Menakar AKM dalam Paradigma Baru Pendidikan

Oleh:
Yogyantoro
Pendamping Guru Penggerak Angkatan 3

Berdasarkan hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-66 dari 79 negara. Akses pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah merata namun kualitas pemelajarannya masih stagnan. Lebih-lebih saat ini pendidikan kita menghadapi risiko learning loss dengan pembelajaran di kelas yang menghasilkan pencapaian akademik yang kurang baik saat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sedangkan pembelajaran tatap muka hanya diperbolehkan di zona kuning dan hijau.

Daerah yang berada pada zona merah dan oranye wajib melaksanakan Belajar dari Rumah (BdR). Menurut data dari Media Center Satuan Tugas Covid-19 Provinsi Kalimantan Tengah per 11 Januari 2022, 14 kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Tengah berada dalam zona kuning kecuali Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Selatan yang berada dalam zona hijau.

Hal ini menunjukkan opsi alternatif kurikulum darurat yang sesuai kebutuhan siswa tidak perlu diterapkan. Namun kurikulum tiap sekolah dapat berbeda karena masing-masing sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan karakteristik siswanya. Guru dapat berfokus pada pembelajaran esensial dan kontekstual di tengah relaksasi peraturan untuk guru yang tidak harus memenuhi beban kerja 24 jam per minggu. Selain itu, guru juga dapat melakukan pengurangan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa dengan berfokus pada kompetensi esensial dengan memperhatikan kompetensi sebagai prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran.

Dalam pembelajaran kurikulum 2013 (K13), tahapan-tahapan seperti mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan masih relevan diterapkan pada praktik pembelajaran berbasis kompetensi yang fokus pada tingkat penguasaan yang diukur dari kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan, penguasaan konsep dan keterampilan. Praktik pembelajaran berbasis konten yang berpusat pada materi pembelajaran, kemampuan menjawab tes yang tidak terkait kehidupan nyata dan berorientasi nilai akhir secepatnya ditransformasi ke dalam praktik pembelajaran berbasis kompetensi yang berpusat pada kebutuhan siswa, kemampuan dalam menunjukkan kinerja yang terkait kehidupan nyata dan berorientasi pada proses. Segitiga belajar yang terdiri dari kurikulum, pembelajaran dan asesmen adalah penyangga proses belajar siswa.

Keberadaan asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survei karakter dimaksudkan agar sekolah dapat menentukan model pembelajaran yang lebih cocok untuk siswa, daerah dan kebutuhan pembelajaran mereka. Sekolah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan K13 sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan siswa dan potensi daerah. Perubahan K13 mencakup elemen seperti standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi (SI) yang berbasis kompetensi karena memperhatikan aspek kesesuaian dan kecukupan dalam mengakomodasi konten lokal,nasional dan internasional (PISA, TIMMS dan PIRLS), standar proses dan standar penilaian baik kuantitatif (pengetahuan) dan kualitatif (sikap dan keterampilan). Penerapan K13 dalam kegiatan pembelajaran dimaksudkan untuk meningkatkan karakter, kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTs) siswa dan pendalaman substansi.

AKM, survei karakter dan survei lingkungan belajar sebagai bagian dari asesmen nasional (AN) bermanfaat sebagai bentuk protes kualitas, pemberian umpan balik dan dasar penyusunan program peningkatan kualitas pembelajaran. AN adalah bentuk assessment for learning yang tidak mengukur hafalan siswa melainkan penalaran siswa dan penguasaan kompetensi siswa. Metode penilaian AN menggunakan computerized multistage adaptive testing (MSAT) dan siswa sebagai subjek dipilih secara acak oleh Kemendikbud dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi. Hal ini berbeda dengan ujian nasional (UN) yang mengukur penguasaan pada konten pembelajaran dengan metode penilaian computer based test (CPT) dan paper based test (PBT).

Siswa mengerjakan AKM yang merupakan lintas beragam mata pelajaran yang meliputi kompetensi kecakapan hidup abad 21 seperti belajar dan berinovasi, menggunakan teknologi informasi dan bekerja dan berkontribusi pada masyarakat. AN tidak menjadi indikator kelulusan siswa atau menghakimi hasil belajar peserta didik tetapi berfugsi untuk memantau keberhasilan pembelajaran di setiap sekolah. Target responden AN lain adalah semua guru, baik guru tetap maupun honorer dengan mengerjakan survei lingkungan belajar yang bisa dilakukan dari rumah (daring). Oleh karena itu, sebetulnya hasil AN adalah bentuk pertaruhan guru,kepala sekolah, pengawas dan pemerintah daerah.

Hasil AKM baik kemampuan literasi membaca (teks) dan numerasi (konsep matematika) kemudian dilaporkan dalam 4 (empat) kelompok yaitu mahir, cakap, dasar dan perlu intervensi khusus. Lalu hasil AKM ini akan dijadikan sebagai dasar penerapan teaching at the right level. Siswa yang memiliki kompetensi membaca dan numerasi yang baik akan dengan mudah menguasi konten mata pelajaran. Sebaliknya siswa yang menguasai konten mata pelajaran akan mampu membangun kompetensi membaca dan numerasi. Hasil AN secara umum menjadi rapor sekolah dan rapor pendidikan daerah.

Barangkat dari kelemahan UN yang mereduksi proses pendidikan yang menuntut siswa cenderung belajar untuk ujian, mendistorsi konsep manusia sebagai pembelajar unik, dan berpretensi menstandarkan individu melalui pengetahuan pada mata pelajaran tertentu serta mengabaikan dimensi kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ada dalam diri manusia (Gardner, 1983), kehadiran AN menuntut kualitas belajar yang sangat tergantung dari bagaimana guru memberikan pengalaman belajar bermakna bagi siswa karena sejatinya kualitas pendidikan nasional tergantung dari kualitas pembelajaran dalam paradigma baru pendidikan kita. Bukan paradigma standardisasi.

——— *** ——–

Tags: