Mempersiapkan SDM Pemilu Serentak 2024

Oleh:
Nurani
Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek Divisi Sosialisasi-Pendidikan Pemilih, dan Sumber Daya Manusia (SDM)

Dengan dicabutnya Revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dari Prolegnas oleh DPR, pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024 akan didasarkan pada UU 7 Tahun 2017 (untuk pemilu presiden dan legislatif) dan UU 10 Tahun 2016 (untuk pemilihan kepala daearah), serta Putusan MK terkait dengan kedua UU tersebut.

Sebagai konsekuensi dari tiadanya pembahasan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu itu, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang melakukukan pembahasan intensif terkait perencanaan tahapan-tahapan Pemilu dan Pemilihan. Kemungkinan besar, dalam tahun 2024 akan ada dua pemungutan suara untuk Pemilu serentak dan Pilkada serentak dalam satu tahun.

Pemilu serentak akan digunakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. Sedangkan surat suara Pilkada Serentak untuk gubernur dan wakil gubernur akan dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota. Sehingga dalam satu tahun akan ada tujuh surat suara.

Keselamatan Kerja Penyelenggara

Sebagai sebuah ‘gawe’ besar demokrasi elektoral yang akan menjamin rakyat memilih sejumlah calon pada tujuh jenis surat suara tersebut, tentunya dibutuhkan manajemen kepemiluan yang lebih terencana dan detail. Tahapan pelaksanaan, selain mempertimbangkan alur waktu untuk tiap-tiap program dan jadwal, juga harus mempertimbangkan hal penting lainnya, termasuk sumber daya manusia (SDM) penyelenggara kepemiluan.

Isu keselamatan penyelenggara Pemilu telah muncul begitu kuatnya pada Pemilu 2019 lalu ketika Pemilu serentak untuk lima surat suara menyebabkan para penyelenggara terancam kelelahan yang menyebabkan mereka meninggal dunia dan sakit. Sejumlah 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 5.157 petugas KPPS sakit.

Demikian juga dalam Pemilihan Serentak tahun 2020 yang baru saja berakhir. Keselamatan dan kesehatan badan adhoc menjadi isu sentral yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Upaya pencegahan penularan virus Covid-19 agar Pilkada tidak melahirkan adanya ‘cluster’ baru telah menyebabkan penyelenggara harus menjalankan tugas ganda. Di satu sisi harus mengurusi teknis-teknis Pemilihan, tapi pada sisi yang lain juga harus mengurusi pelaksanaan protokol kesehatan. Dua hal itu ada aturannya, ada pelaksanaan teknisnya, juga pengadaan barang dan perlengkapan masing-masing. Bukan hanya mengurusi pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye (APK) dan bahan kampanye (BK), surat suara, kotak suara, formulir-formulir dan perlengakapan pemilihan lainnya, tapi juga belasan item alat kesehatan, alat pelindung diri, dan barang umum terkait lainnya. SDM Pemilihan dibebani dengan dua jenis kebutuhan barang dan kegiatannya.

Meskipun kekhawatiran bahwa akan tercipta “cluster” baru di masa pandemik ternyata tidak terbukti, tapi setidaknya Pilkada Serentak 2020 juga masih diwarnai dengan berita duka tentang tenaga ad hoc yang meninggal dan sakit. Dari data KPU Jawa Timur di Divisi yang menangani SDM, seperti Pemilu 2019 lalu, didapatkan data bahwa masih saja ada kasus sakit dan meninggalnya panitia di tingkat kecamatan (Panitia Pemilihan Kecamatan/PPK), tingkat desa (Panitia Pemungutan Suara/PPS), dan petugas yang ada di TPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara/KPPS).

Dari 1930 anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) yang ada di 19 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di Jawa Timur, ada 6 yang meninggal dunia. Dari 14.367 anggota PPS di 4.789 Desa/Kelurahan di 19 kabupaten/kota, ada 17 orang yang meninggal. Dari total 340.249 orang petugas KPPS di 19 kabupaten/kota di Jatim yang tersebar di 48.607 Tempat Pemungutan Suara (TPS), ada 5 yang meninggal.

Isu keselamatan di era pandemik memang sudah diantisipasi oleh KPU dengan menerapkan protokol kesehatan. Melakukan tes swab bagi penyelenggara dan rapid tes untuk panitia ad hoc merupakan tindakan yang berhasil membuktikan bahwa “cluster” di penyelenggaraan Pilkada 2020 hampir tidak ada.

Meskipun demikian, keselamatan dan kesehatan panitia dalam pelaksanaannya tahapan Pemilu tahun 2024 tampaknya masih akan menghantui. Sebab, untuk saat ini dan tahun-tahun ke depan, masyarakat Indonesia masih akan dibayangi penularan Covid-19. Menjalankan kegiatan teknis pemilu dan pemilihan sekaligus sudah menguras tenaga dan pikiran. Apalagi juga harus masih mengurusi pelaksanaan pencegahan penularan virus dengan melakukan protokol kesehatan.

Pengadaan barang dan jasa dua kali lipat, pendistribusiannya, bahkan ketika perencanaannya juga sudah menguras pikiran. Pikiran yang penat itu sendiri juga mempengaruhi daya tahan tubuh. Kesehatan fisik akibat beban pikiran yang berat ini juga rentan untuk sakit.

Profesional dan Berintegritas

Berbicara kualitas SDM kepemiluan tentunya tak lepas dari upaya menjaga profesionalitas dan integritas penyelenggara. Hal ini juga menjadi tantangan pada Pemilu 2024. Catatan tentang ketidakprofesionalan Pilkada 2020 juga masih menunjukkan adanya kasus-kasus yang membawa penyelenggara pada sidang etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP) dan sidang etik oleh panitia ad hoc atas tuduhan penyimpangan etika penyelenggaran yang dituduhkan pada panitia oleh masyarakat.

Meskipun tidak semuanya terbukti melakukan pelanggaran, tapi setidaknya ada kasus-kasus yang bisa dicatat di mana penyelenggara pemilihan terbukti melakukan pelanggaran etika yang menyebabkan mereka dikenakan sanksi, baik sanksi peringatan atau pemberhentian. Catatan dari Jawa Timur misalnya menunjukkan bahwa pelanggaran etika yang paling fenomenal dan menjadi catatan dari perilaku penyelenggara yang menjadi trend adalah kasus asmara dan pelecehan seks. Dua kasus di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Ngawi dan KPU Kota Surabaya menjadi catatan bahwa ternyata tuntutan untuk menjaga etika dan perilaku sebagai penyelenggara Pemilu itu memang harus diperhatikan.

Beberapa catatan itu tentunya harus dipertimbangkan dalam menyongsong penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024. Tingkat kerumitan teknis dan bena kerja yang lebih berat tentu membutuhkan penataan kualitas SDM yang harus dimanajemeni dengan baik. Melalui penyusunan regulasi teknis, pembinaan, bimbingan teknis, dan sosialisasi yang lebih massif dan intensif dibanding sebelumnya, diharapkan kecakapan penyelenggara meningkat untuk mengimbangi tantangan politis dan teknis yang baru menuju tahun 2024.

——— *** ———

Tags: