Mempertahankan Eksistensi Sekolah Dasar Inpres

Oleh:
Anis Sukmawati, M.Pd.
Penulis adalah pemerhati pendidikan ; Pengajar SMP Al Azhaar Masjid Baitul Khoir Bandung Tulungagung

Sungguh memprihatinkan, nasib Sekolah Dasar Instruksi Presiden (SD Inpres) di Indonesia pada abad ke-21 ini. Konsep yang digagas oleh Presiden Soeharto 30 tahun silam, nyaris punah. Dari tahun ke tahun jumlah siswa yang mengenyam pendidikan di lembaga tersebut semakin sedikit. Bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini menjadi penyebab beberapa SD Inpres di Kabupaten Banyuwangi, Kudus, dan beberapa wilayah lain terpaksa ditutup.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar tersebut, didahului oleh keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung Sekolah. Tujuannya adalah untuk memperluas kesempatan belajar bagi masyarakat berpenghasilan rendah. (Harian Pelita, 2/13) Gagasan Presiden Soeharto dalam sektor pendidikan ini, sungguh luar biasa pada masanya. Beliau sangat peduli terhadap rakyat Indonesia yang belum melek huruf  kala itu. Hal inilah yang menjadi alasan utama didirikannya sekolah tersebut di berbagai wilayah.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak bermunculan sekolah swasta. Mereka berlomba-lomba memberikan layanan pendidikan dengan berbagai program unggulan. Hal ini amat menarik bagi masyarakat yang sadar akan kualitas pendidikan. Namun di sisi lain, kehadiran sekolah swasta seakan menjadi pesaing berat yang meresahkan bagi SD Inpres. Masyarakat mulai melirik sekolah swasta meskipun dari segi finansial jauh lebih mahal.
Entah disadari atau tidak, hal ini disebabkan oleh faktor pengelola SD Inpres itu sendiri. Mereka  tidak cukup kreatif dalam upaya memberikan layanan pendidikan. Pembelajaran yang dilakukan cenderung monoton dan apa adanya, sehingga sisi kualitas terabaikan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Beliau menuturkan bahwa Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Pelayanan Nasional (SPN) harus ditingkatkan. Pasalnya, sejak SD Inpres berdiri 30 tahun silam belum ada kenaikan mutu. (Tempo.Co, 1/17)
Oleh karena itu, langkah yang perlu diambil adalah mengikuti acuan SPM dan SPN. Jika pada masa silam tujuan utamanya adalah pemberantasan buta huruf, maka saat ini tujuan tersebut harus diubah. Perubahan yang dilakukan, tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Terutama dari aspek layanan dan kepuasan pelanggan. Seperti yang diungkapkan oleh Edward Sallis dalam konsep Total Quality Management (TQM)-nya.(Edward Sallis, 2002) Model pengelolaan yang ditawarkan memang berbasis industri. Namun tidak dapat dimungkiri, bahwa konsep TQM dapat diadopsi dalam ranah pendidikan. Konsep tersebut kemudian dikenal sebagai Total Quality Education (TQE). Dengan produk berupa layanan jasa pendidikan dan masyarakat sebagai pelanggannya. Jika demikian, maka perlu diketahui pendidikan seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Hal ini menjadi kekuatan sekolah-sekolah swasta untuk menarik pelanggan sebanyak mungkin. Mereka berupaya mencari informasi tentang berbagai hal yang dibutuhkan para orang tua untuk putra-putrinya. Dari informasi yang didapat itulah, kemudian dituangkan dalam bentuk program sekolah. Inilah yang disebut sebagai layanan pelanggan. Ketika pelanggan sudah tertarik, langkah selanjutnya ialah bagaimana membuat pelanggan puas. Kepuasan tersebut sangat mudah diamati. Bisa diketahui melalui keseharian peserta didik ataupun dialog langsung dengan wali muridnya. Menurut penulis, hal inilah yang mungkin jarang terlintas dibenak para pengelola SD Inpres. Dengan hanya menunggu tanpa memberikan ‘umpan’ berupa program dan layanan yang baik, tidak akan mampu menarik simpati masyarakat.
Lantas langkah apa yang perlu diambil  oleh pengelola SD Inpres untuk mempertahankan eksistensinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, dibutuhkan adanya kesadaran lingkungan sosial. Pergeseran budaya di lingkungan masyarakat membawa dampak tertentu. Arus globalisasi yang mengalir deras mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dari belahan dunia sekalipun. Terutama melalui berbagai media elektronik. Bukan hanya orang tua, bahkan anak-anakpun dapat menikmatinya dengan leluasa. Tanpa disadari, asupan informasi yang berlebihan ini perlahan-lahan mengikis karakter bangsa terutama dari kalangan anak-anak.
Dalam tahapan sosialisasi, anak-anak pada masa meniru (play stage) cenderung lebih suka menirukan banyak hal. Jika anak terbiasa diperlihatkan dan diperdengarkan dengan hal-hal baik, maka kemungkinan besar dia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Demikian pula sebaliknya. Untuk itu, sebagai orang tua perlu memberikan pengawasan yang cukup terhadap anak. Di samping itu, membentengi mereka dengan ajaran-ajaran agama merupakan suatu keharusan.
Di SD Inpres, anak-anak belajar selama lima sampai enam jam per hari. Lantas bagaimana dengan sisa waktunya? Penulis rasa, jawaban paling memungkinkan adalah ‘bermain’. Artinya bahwa, waktu belajar yang cukup singkat itulah yang memunculkan banyak permasalahan pada out put SD Inpres. Baik permasalahan akademik maupun karakter. Solusi dari kedua permasalahan tersebut adalah perlunya jam tambahan. Jam tambahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menggali pemahaman siswa dari sisi akademik. Terutama bagi siswa yang membutuhkan remidial teaching. Selain itu jam tambahan dapat pula diisi dengan pembiasaan yang sifatnya dapat membangun karakter siswa. Misalnya, pembiasaan shalat berjamaah, berjabat tangan dan mengucap salam ketika bertemu, ektrakurikuler yang menampung bakat dan minat, serta gagasan-gagasan lain yang dapat meningkatkan kualitas masing-masing siswa.
Tindakan sederhana ini, jika dilakukan secara kontinyu, maka dapat memunculkan karakter yang luar biasa. Terlebih jika ditambah dengan program-program akademik dan non akademik lain yang disesuaikan dengan potensi masing-masing peserta didik. Jelas akan menghasilkan out put yang tidak kalah dengan sekolah swasta yang mengedepankan kualitas. Bagi SD Inpres, pembaruan program-program tersebut bukan untuk ditawar. Jika ingin bertahan, ‘revolusi’ menjadi sebuah pilihan.

                                                                                                               ———– *** ————-

Tags: