Mempertegas Solidaritas Ummat Beragama

Dian SavitriOleh:
Dian Savitri
Mahasiswa S2 Hukum Unmer Malang

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang mudik ke Solo langsung menanggapi konflik di Tolikara, Papua. Di sela-sela acara bagi-bagi sembako di Pasar Notoharjo, Solo, Presiden Jokowi menyatakan bahwa situasi di Tolikara sudah terkendali. Menurutnya, semua sudah diatasi
Polri. Jadi sudah dalam keadaan yang baik.Meski Presiden Jokowi sudah menganggap suasana kembali normal, tetap mengingatkan masyarakat untuk selalu menjaga kerukunan tidak hanya di Papua, tapi di seluruh Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan Negara yang majemuk dan multikultur.
Mengapresiasi pernyataan Presiden, selayaknya setiap elemen masyarakat harus menyambutnya secara positip. “Harga” kebersamaan dalam konstruksi keragamaan sangatlah mahal. Bukan hanya menyangkut hak keberlanjutan hidup sesama, tetapi juga kedamaian atau keharmonisan.
Apalah artinya mempunyai Indonesia yang demikian besar dengan keragaman etnis, budaya, agama, suku, dan lainnya, kalau mudah terkoyak atau terusik oleh dendam, kebencian, praduga dan gesekan-gesekan lain. Padahal itu sejatinya bukan problem fundamental.
Memang sudah tepat Presiden Jokowi minta maaf seperti disampaikan Staf Khusus Presiden RI Lenis Kogoya. Lenis menyatakan, Presiden minta maaf kepada para warga yang menjadi korban dalam insiden tersebut. Akan tetapi langkah progresif dan iklusif harus dilanjutkan oleh segenap aparat setempat.
Kasus Tolikara menggambarkan bahwa ketahanan masyarakat majemuk masih ringkih. Rasa cinta pada sesama sedang tak bersinar dan gagal menjadi matahari yang menabur cahaya bagi umat. Etos persaudaraan kita sedang rendah karena di antara sesama mudah marah. Kita lebih rentan tergiring menjadi sosok dan komunitas yang suka kekerasan daripada menciptakan atmosfir kedamaian. Tangan-tangan kotor sudah demikian sering kita jadikan sebagai “opsi” untuk menghakimi hak-hak sesama. Hak hidup orang atau kelompok lain yang semestinya dilindungi, justru kita rampas sendiri lewat penghakiman secara radikalistik dan dehumanistik.
Allah menggariskan, Aku tidak mengutus engkau hai Muhammad dengan membawa agama Islam, kecuali membawa rahmat bagi seluruh alam. Ayat itu memang memposisikan Nabi Muhammad sebagai penyebar dan penyubur rahmat di muka bumi. Akan tetapi misi ini mengandung tuntutan besar pada setiap pemimpin, khususnya komunitas elitis muslim untuk menjalankan peran kekhalifahannya di muka bumi. Mereka harus menyebarkan rahmat bagi seluruh alam, termasuk semua manusia, tanpa kecuali.
Peran kekhalifahan yang tidak berjalan normal atau keluar dari misi keadilan dan kemanusiaan, tentulah bisa membuahkan reaksi besar seperti tuntutan, friksi, atau konflik-konflik. “Evil causes, evil vallacy” adalah pepatah yang mengingatkan bahwa sesuatu yang buruk tidak akan pernah terjadi di tengah masyarakat, jika tidak dipengaruhi kondisi buruk. Kejadian buruk merupakan risiko penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mengeliminasi prinsip keadilan, egalitarian, dan kemanusiaan.
Berbagi Rahmat
Setiap pemimpin harus berusaha keras menyebarkan atau membagi-bagi “rahmat” secara benar, adil, dan bertanggung jawab. Kesalahan yang dilakukan pemimpin, seperti aparat kekuasaan di daerah, yang tidak berusaha mengenal realitas kehidupan masyarakatnya merupakan “kejahatan.”
Kejahatan seperti itu dialamatkan pada pemimpin lokal tidaklah berlebihan. Sebab mereka mengemban amanat untuk membaca atau selalu mampu menangkap kondisi riil masyarakat. Pemimpin dituntut mampu membebaskan berbagai kesulitan masyarakat.
Mereka harus mampu menyelesaikan berbagai konflik. Pemimpin demikian akan menyenangkan. Pemimpin yang menanggalkan “jalan rahmat” berarti mengkhianati semangat juang berbasis keadaban dan kemanusiaan.
Idealnya dalam diri setiap diri pemimpin muslim, haruslah membara kegairahan besar dalam membumikan komitmen kemanusiaannya. Kalau mereka tidak sedang berkuasa, gencar mengedepankan etos perdamaian dan keharmonisan publik. Mereka harus menolak aksi-aksi penyelesaian problem sosial, politik, ideologis dan keagamaan lewat jalur represif dan radikalitas atau “main hakim sendiri.”
Kalau pemimpin itu muslim, di dalam dirinya harus merasa takut jika tidak sukses menjalankan amanat. Ia berkewajiban mengobarkan semangat menyala untuk mendestruksi segala macam penyakit sosial yang menimpa rakyatnya.
Perbedaan kepentingan politik, ideologis dan teologis, seharusnya tidak boleh menjadikan pola hidup pemimpin terkotak-kotak dan terseret dalam kedengkian dan hasrat memproduksi kezaliman.
Apapun agama pemimpin lokal, apalagi muslim, dia hanya membuat wajah agama yang dipeluknya gagal menunaikan tugas kemanusiaan. Kekuasaan yang dipercayakan oleh agama kepadanya sekadar untuk kendaraan memapankan atau menaikkan status sosial ekonomi. Karena pemimpin lokal terbanyak beragama Islam, logis jika mereka yang paling terdepan untuk digugat komitmennya dalam membangun kebersamaan atau keharmonisan sejati antarpemeluk. Disharmoni atau kekerasan antarpemeluk agama atau radikalisme lintas agama di wilayah pedalaman atau perbatasan, menjadi bukti bahwa konstruksi relasi keberagamaan berbasis pemanusiaan manusia yang dibangun pemimpin lokal belum berjalan maksimal.
Kalau mereka tidak terus-menerus menggalakkan tradisi relasi inklusif dan komitmen kemanusiaan berkeadilan, berkemanusiaan, atau egalitarian antarpemeluk agama, maka berbagai friksi antarpemeluk agama, sulit tidak terjadi lagi. Ibarat bara dalam sekam, mereka saling menunggu pemicu. Kesalahan kecil bisa meledakkan radikalisme masif.
Kesalehan pemimpin lokal dibutuhkan untuk mencegah. Para pemimpin lokal tidak boleh duduk manis di atas kursi kekuasaan. Mereka harus terjun ke tengah masyarakat untuk membangun budaya mengeratkan ikatan persaudaraan kemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan.

                                                                                                                                 —————— *** ——————

Tags: