Memperkuat Pondasi Agama di Keluarga

Oleh :
Rio F. Rachman
Penulis kumpulan esai “Menyikapi Perang Informasi”

Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara. Yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan Yang Mahaesa. Artinya, warga negara Indonesia mesti mengakui keberadaan Tuhan dan memiliki agama atau aliran kepercayaan.
Agama atau aliran kepercayaan menjadi faktor fundamental bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Terlebih, agama atau aliran kepercayaan yang diakui di bumi pertiwi ini memiliki landasan moral nan luhur. Apapun agama atau aliran kepercayaan masing-masing individu, pasti memiliki semangat kebaikan guna menebar manfaat bagi sesama. Dalam kerangka, Bineka Tunggal Ika atau keberagaman.
Pemahaman agama yang mesti dimiliki oleh semua anak bangsa tentu harus berpijak pada paradigma persatuan. Bukan radikalisme, seperti yang banyak terjadi di belahan dunia lain. Yang juga patut digarisbawahi, terorisme yang lahir dari perspektif radikalisme beragama, tidak pula dominasi ajaran satu agama yang melenceng. Sebab, teorisme juga dilakukan oleh varian manusia yang mengklaim dirinya beragama. Meski sejatinya, tidak ada ajaran agama atau aliran kepercayaan luhur, khususnya yang tumbuh di Indonesia, yang menyepakati kekerasan.
Sebagai lingkup kecil dan permulaan bagi seseorang dalam merangkai kehidupan, keluarga adalah kunci utama memantapkan pondasi keagamaan. Bila sejak dini, pengertian soal keluhuran beragama atau tata cara beragama yang proporsional ditanamkan, karakter orang itu untuk berpegang pada prinsip kebinekaan pun dapat terjamin. Di tahap ini, peran orangtua, sebagai “sesepuh” dalam lingkungan keluarga, menjadi mutlak.
Orangtua harus belajar
Bahkan sejak sebelum menikah, seseorang mestinya sudah memerkuat landasan keagamaannya. Nilai-nilai moral dan prananta sosial tiap agama di Indonesia memiliki banyak kesamaan. Yang berbeda, umumnya hanya dasar hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Sedangkan yang sifatnya horizontal antar sesama, relatif bercorak mirip.
Dengan pengetahuan agama yang kuat tatkala akan menikah, sepasang suami istri bakal menjalani hidup dengan lebih religius. Religiositas yang benar, pasti menumbuhkan atmosfer saling menghargai dan menghormati. Yang tidak hanya berhenti pada hubungan antar keluarga. Namun juga, tertebar ketika anggota keluarga itu berkomunikasi dan berinteraksi dengan publik yang lebih luas. Mulai dari tetangga, hingga hirarki lingkungan lain di sekitar.
Kalau sudah begitu, idealisme dalam mendidik anak-anak pun bisa terbentuk. Bahwa anak-anak harus memiliki nilai moral keagamaan yang bagus. Yang senada dengan keluhuran Pancasila dan perspektif kebinekaan di nusantara ini.
Kondisi jiwa yang merasa paling benar sehingga menjadi justifikasi untuk “menyerang” pihak yang berbeda, tidak boleh diberi ruang sedikit pun. Bahkan, sejak seseorang berada di usia dini. Sehingga, agresifitas beragama yang melahirkan kebencian daoat dihindarkan. Sebab, bibit-bibitnya tidak pernah diberi kesempatan untuk hidup.
Asah budi pekerti
Anak-anak yang sejak dini dipahamkan tentang pentingnya peran agama akan memiliki budi pekerti yang baik. Setidaknya, dalam jiwa mereka, tumbuh dua mentalitas adiluhung. Pertama, keyakinan bahwa Tuhan adalah zat Mahasegalanya.
Kalau anak-anak sudah mengerti bahwa di dunia ini ada Penguasa jagat, mereka tidak akan merasa paling hebat. Mereka akan tunduk dan patuh dengan perintah-perintah agama. Di sini, kesombongan dalam diri ditekan ke titik paling minim. Sehingga benih jumawa dapat dicegah pertumbuhannya. Tidak menjadi soal bila merasa yakin bahwa agama yang dianut adalah kebenaran sejatinya. Yang jadi problem adalah bila kemudian congkak dan menghardik mereka yang berbeda. Sehingga potensial memicu gesekan sosial.
Kedua, hubungan dengan sesama manusia atau dengan lingkungan sekitar pun bakal baik. Sebab, Tuhan melalui ajaran yang diturunkan, menunjukkan bagaimana cara menjadi manusia mulia. Yakni, dengan menjadi sosok nan bermanfaat. Baik bagi manusia lain, maupun bagi lingkungan.
Agama memberi arahan bagi manusia untuk menjadi makhluk sosial yang menentramkan. Makhluk sosial, tidak bisa hidup sendiri. Makhluk sosial selalu ingin bersama-sama menuju kebahagiaan, selalu ingin bahagia bersama orang lain. Wallahu a’lam.

                                                                                                     ————– *** ————–

Rate this article!
Tags: