Memprihatinkan, Remaja Jatim Lakukan Seks Bebas di Usia 16 Tahun

Dr Dwi Listyawardani MSc Dipl Com

Dr Dwi Listyawardani MSc Dipl Com

Surabaya, Bhirawa
Maraknya seks bebas atau free sex (hubungan intim pertama kali, red) di kalangan pelajar membuat perhatian tersendiri bagi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jatim. Data yang dihimpun BKKBN Jatim menyebutkan mayoritas remaja di Jatim melakukan free sex pada usia 16 tahun.
”Kami prihatin dengan perilaku menyimpang remaja zaman sekarang hal ini yang menyebabkan terjadinya kasus aborsi di Jatim,” ujar Kepala BKKBN Jatim Dr Dwi Listyawardani MSc Dipl Com.
Menurutnya, selain kasus aborsi di Jatim banyak remaja yang mengajukan dispensasi untuk nikah dini. Pada pertengahan tahun 2016 terdapat kasus dispensasi nikah dini di Malang sebanyak kurang lebih 200 orang. PadahalĀ  sesuai Undang-undang nomor 1 tahun 74 tentang perkawinan disebutkan jika usia pernikahan minimal adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
”Akantetapi untuk kasus ini dispensasi pernikahan disebabkan karena adanya hubungan di luar nikah atau hubungan terlarang,” ucapnya
Lebih lanjut Dani panggilan akrab Dwi Listyawardani mengatakan, pada remaja yang melakukan pernikahan din akan rentan dalam perceraian. Selain itu, pernikahan dini juga memunculkan kehamilan yang berisiko karena kondisi rahim dan panggul belum berkembang secara normal. Bahkan dari catatan BKKBN, di Jatim selama setahun terdapat 600 ibu meninggal dunia saat melahirkan.
”Kita tidak ingin kematian ibu meninggal didominasi karena perilaku yang menyimpang. Jika ini dilakukan maka nyawa ibu akan jadi taruhan,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Divisi Data dan Riset Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Isa Anshori mengaku, sepanjang tahun 2015, di Jatim terjadi 30 kasus kehamilan tidak direncanakan (KTD) di kalangan pelajar berusia 12-18 tahun. Jumlah itu meningkat dibanding tahun 2014 yang mencapai 23 kasus.
Selain ituĀ  dari data yang dimiliki LPA Jatim, jumlah kekerasan seksual yang melibatkan anak di tahun 2015 mencapai 300 anak. Jumlah tersebut naik dibanding tahun 2014 yang mencapai 226 anak. Kota Surabaya menyumbang 80 persen kekerasan seksual, termasuk di dalamnya terdapat kasus kehamilan tidak direncanakan. “Dari jumlah itu, 10 persennya mengalami kehamilan tidak direncanakan,” ujar Isa.
Ia juga mengatakan, pelaku KTD dikalangan pelajar justru didominasi oleh orang terdekat, seperti pacar dan orang tua serta keluarga dekat untuk pelaku dewasa. Selain itu, sering kali pelajar yang mengalami KTD di wilayah Surabaya justru menjadi korban secara berulang. Pertama adalah korban hegemoni di masyarakat dan kedua menjadi korban kebijakan.
Di kota Surabaya misalnya, Dinas Pendidikan setempat memiliki aturan bahwa mereka yang hamil ketika sekolah hukumnya adalah dikeluarkan. Hal ini berbanding terbalik dengan pelaku yang tidak tersentuh sanksi atau kebijakan. Untuk mengatasi hal ini, pihaknya seringkali melakukan pendekatan ke sekolah agar mau menerima siswa yang menjadi korban KTD. Apalagi dalam kasus yang ditemui, anak yang menjadi korban KTD masih berusia 12 tahun atau duduk di kelas 6 SD dan 1 SMP. [dna]

Tags: