Memuliakan Guru, sebagai Sang Pencerah

Oleh :
Maswan
Penulis adalah Wakil Dekan 3 FTIK Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Manajemen Kependidikan Unnes

Berkaitan dengan profesi guru, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud,  terlalu banyak memberi beban administratif, sehingga fokus guru sebagai pengajar dan pendidik sangat terganggu. Dan di sisi lain, pihak masyarakat dan orang tua dengan mudah melaporkan ke polisi, jika guru berupaya menertibkan kedisiplinan siswa demi membentuk karakter anak-anak, dengan cara memberi hukuman atau sangsi jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah.
Dengan presure seperti itu, guru menjadi apatis, tidak kreatif dan tidak semangat dalam menjalankan tugasnya sebagai sang pendidik, pembimbing dan sebagai pencerah. Padahal peran guru sangat penting dalam hidup ini, dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh bangsa ini. Hal ini seperti yang ditulis oleh Adi Prayitno, bahwa Guru memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan sebuah generasi. Tanggung jawab yang diemban guru sangatlah besar. Banyak sekali orangtua yang menyerahkan buah hati mereka kepada guru untuk dididik, diajarkan sesuatu dan dibina dengan kepercayaan penuh agar buah hati mereka itu menjadi anak-anak yang cerdas, berilmu pengetahuan juga berakhlak mulia. (Bhirawa, 20/3/2017)
“Seorang guru harus mampu menyampaikan hal-hal yang bersifat inspiratif, tuntunan, dan bimbingan. Begitulah seharusnya sang pencerah bekerja. Karena itulah terasa penting untuk memangkas beban administrasi yang ditanggung guru. Tetapi, ukuran dan kriteria untuk menilai kinerja para guru tetap dibutuhkan. Bila memang penilaian yang dilakukan sekarang belum sejalan dengan peran guru dalam mencerahkan para siswanya, maka perubahan dibutuhkan.” (SM, 3/2)
Selanjutnya, yang penting adalah perlunya fokus dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan. Jangan sampai fokus berubah di tengah jalan. Perlu konsistensi dalam berjalan menuju sasaran. Bahkan dukungan-dukungan yang lebih luas juga dibutuhkan. Misalnya saja guru saat ini menghadapi ancaman dilaporkan orang tua bila menghukum siswanya.
Salahkah Menghukum Anak?
Menuruf  Prof. Fathur Rakhman (rektor Unnes), dalam tulisannya satu tahun yang lalu berjudul Bersatu Memuliakan Guru (SM, 9/1/2016), dalam menanggapi kasus orang tua mencukur guru, merupakan tamparan sebagai profesi guru. Menurutnya, Siapa pun yang berprofesi sebagai pendidik, atau memiliki kedekatan emosional dengannya, akan merasa bahwa kemuliaan guru telah direndahkan. Sebagai seorang pendidik guru dibebani dengan ekspektasi demikian tinggi, namun pada saat yang sama harus menanggung risiko diri dan profesinya dilecehkan.
Kasus guru Sekolah Dasar (SD) di Majalengka setahun yang lalu, sangat menjadi pelajaran berharga. Guru yang dicukur oleh orang tua siswa, merupakan bentuk pelecehan dan merendahkan terhadap martabat dan profesi guru.
Kejadian di Majalangka barangkali hanya fenomena gunung es. Dari sekitar tiga juta guru di Indonesia, bisa jadi ada puluhan atau ratusan yang mengalami penistaan. Oleh karena itu, perlu ditempuh berbagai ikhtiar agar guru kembali pada posisi sosialnya sebaga profesi mulia, memuliakan, dan termuliakan.
Jumlah siswa di sekolah jumlahnya tidak sedikit, biasanya ada satu atau dua anak yang sulit diarahkan dan dimbimbing yang berakibat anak tersebut melakukan pelanggaran tata tertib yang sudah ditentukan. Dengan demikian, secara manusiawi, guru akhirnya melakukan tindakan dengan cara menghukum anak tersebut.
Lantas yang menjadi pertanyaan apakah anak yang melakukan pelanggaran atau kesalahan tidak boleh dihukum? Apakah dengan meniadakan hukumam pada anak yang melanggar aturan, dapat menjadikan anak-anak baik? Apakah salah menghukum anak yang melakukan pelanggaran? Inilah yang perlu menjadi perenugan kita bersama.
Hukuman bagi anak di sekolah berfungsi sebagai alat agar siswa yang membuat kesalahan menjadi jera dan berupaya untuk tidak mengulanginya. Penerapan hukuman diharapkan dapat meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Tujuannya agar siswa sadar akan kesalahan dan  menuju kearah perbaikan. Hukuman dimaksudkan agar pelanggaran atau kesalahan yang terjadi menjadi berkurang. Dalam hal ini, memang guru harus memahami betul, bentuk-bentuk hukuman yang diberikan. Jangan sampai melakukan hukuman dengan sikap balas dendam.
Kasus orang tua balas dendam seperti yang dilakukan oleh orang tua siswa mencukur guru dan kasus-kasus lain orang tua yang tidak rela jika anaknya dihukum guru, tingga berlanjut sampai pengadilan selayaknya tidak boleh terjadi. Ingat bahwa dalam proses mendidik anak, terjadi satu sistem. Satu sama lain saling terkait, tanggung jawab bersama antara guru dan orang tua harus terjadi seia sekata.
Guru adalah orang tua di sekolah, sebaliknya orang tua adalah guru di rumah. Ini yang disebut gayut bersambung, untuk membentuk anak-anak yang baik dan sebagai pencerah masa depan anak bangsa. Jangan sampai terjadi dusta di antara, saling menyalahkan dan merendahkan.

                                                                                                            ———- *** ———–

Tags: