Memudahkan Pendidikan Seluruh Rakyat

(Meng-ingat Pesan Ki Hajar Dewantara)

Oleh :
Yunus Supanto  
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Tidak ada talk-show di televisi, dan tiada spanduk terpasang untuk memperingati Hardiknas (Hari pendidikan nasional). Juga tidak ada hymne pendidikan dinyanyikan di sekolah-sekolah. Padahal seyogianya peringatan Hardiknas dijadikan momentum untuk me-reorientasi pola pendidikan nasional. Sudah banyak sekolah didirikan, dan memberi ijazah (sertifikat) ber-label trampil sampai ahli. Tetapi terasa tidak memberi manfaat.
Bahkan sebaliknya, banyak insan berpendidikan melakukan pembohongan publik serta kriminal sistemik. Seolah-olah makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh, semakin pintar pula berbuat ke-nista-an. Menyebabkan kesengsaraan keluarga dan masyarakat luas. Kenyataannya narapidana kasus korupsi, seluruhnya berpendidikan tinggi (sampai strata-3), bergelar doktor. Melebihi rerata tingkat pendidikan masyarakat umumnya.
Sehingga tidak terlalu salah, manakala terdapat komunitas (suku bangsa) menolak pendidikan. Antaralain Suku Baduy dalam (di Lebak, Banten), serta komunitas Samin (di Bojonergoro, Jawa Timur). Pendidikan hanya dilakukan oleh relawan yang di-izin-kan, sekadar mengajarkan baca tulis. Komunitas yang hidup di pedalaman itu meng-anggap pendidikan di luar komunitas bisa menyebabkan munculnya perilaku aneh-aneh.
Pendidikan (sekolah) dituding mengubah perilaku peserta didik menjadi tidak santun, serta tidak ramah pada lingkungan. Sehingga banyak komunitas memilih cara “pendidikan lain,” terutama dengan muatan ke-agama-an. Antaralain, bentuk pendidikan di pesantren, yang tidak mengenal tingkatan kelas. Begitu pula ke-bisa-an (penguasaan ilmu), bukan diukur dengan jenjang kelas. Melainkan dengan aplikasi (bukti) nyata. Tak jarang yang muda (baru belajar) bisa diangkat menjadi wakil guru.
Namun dugaan (dan paradigma) komunitas di pedalaman, niscaya berbeda dengan konsep pendidikan nasional. Konstitusi meng-amanat-kan altar pendidikan sebagai upaya pembangunan (perbaikan) kehidupan bangsa. UUD pasal 31 ayat (3), menyatakan : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Pendidikan Ke-teladan-an
Jadi, tujuan pendidikan (secara tekstual) adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Namun sudah banyak kritisi, bahwa pola pendidikan saat ini (sekolah) hanya bagai education for test. Isinya, cuma pelajaran kepada murid hanya untuk menjawab soal ujian. Sekadar penguatan kognitif, berhitung dan menghafal. Padahal setiap ilmu (dan pengetahuan), “memiliki cerita,” semacam asbabun-nuzul. Yakni, hubungan kausalitas (sebab dan akibat).
Maka perlu melihat kembali falsafah pemikiran “bapak pendidikan nasional,” Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Tokoh dari kalangan keraton ini, kelak, lebih dikenal dengan panggilan Ki Hajar Dewantara. Namanya, itu menunjukkan status (dan pemikirannya) sebagai guru sepanjang hayat. Konsep “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” yang ditulisnya, bukan sekadar jargon ke-guru-an. Melainkan menjadi sikap keseharian.
Konsep ke-guru-an Ki Hajar Dewantara, di-adopsi dari guru mengaji di kampung Kalasan, Prambanan, Yogya. Ketokohan kyai Sulaiman Zainudin, meng-ilhami salahsatu santrinya (RM Suwardi Suryaningrat), tentang konsep pengajaran  rakyat. Bahwa pendidikan bukan sekadar transformasi (menyebarkan) ilmu dan pengetahuan. Melainkan memberi teladan moralitas, ing ngarsa sung tulada. Pendidikan, juga harus menjangkau segenap masyarakat, tanpa diskriminasi (strata ekonomi, sosial dan politik).
Harapan Ki Hajar Dewantara, telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun, sekolah tingkat SD dan SLTP. Namun amanat konstitusi masih terkendala problem perekonomian (pemerintah dan rakyat).
Program millennium development growth (MDG’s) bertumpu pada indeks ke-pendidik-an. Di Indonesia, IPM (Indeks Pembangunan Manusia), juga menempatkan ke-pendidik-an sebagai pilar utama, selain derajat kesehatan. Namun hingga kini indeks ke-pendidik-an (lama sekolah) secara nasional masih senilai 7,2. Artinya, hanya sampai pada tingkat SLTP kelas 1, naik ke kelas 2, lalu putus sekolah. Problem utama rendahnya indeks pendidikan, adalah faktor ekonomi rumahtangga.
Sebesar 95% tragedi putus sekolah, disebabkan faktor ekonomi. Setelah putus sekolah, anak-anak harus bekerja menopang ekonomi keluarga. Berdasar data BPS, terdapat lebih dari 4,5 juta anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Diantara jumlah tersebut, 1,75 juta bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang terburuk untuk anak. Antaralain, mengemis, mengamen, sampai menjadi kurir peradaran narkoba.
Fasilitasi Murid Gakin
Banyaknya masalah yang mendera anak usia sekolah wajib belajar (7 – 15 tahun) di Indonesia, itu cukup ironis. Karena Indonesia secara tegas dalam konstitusi dasarnya menjamin hak asasi anak. Antaralain pasal 28-B ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945. Amanatnya: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.”
Jauh sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) internasional, melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi hak anak, negara berkewajiban memenuhi seluruh hak anak yang ada di dalam konvensi. Terutama hak wajib belajar dengan fasilitasi pemerintah. Namun untuk anak-anak keluarga miskin (gakin), memerlukan fasilitasi tambahan, tidak cukup dengan peng-gratisan biaya pendidikan melalui KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Murid gakin memerlukan fasilitasi tambahan, agar dapat menjalankan fungsi “ke-ekonomi-an” keluarga. Misalnya, di-fasilitasi pemberian hewan ternak (ayam, bebek, atau kambing). Hewan ternak dapat diurus oleh anak-anak, murid gakin di sekitar rumahnya. Sekaligus melatih kemandirian anak-anak. Konsep ini pernah dialami oleh Ki Hajar Dewantara, ketika menjadi santri di pesantren Kalasan, diasuh kyai Sulaiman Zainuddin.
Karena pengalaman belajar mandiri di pesantren itu, Ki Hajar Dewantara menggagas sekolah kejuruan sejak awal (setingkat SMP). Antaralain berupa ST (Sekolah Teknik) dan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), serta SKKP (jurusan memasak dan menjahit). Sebenarnya, pemerintah pada tahun 2013 pernah memiliki program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program berupa pemberian uang tunai sebesar Rp 225 ribu per-semester untuk SD dan MI.
Bantuan BSM untuk SMP dan MTs, sebesar Rp 375 ribu, sedangkan untuk SLTA sebesar Rp 500 ribu untuk tingkat SLTA. BSM disalurkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Namun hanya sekitar 2,5 juta murid yang telah menerima BSM (dari jumlah sasaran sebanyak 16,6 juta murid). Tidak mencapai sasaran, karena kurang di-sosialisasi.
Angka murid gakin tahun ini diperkirakan mencapai 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itulah yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Memang tidak mudah merealisasi bantuan perlindungan sosial. Mencegah putus sekolah, niscaya meningkatkan angka partisipasi sekolah. Pada ujungnya partisipasi pendidikan menjadi tolok-ukur utama IPM (indeks pembangunan manusia). IPM Indonesia masih pada peringkat ke-6 di ASEAN.

                                                                                                                  ——— ***  ———

Rate this article!
Tags: