Memutus Mata Rantai Kemiskinan

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Trainer P2KK dan Pengajar PPKn Univ. Muhammadiyah Malang 

Saat ini, lompatan teknologi berlangsung begitu cepat dan hal ini menuntut kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berkarakter. Tanpa SDM yang andal, bangsa ini akan tertinggal dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia. Tantangan di masa depan mengharuskan umat manusia terlibat dalam persaingan global. Hal ini juga terkait dengan semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam (SDA), sehingga hanya bangsa yang siap secara teknologi yang akan banyak memetik manfaat dari SDA yang semakin langka.
Kekayaan SDA semata sering kali tidak mampu menyejahterakan rakyat apabila SDM loyo alias tidak berkualitas. Kita bangga menjadi negara bahari, negara agraris, negara subur dengan kekayaan alam yang luar biasa termasuk sumber daya pertambangan yang tersebar di berbagai pulau. Namun, aset SDA yang kita miliki tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyatnya.
Peningkatan mutu SDM
Indonesia merupakan negara yang gemah ripah loh jinawi, karena alamnya yang subur. Namun, karena SDM kita kurang pendidikan, kurang keterampilan, dan kurang memiliki karakter positif yang menjadi penciri bangsa maju, kita masih harus bergelut dengan kemiskinan dan kebodohan. SDM yang berkualitas lebih berperan dalam mewujudkan kemakmuran bangsa. Masih banyak PR pemerintah di bidang peningkatan mutu SDM.
Kenyataan itupun, kalau kita perhatikan saat ini tengah dipikirkan oleh pemerintah dalam upayanya meningkatkan mutu SDM dalam menenkan angka kemiskinan. Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri mengatakan, pemerintah terus berupaya menekan angka kemiskinan melalui pembangunan sumber daya manusia ( SDM). Langkah itu dinilainya efektif karena mampu memutus mata rantai kesenjangan keterampilan, yang mana akan berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. “Kenapa orang miskin? Karena penghasilannya rendah? Kenapa rendah? Karena pekerjaannya tidak berkualitas. Kenapa tidak berkualitas? Karena pendidikannya rendah sehingga tidak mempunyai keterampilan. Kenapa pendidikannya rendah? Karena miskin. Berputar terus seperti lingkaran setan,” kata Menaker dalam pernyataan tertulis, (Kompas, 31/8/2018).
Itu artinya, jika keterampilan meningkat, maka logikanya tenaga kerja dapat memiliki pekerjaan yang berkualitas ataupun berwirausaha. Sehingga secara otomatis kesejahteraannya akan meningkat dan akan mengeluarkannya dari lingkaran setan kemiskinan. Saat ini kondisi ketimpangan keterampilan dan kompetensi kerja dipengaruhi oleh kondisi angkatan kerja Indonesia yang didominasi masyarakat berpendidikan menengah ke bawah (SD-SMP). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 58 persen dari 133 juta jumlah angkatan kerja saat ini berasal dari lulusan SD-SMP.
Angka tersebut menjadi tantangan karena Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2035 nanti. Usia angka produktif akan meningkat bisa mencapai 70 persen. Kalau 70 persen ini berasal dari lulusan SD-SMP, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi daya saing kita.
Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker) mendorong peningkatan kompetensi SDM Indonesia melalui berbagai program, seperti pelatihan vokasi di BLK, pemagangan di dalam dan di luar negeri, BLK Komunitas, dan program-program peningkatan kompetensi lainnya. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui triple skilling, yakni skilling, upskilling, dan reskilling.
Skilling merupakan program bagi masyarakat yang belum memiliki keterampilan sehingga dapat masuk ke pasar kerja ataupun berwirausaha. Sementara, up skilling ditujukan untuk meningkatkan keterampilan yang telah dimiliki. Sedangkan bagi yang ingin alih profesi, reskilling dapat memberikan keterampilan baru yang susuai dengan kebutuhan industri.
Mengoptimalkan potensi
Ali bin Abi Thalib, salah seorang khalifah (khulafa-arrasyidin) mengatakan: “Seandainya kemiskinan berwujud manusia, niscaya aku akan memeranginya”. Kemiskinan merupakan masalah kompleks dan multidimensional, alam literatur ekonomi pembangunan dikenal dengan lingkaran setan (vicious cycle) kemiskinan. Pendidikan yang rendah, produktivitas yang rendah, serta tingkat hidup yang rendah yang sering kali dijadikan alat pengukur kemiskinan, pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu mata rantai dari sejumlah faktor yang menyebabkan kemiskinan.
Jadi dengan demikian, jelas bahwa kemiskinan tidak akan muncul dari tidak mau berkembangnya suatu bangsa, malah sebaliknya karena imbas modernisasi dalam upaya mengikuti standar suatu bangsa mengikuti tren dunia saat ini. Negara berkembang akan terseret oleh modernisasi dunia dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Maka benarlah pendapat yang menyebutkan bahwa mereka yang tidak mengikuti perkembangan dunia dan modernisasi akan tergilas oleh derap langkah kemajuan teknologi. Resep ampuh melawan penyakit kemiskinan ialah pengetahuan memadai yang dalam arti sesungguhnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutlak perlu guna beradaptasi dan bertahan hidup. Pola itu sesuai dengan kritik Inkeles dengan konsepsi manusia modern yang mutlak syarat utamanya adalah pendidikan. Karena itu, pendidikan merupakan kunci utama manusia keluar dari kemiskinan. Alokasi anggaran dan pengembangan pendidikan nasional menunjukkan seberapa serius negara mengurusi pengurangan kemiskinan.
Pemerintah menargetkan pada 2019 fokus pada pembangunan SDM. Untuk itu, pemerintah akan meningkatkan anggaran 2019 untuk pengembangan SDM menjadi Rp 14 triliun. Kebijakan ini merupakan wujud kongkret agenda besar yang akan dilakukan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah pembangunan infrastruktur selama sekitar empat tahun terakhir.
Pada akhirnya, mereka yang bisa mengatasi kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Namun, apakah prasyarat-prasyarat yang memungkinkan orang miskin keluar dari kemiskinan terpenuhi? Keterbatasan telah memenjarakan orang miskin. Dalam bahasa Amartya Sen, potensi manusia untuk mengatasi kemiskinan terhambat karena terjadi deprivasi kapabilitas (capability deprivation).
Saat ini di dunia telah dikembangkan kemiskinan multidimensi yang menelaah kemiskinan manusia bukan hanya dari sisi moneter. Kemiskinan multidimensi adalah “operasionalisasi” pandangan filosofis Sen tentang kapabilitas manusia. Masuklah indikator-indikator yang menjadi prasyarat agar manusia bisa mengembangkan kapabilitasnya, misalnya pendidikan, kesehatan, dan tingkat standar hidup.
Itu artinya, jika prasyarat-prasyarat minimal tersebut terpenuhi, manusia dapat mengoptimalkan potensi atau kapabilitasnya sehingga dapat merengkuh kesempatan sosial (social opportunity) yang ada. Inilah yang membuat manusia tidak hanya keluar dari kemiskinan, tetapi juga bisa berkontribusi optimal terhadap lingkungannya.
Melalui dorongan peningkatan kapabilitas dan pembangunan manusia, diharapkan pemerataan kesempatan sosial akan terjadi dan ketimpangan ekonomi juga berkurang. Di samping itu, kemiskinan berkelanjutan dengan sendirinya juga akan diakhiri oleh penduduk yang telah berdaya dan justru menjadi aset pembangunan yang berharga. Perubahan ini tentu saja diharapkan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berjanji mengutamakan pembangunan manusia.

———— *** ————–

Rate this article!
Tags: