Mempersiapkan Hati Kembali ke Fitrah

Oleh :
Ahmad Muhli Junaidi
Penulis adalah aktivis kemanusiaan, tinggal di desa Ketawang Laok, Guluk-Guluk.

Dalam hitungan hari lagi, kita akan memasuki hari raya Idul Fitrih 1438 H. Pada saat itu kita akan kembali kepada sifat dasar kemanusia yang suci, dalam sebutan ‘kembali menjadi fitrah’. Hari itu biasa kita sebut sebagai ‘hari kemenangan’ yaitu dapat memenangkan pertarungan dengan setan dan sekutu-sekutunya selama satu bulan penuh. Selama sebulan itu, kita berhasil membelenggu para setan itu sehingga tak berkutik menggoda kita dalam menjalankan ibadah puasa.
Semua gambaran di atas, tentu saja hanya berlaku bagi kita yang berpuasa sepenuh hati. Berpuasa dengan puasanya para nabi dan rasul, atau puasanya para sahabat Rasulullah SAW, atau puasanya para tibi’in, para ulama sholafus as-sholeh, atau para waliullah hingga ke zaman kita ini. Bukan puasanya orang yang hanya menggugurkan kewajiban syari’ah semata, sementara naluri konsumtif tetap membahana di jiwa kita. Bukan puasanya orang yang hanya sebatas menahan lapar dan haus dalam mulut, sementara mata, tangan dan kaki kita tak ikut berpuasa pula.
Pola konsumtif semakin meraja di bulan puasa
Untuk memahami apakah puasa kita benar-benar telah mendekati puasa dengan substansi yang sebenarnya, paling tidak mendekati puasanya para fakir miskin dan kaum papa itu, mari kita lihat fakta di lapangan selama ramadhan ini. Atau bahkan ramadhan-ramadhan tahun sebelumnya.
Sejatinya, pola perilaku konsumtif yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia ternyata tidak berhasil dikikis dalam bulan puasa. Malah ada kecenderungan massif bahwa selama ramadhan perilaku itu bertambah dahsyat dipraktikkan oleh sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Indikasi utamanya, terjadinya inflasi signifikan atas kebutuhan sembako yang semakin meningkat di semua kota di Indonesia. Sebagaimana pendapat Prof. Ahmad Wira, pakar ekonomi Syari’ah dari IAIN Imam Bonjol, Padang, ekonomi dan puasa ramadhan memang mempunyai kaitan erat. Sayangnya, kaitan erat ini bukan bersifat positif, yakni pengembangan sikap sederhana dalam masyarakat, malah sebaliknya, sikap massif yang berkembang adalah perilaku negatif, maharajalelanya konsumerisme di masyarakat kita. Idealnya, ketika seorang berpuasa dengan benar, seharusnya ketika berbuka, kita tak berlebihan atau balas dendam pada makanan.
Hal di atas merupakan paradoks bagi umat Islam. Di satu sisi umat ini diperintah untuk menahan lapar dan dahaga, serta mengembangkan sikap muruah sebagai marwah perilaku sederhana dalam membantu kaum papa. Namun, konsumerisme semakin meningkat, seperti banyak belanja, boros, dan mubazir. Tepat kiranya data Bulog dan Kementerian Perdagangan untuk menggambarkan paradoks ini, bahwa konsumsi umat Islam selama puasa ramadhan meningkat dengan tajam.
Sikap paradoks sebenarnya telah disinggung dengan tajam oleh Ketua Bidang Dakwah MUI, KH. Cholil Nafis, seharusnya umat ini mengurangi konsumerisme dalam tiap-tiap ramadhannya, namun fakta aneh di lapangan memberikan info, malah semua itu tak pernah terjadi. Yang jamak terjadi adalah berjubelnya hasrat membeli kita akan sembako dari awal ramadhan, dan semakin meningkat menjelang akhir puasa. Kai Cholil mengatakan bahwa puasa tak hanya mengandung makna perintah dalam konteks ibadah. Namun, umat ini seharusnya menggunakan akal pikirnya dalam menanggapi fenomena keumatan.
Kesalahan berperilaku dalam menyambut kemenangan Idul Fitrih
Kemenangan melawan setan selama berpuasa sebulan penuh diwujudkan dengan penampilan diri yang serba baru. Bagi sebagian besar umat ini, hari raya harus benar-benar dirayakan dengan sempurna, yaitu berpakaian serba baru dan serba necis. Keserbabaruan itu meliputi segala lapisan masyarakat, dari rakyat jelata sampai kalangan pejabat dan orang kaya. Pada terma ini, seakan bukan hari kemangan jika tanpa wujud berpenampilan baru. Tahap ini sebenarnya merupakan kesalahan berperilaku kita dalam menyambut hari raya Idul Fitrih. Dan kesalahan itu akan terus berlanjut jika tidak diupayakan memotong sikap awal dalam berperilaku konsumtif, yaitu mengenyahkannya sejak awal-awal puasa dengan berbelanja sebagaimana mestinya, yaitu seperti bulan-bulan di lain ramadhan.
Namun, perilaku boros di atas tak akan bisa kita hindari tanpa kemampuan mengontrol diri dan kemauan kuat untuk tak berbelanja. Lingkungan telah tercipta sebagai tempat yang serba glamur, seperti terjadinya pasar dadakan yang dikemas dalam tajuk ‘pasar ramadhan’ dengan jurus diskon besar-besar. Semua itu sepertinya akan menjebol sifat kita sebagai manusia yang mau berhenti bersifat konsumtif. Lebih-lebih kaum perempuan kita yang memang teramat doyan berbelanja kebutuhan suami dan anak-anak. Tapi bukan berarti kita tidak mampu sama sekali dalam mengendalikan sifat konsumtif ini.
Di sinilah arti penting memahamkan lagi akan tujuan bulan penuh berkah ini diturunkan Allah SWT. Cukuplah kita renungkan dengan baik firman Allah SWT ini “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas (QS. Al-Maidah : 87). Memenuhi kebutuhan harian merupakan keniscayaan dalam kehidupan. Islam memerintahkan untuk memenuhinya demi keperluan beribadah pada-Nya. Bulan puasa kita dilatih dan diuji, apa kita dapat memenuhi kebutuhan konsumsi kita dengan cara wajar, tak berlebihan, atau sebaliknya.
Bulan suci ini harus kita maknai dengan cara arif sebagai bulan penuh ibadah yang pahalanya ditekel ribuan kalin lipat oleh Allah SWT. Dorongan perilaku konsumtif dapat kita alihkan pada perbuatan-perbuatan yang dapat bermanfaat nyata pada tatanan sosial masyarakat secara umum. Sebab bulan ini sejatinya merupakan bulan mengasah kepekaan sosial, seperti rasa empati pada kaum lemah, menyantuni anak-anak yatim. Melalui ibadah puasa yang muaranya adalah Hari Kemenangan nanti, kita diingatkan oleh Allah SWT bahwa kita makhluk sosial yang memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk sama-sama membangun dan menebar kepedulian pada sesama, karena secara fitrah kita adalah sama. Wallahu a’lam.

                                                                                                              ———- *** ————

Rate this article!
Tags: