi belum maksimal dan kurang berdampak signifikan pada penurunan angka korupsi. Ini menunjukkan bahwa pemebrantasan korupsi tidak hanya penindakan semata tetapi pencegahan secar massif amatlah dibutuhkan.
Memang korupsi bukan hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas, serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, di samping karena banyaknya lapisan masyarakat dan komponen yang masyarakat yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Karena itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan untuk mewujudkan masyarakat baru yang anti korupsi.
Peran Serta Masyarakat
Korupsi tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak saja yaitu KPK, tapi peran serta masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam rangka pencegahan dan pemberantasannya secara konprehensif dan menyeluruh. Yang dimaksud dengan peran serta masyarakat disini adalah partisipasi publik atau keterlibatan masyarakat dalam mengontrol birokrasi pemerintahan dan penyelenggara negara. Hal ini diperlukan agar negara yang dibangun berdasarkan kontrak sosial (social contract), tidak menyimpang dari kepentingan dan kehendak publik. Disamping itu adanya peran serta masyarakat meniscayakan masyarakat diajak untuk urun rembug permasalahan yang dihadapi negara. Partisipasi publik mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara atas aktivitas kenegaraan yang dijalankan.
Negara tanpa partisipasi publik dapat dipastikan akan mengalami berbagai goncangan dan ketidak seimbangan. Akibat lanjut dari ketidakseimbangan itu adalah hilangnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap negara. Hampir seluruh ruang publik (public sphere) yang semestinya disediakan, justru ditutup oleh negara. Akibatnya adalah terjadinya krisis kepercayaan masyarakat di tahun 1998 yang kemudian melengserkan rejim orba.
Khususnya dalam hal korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi mutlak diperlukan . Disamping untuk melakukan check and balances serta kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan, juga dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan pemerintahan dari ancaman delegimitasi publik.
Terlepas dari riuh rendah kecemasan publik akan masa depan lembaga yang bertugas memerangi rasywah, sejatinya jihad melawan penggarong uang negara menjadi tugas bersama. Artinya, tidak semata-mata diserahkan kepada lembaga pemberantasan korupsi.
Meski KPK akan menjadi motor perang melawan korupsi dengan segala kewenangan istimewanya, hal itu belum cukup untuk membuat ciut nyali para koruptor melancarkan aksi. Bayangkan, KPK jilid IV masa bakti 2015-2019 di bawah komando Agus Rahardjo adalah periode yang sangat tinggi frekuensi Operasi Tangkap Tangan (OTT)-nya, sehingga bisa disebut terbanyak dalam sejarah KPK. Bahkan, di penghujung jabatannya, lembaga ini masih getol menggelar OTT. Pertanyaannya, sampai kapan OTT? Pemberantasan korupsi yang berorientasi pada penindakan tidak akan menyelesaikan masalah. Pasalnya, pemberantasan korupsi seharusnya dari hulu sampai hilir.
Penguatan aspek hulu seperti penguatan sistem yang membuat penyelenggara negara sulit untuk melakukan korupsi harus dilakukan. Namun, man behind the gun, di belakang sistem itu adalah faktor sumber daya manusianya yang mengendalikan sistem harus dibenahi. Penguatan integritas aparatur negara sangat menentukan bagaimana sebuah sistem bisa berjalan dengan baik, sehingga menutup celah untuk melakukan praktik manipulatif dan korup.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sejatinya sudah dilaksanakan melalui lembaga Negara yang sudah ada lebih dahulu yaitu Polri dan Kejaksaan. Namun peran kedua lembaga Negara tersebut masih (dirasa) kurang efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Padahal dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Seharusnya KPK yang memiliki tugas utama yaitu memberantas korupsi di Indonesia, harus didukung dan didorong terus menerus sambil lalu diperkuat posisi kelembagaannya agar memiliki energi positif ke arah meningkatnya kinerja bukan malah digerogoti eksistensi dan otoritasnya yang pada giliranya memperlemah bahkan pelan-pelan mematikan. Untuk itulah beberapa hal yang bisa dilakukan dalam rangka memperkuat serta mempercepat KPK dalam pemberantasan korupsi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia selain melibatkan dan peran serta masyarakat diantaranya adalah: membangun manajemen internal (hubungan pimpinan dan pegawai, hubungan antar-direktorat, hubungan antara pegawai) yang lebih terpola dan terpadu, penguatan penyelidikan dan penyidikan (peningkatan kapasitas penyelidik dan penyidik), serta penguatan posisi kelembagaan KPK. Kalau ini dilakukan secara masif insyaAllah KPK bersama masyarakat akan bisa meminalisir tindak pidana korupsi dan budaya koruptif di Indonesia menuju penyelenggaran pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Semoga !

———— *** —————

Tags: